WAHYU, NUZUL AL-QUR’AN, DAN TUJUH HURUF


WAHYU, NUZUL AL-QUR’AN, DAN TUJUH HURUF
Oleh: PAUSIL           : 088142085*

* Makalah ini diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Studi Ilmu al-Qur’an pada Jurusan Pendidikan Bahasa Arab Program Pascasarjana IAIN Imam Bonjol Padang, disampaikan pada hari Selasa tanggal 16 September 2014 pukul 10.30 – 12.30 WIB

PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Mempelajari al-Quran dan Ilmu-ilmunya adalah tanggungjawab ahlul ilmi. Karena al-Quran merupakan Kalamullah yang sempurna dan terpelihara, di dalamnya berisi petunjuk dan pelajaran. Di antara yang berkaitan dengan ilmu al-Quran adalah wahyu. Wahyu merupakan pemberitahuan Allah kepada hamba-Nya yang terpilih secara rahasia dan cepat. Wahyu berisi risalah yang membuktikan kenabian dan kerasulan hamba pilihan Allah. Risalah yang harus disampaikan kepada umatnya agar menemukan jalan kebenaran menuju kebahagiaan dunia dan akhirat.Wahyu sangat erat kaitannya dengan nuzul. Karena Nuzul secara bahasa berarti turun dari tempat yang tinggi ke tempat yang rendah. Wahyu turun dari Allah di langit yang tinggi kepada nabi-Nya di bumi.
Nuzul al-Quran yaitu al-Quran turun dari Lauh Mahfuzh ke Baitul Izzah secara keseluruhan pada malam yang mulia, yakni lailatul Qadr. Kemudian secara berangsur atau bertahap (Munajjaman) kepada Nabi saw. kurun waktu lebih kurang 23 tahun.
Keagungan al-Quran diturunkan dengan bahasa Arab yang memiliki banyak dialek. Inilah yang menakjubkan bahwa bahasa Arab adalah bahasa yang sangat fasih, jelas, dan mudah dipahami bagi yang mempelajarinya. Al-Quran menurut riwayat yang shahih dan banyak dari golongan sahabat yang meriwayatkannya bahwa ia diturunkan dengan tujuh huruf.
Dalam makalah ini penulis ingin mengkaji lebih dalam berkaitan dengan wahyu, nuzul al-Quran, dan al-Quran diturunkan dengan tujuh huruf.
B. RUMUSAN MASALAH
Adapun rumusan makalah ini yaitu:
  1. Pengertian wahyu, cara penyampaiannya, kategori wujud wahyu, dan urgensi mempelajarinya
  2. Makna Nuzul al-Quran, tahap turunnya al-Quran, ayat pertama dan terakhir diturunkan, dan pengulangan pada proses turunnya ayat
  3. Pengertian tujuh huruf, dalil diturunkannya al-Quran dengan tujuh huruf, buktinya dalam al-Quran, pendapat ulama, dan akhir dari al-Quran tujuh huruf
C. TUJUAN
Adapun tujuan dari makalah ini, yaitu:
  1. Mengetahui dan memahami pengertian wahyu, cara penyampaiannya, kategori wujud wahyu, dan urgensi mempelajarinya
  2. Mengetahui dan memahami makna Nuzul al-Quran, tahap turunnya al-Quran, ayat pertama dan terakhir diturunkan, dan pengulangan pada proses turunnya ayat
  3. Mengetahui dan memahami pengertian tujuh huruf, dalil diturunkannya al-Quran dengan tujuh huruf, buktinya dalam al-Quran, pendapat ulama, dan akhir dari al-Quran tujuh huruf

PEMBAHASAN
A. WAHYU
1. Makna Wahyu Secara Bahasa
Secara etimologi wahyu adalah “al-isharah al-sari’ah” (isyarat yang cepat), “al-kitabah” (tulisan), “al-maktub” (tertulis), “al-risalah” (pesan), “al-ilham” (ilham), “al-kalam al-khafi” (perkataan yang bersifat rahasia) dan setiap sesuatu yang disampaikan kepada orang lain.[1]
Kata wahyu dalam al-Qur’an terdapat sebanyak 78 kali, yaitu 6 kali dalam bentuk kata benda (isim) dan 72 kali dalam bentu kata kerja (fi’l).[2] Kata wahyu memiliki beberapa arti, yaitu sebagai berikut:
a. Ilham naluriah bagi manusia (al-Ilham al-Gharizi li al-insan atau al-Ilhamu al-Fithri) yaitu yang disampaikan oleh Allah kepada manusia yang sehat fitrahnya dan bersih jiwanya, seperti ilham kepada ibu Nabi Musa Firman Allah:
“Dan Kami ilhamkan kepada ibu Musa; “Susuilah Dia, dan apabila kamu khawatir terhadapnya Maka jatuhkanlah Dia ke sungai (Nil). dan janganlah kamu khawatir dan janganlah (pula) bersedih hati, karena Sesungguhnya Kami akan mengembalikannya kepadamu, dan men- jadikannya (salah seorang) dari Para rasul.” (QS. al-Qashash: 7)
b. Ilham naluriah bagi binatang (Al-Ilham al-Gharizi li al-Hayawan), seperti wahyu kepada lebah. Sebagaimana firman Allah dalam al-Qur’an surat an-Nahl ayat 68:
“Dan Tuhanmu mewahyukan kepada lebah: “Buatlah sarang-sarang di bukit-bukit, di pohon-pohon kayu, dan di tempat-tempat yang dibikin manusia”,” (QS. An-Nahl: 68)
c. Isyarat yang cepat yakni menyampaikan informasi atau pesan dalam bentuk lambang atau simbol sehingga penerima bisa memahami informasi dengan cepat. Sebagaimana Nabi Zakaria mengisyaratkan kepada kaumnya dalam al-Quran:
“Maka ia keluar dari mihrab menuju kaumnya, lalu ia memberi isyarat kepada mereka; hendaklah kamu bertasbih di waktu pagi dan petang.” (QS. Maryam: 11)
d. Bisikan dan tipu daya setan untuk menyesatkan manusia, sebagaimana firman Allah ta’ala:
“… Sesungguhnya syaitan itu membisikkan kepada kawan-kawannya agar mereka membantah kamu; dan jika kamu menuruti mereka, Sesungguhnya kamu tentulah menjadi orang-orang yang musyrik.” (QS. al-An’am: 121)
“Dan Demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap Nabi itu musuh, Yaitu syaitan-syaitan (dari jenis) manusia dan (dan jenis) jin, sebahagian mereka membisikkan kepada sebahagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu (manusia). Jikalau Tuhanmu menghendaki, niscaya mereka tidak mengerjakannya, Maka tinggalkanlah mereka dan apa yang mereka ada-adakan.” (QS. al-An’am: 121)
e. Perintah Allah kepada para malaikat untuk melaksanakannya.[3]
“(Ingatlah), ketika Tuhanmu mewahyukan kepada Para Malaikat: “Sesungguhnya aku bersama kamu, Maka teguhkan (pendirian) orang-orang yang telah beriman”…” (QS. Al-Anfal: 12)
Tulisan (al-Kitabah) atau tertulis (al-Maktub) maksudnya ialah risalah yang disampaikan dari seseorang kepada yang lainnya.[4] Yaitu pesan (ar-risalah) yang disampaikan oleh Allah kepada para nabi dan rasul-Nya berupa wahyu.
Semua makna tersebut tercakup dalam makna “Menyampaikan informasi secara rahasia, cepat, dan khusus kepada orang yang diarahkan kepadanya dan dirahasiakan kepada yang lain. Inilah makna asal dari wahyu, yakni apa yang diturunkan dan disampaikan oleh Allah kepada para Nabi dan Rasulnya berupa berita-berita gaib dan syariat. Sebagian mereka ada yang diberi kitab dan ada yang tidak diberi kitab. [5]
2. Pengertian Wahyu, dan bedanya dengan instink, gharizah, dan ilham
Secara terminologi, Nuruddin ‘Atar mendefinisikan wahyu adalah pemberitahuan Allah kepada hamba-Nya yang terpilih secara rahasia dan cepat.[6] Al-Zarqani mendefinisikan bahwa wahyu adalah Allah memberitahukan kepada hamba pilihan-Nya setiap keinginan yang muncul dari-Nya berupa hidayah dan ilmu, tetapi dengan cara rahasia yang lain dari kebiasaan manusia.[7] Menurut Muhammad Ra’afat Sa’id, Allah mewahyukan kepada nabi alaihissalam berupa hukum syari’at dan sebagainya. Maka yang mewahyukan (al-Muhiy) adalah Allah, yang menerima wahyu (al-Muhaa ilaih) adalah seorang nabi di antara nabi-nabi Allah, dan yang diwahyukan (al-Muhaa bih) adalah hukum syari’at berupa perintah, larangan, berita-berita masa lalu, sekarang, dan akan datang, membangun prinsip-prinsip aqidah tauhid yang murni, membentuk akhlak yang mulia, ibadah, dan mu’amalah.[8]
Berkaitan dengan kitab-kitab samawy wahyu adalah risalah yang disampaikan oleh Allah kepada nabi dan rasul-Nya. Risalah tersebut berisi perintah, larangan, hukum, ibadah, mu’amalah, dan lainnya. Bagi nabi wahyu hanya untuk dirinya, sedangkan rasul wahyu untuk dirinya dan disampaikan kepada umatnya.
Menurut Ibnu Manzur “Ilham ialah bahwa Allah menanamkan di dalam jiwa seseorang sesuatu yang dapat mendorongnya untuk melakukan atau meninggalkan sesuatu, dan ia termasuk jenis wahyu yang dengannya Allah mengkhususkan siapa saja yang dikehendaki-Nya diantara hamba-hamba-Nya.”[9] Menurut Hasbi Ash-Shiddieqy, ilham adalah menuangkan suatu pengetahuan ke dalam jiwa yang meminta supaya dikerjakan oleh yang menerimanya dengan tidak lebih dahulu dilakukan ijtihad dan menyelidiki hujjah-hujjah agama.[10]
Perbedaan antara keduanya ialah bahwa ilham adalah perasaan jiwa yang datang kepada seseorang yang dipilih oleh Allah, sehingga dengannya seseorang itu terdorong untuk melakukan suatu perbuatan atau meninggalkannya. Namun orang tersebut tidak mengetahui secara pasti dari mana datangnya perasaan tersebut. Perasaan itu hamper mirip dengan perasaan haus, lapar, gundah, senang, dan lainnya. Sedangkan wahyu adalah suatu pengetahuan yang datang kepada hamba pilihan Allah, dan ia meyakini bahwa itu adalah wahyu yang datang dari Allah swt.
3. Cara Penyampaian Wahyu Allah kepada Nabi dan Rasul
Nabi Muhammad menerima wahyu dengan cara sebagai berikut:
a. Melalui mimpi yang benar ketika tidur
Wahyu melalui mimpi yang benar, bisa saja Allah langsung bertemu dalam mimpi tersebut ataupun Allah mengutus Malaikat. Sebagaimana terdapat dalam hadis dari ‘Aisyah:
أول ما بدىء به رسول الله صلى الله عليه و سلم من الوحي الرؤيا الصالحة فى النوم ….
“Permulaan wahyu yang pertama kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dalam mimpi yang benar ketika tidur…”
b. Jibril mendatangi Rasulullah dengan cara rahasia sehingga tidak bisa dilihat akan tetapi tampak pengaruh perubahan sikap. Jibril mewahyukan ke hati Nabi shallallahu alaihi wa sallam.
c. Jibril mendatangi Rasulullah menyerupai seorang laki-laki dan bisa dilihat dan didengar oleh orang-orang yang hadir, seperti ketika Jibril bertanya kepada Rasulullah tentang Iman, Islam, dan Ihsan.
d. Jibril mendatangi Rasulullah dalam keadaan ghaib, wahyu diturunkan kepada Nabi seperti bunyi lonceng. Keadaan ini yang paling berat bagi Nabi shallallahu alaihi wa sallam.
e. Jibril mendatangi Rasulullah dalam bentuk yang asli. Hal ini terjadi dua kali, yaitu di bumi atau di gua hira’ dan satu kali di langit ketika beliau Mi’raj ke langit ke tujuh.
f. Allah berfirman di balik tabir, seperti yang terjadi pada diri Rasulullah ketika malam mi’raj setelah menetapkan kewajibah shalat lima waktu.
g. Allah mewahyukan secara langsung tanpa perantara malaikat dan tidak pula dari balik tabir, seperti ketika malam Mi’raj yakni di atas langit ketika menetapkan kewajiban shalat dan melipatkgandakan kebaikan menjadi sepuluh kali lipat.[11]
Empat cara dengan mengeluarkan yang pertama adalah satu kesatuan, yang keenam, dan ketujuh sebagaimana terdapat dalam firman Allah:
“Dan tidak mungkin bagi seorang manusiapun bahwa Allah berkata-kata dengan Dia kecuali dengan perantaraan wahyu atau dibelakang tabir atau dengan mengutus seorang utusan (malaikat) lalu diwahyukan kepadanya dengan seizin-Nya apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Tinggi lagi Maha Bijaksana.” (QS. al-Syura: 51)
4. Kategori Wujud Wahyu kepada Nabi Muhammad saw.
Imam Al-Juwaini sebagaimana diungkapkan oleh Imam As-Suyuthy mengatakan bahwa, Kalamullah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. itu terbagi kepada dua, yaitu :
  1. Allah berfirman kepada Jibril : “Katakanlah kepada seseorang Nabi (Muhammad ) yang engkau sengaja dikirim kepadanya, bahwasanya Allah berfirman begini atau menyuruh begitu”. Jibrilpun paham makna yang disampaikan Tuhan kepadanya, kemudian ia turun dan mengatakan hal itu kepada Nabi tersebut apa-apa yang dikatakan Tuhan kepadanya. Akan tetapi ungkapan yang dipergunakan Jibril bukan merupakan ungkapan Allah sendiri, tetapi maknanya saja yang dipahaminya dari Allah, sedangkan susunan bahasanya adalah dari Jibril sendiri.
  2. Allah berfirman kepada Jibril, “Bacakanlah kitab ini kepada seseorang Nabi”. Kemudian Jibrilpun turun menyampaikan pesan itu tanpa mengubah sedikitpun kalimat demi kalimat yang telah difirmankan Allah kepadanya.[12]
Bagian yang kedua merupakan wahyu Allah yang berupa al-Quran. Sedangkan bagian yang pertama adalah as-Sunnah, sebab pada waktu menurunkan wahyu yang berupa as-Sunnah juga sama caranya dengan menurunkan al-Quran, hanya as-Sunnah maknanya saja yang diterima dari Allah, sedangkan redaksinya Jibril sendiri yang menyusunnya.
Dapat disimpulkan bahwa segala sesuatu yang turunkan kepada nabi Muhammad saw. adalah wahyu. Al-Qur’an adalah wahyu yakni lafazh dan maknanya dari Allah dan penyandarannya kepada Allah. al-Hadits al-Qudsiy adalah wahyu, maknya dari Allah, lafaznya dari Nabi saw. dan penyandarannya kepada Allah. Sedangkan Al-Hadits an-Nabawy juga wahyu yang mana maknanya dari Allah, lafazhnya dari Nabi dan penyandarannya kepada Nabi saw.
5. Urgensi Membahas Wahyu
Pengetahuan tentang wahyu dan segala sesuatu yang berkaitan dengannya sangat penting untuk dipelajari. Kepentingan ini hakikatnya tidak hanya untuk kalangan ahli ilmu saja. Namun secara umum untuk masyarakat luas yang memahami al-Quran sebagai pedoman hidupnya. Di antara urgensi tersebut ialah:
  1. Wahyu adalah bukti kenabian dan kerasulan, dan kenabian itu telah tertutup dengan diutusnya Muhammad saw. sebagai penutup para nabi dan rasul.
  2. Wahyu tidak lagi diturunkan setelah nabi Muhammad wafat. Oleh karena itu, apabila ada setelah Nabi Muhammad orang yang mengatakan dirinya mendapat wahyu, maka dia adalah pendusta.
  3. Memahami bahwa wahyu itu tidak hanya al-Quran, tetapi segala sesuatu yang diberitahukan kepada nabi dan rasul adalah wahyu. Firman Allah ta’ala:
“Dan Tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” (QS. an-Najm: 3-4)
Al-Hafizh Ibn Katsir mengatakan: Beliau saw hanya mengatakan apa yang diperintahkan oleh Allah kepadanya dan menyampaikannya kepada umat secara sempurna tanpa ada penambahan dan pengurangan.[13] Imam Ahmad meriwayatkan dari Abu Hurairah ra., Rasulullah saw. bersabda: “Aku tidak berkata melainkan kebenaran.”

B. NUZUL AL-QUR”AN
1. Makna Nuzul, dan tanzil, inzal, dalam al-Quran, perbedaan dan kesamaan
Kata nuzul adalah mashdar dari kata nazala – yanzilu – nuzulan, yang berarti turun dari yang tinggi ke yang rendah.[14] Kata nazala dan turunannya banyak terdapat dalam al-Quran dalam bentuk yang beragam, mencapai 44 turunan dalam 295 ayat.[15] Sedangkan tanzil dan inzal adalah mashdar dari kata nazzala dan anzala yang merupakan turunan dari kata nazala yang ditambah satu huruf.
Perbedaan antara tanzil dan inzal dalam menggambarkan al-Quran dan malaikat ialah bahwa tanzil bersifat khusus pada satu tempat yang mana al-Quran diturunkan secara terpisah dari yang lainnya dan sekaligus, sedangkan inzal berarti umum.[16] Yaitu bahwa al-Qur’an diturunkan secara berangsur-angsur dan terkait dengan waktu dan keadaan. Menurut al-Jurjaniy, perbedaan antara Inzal dan tanzil adalah bahwa inzal digunakan untuk (turunnya al-Quran) sekaligus sedangkan tanzil untuk berangsur-angsur.[17]
Kata Inzal atau anzala digunakan dalam al-Quran untuk menunjukkan bahwa al-Quran duturunkan sekaligus dari lauh mahfizh ke baitul izza pada malam lailatul qadr. Sebagaimana firman Allah ta’alaa:
“Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al Quran) pada malam kemuliaan.” (QS. al-Qadr: 1)
“Sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi dan Sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan.” (QS. al-Dukhan: 3)
Sedangkan kata tanzil atau nazzala digunakan untuk menunjukkan bahwa al-Quran diturunkan secara berangsur-angsur, firman Allah:
“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan Sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.” (QS. al-Hijr: 9)
Berkaitan dengan kitab-kitab Allah yang lainnya, kata Nazzal berarti bahwa al-Quran tidak seperti kitab-kitab samawy lainnya. Al-Quran sendiri dengan tegas menjelaskan bahwa al-Quran tidak diturunkan seperti Taurat, Inji, atau Zabur yang diturunkan sekaligus.[18] Allah berfirman:
“Dia menurunkan Al kitab (Al Quran) kepadamu dengan sebenarnya; membenarkan kitab yang telah diturunkan sebelumnya dan menurunkan Taurat dan Injil,” (QS. Ali Imran: 3)
2. Pengertian Nuzul Al-Qur’an dan kaitan dengan makna wahyu
Al-Zarqani menjelaskan bahwa kata nuzul mempunyai makna dasar (perpindahan sesuatu dari atas ke bawah) atau (suatu gerak dari atas ke bawah). Menurutnya, dua batasan tersebut memang tidak layak diberikan untuk maksud diturunkannya al-Quran oleh Allah, karena keduanya hanya lebih tepat dan lazim dipergunakan dalam hal yang berkenaan dengan tempat dan benda atau materi yang mempunyai berat jenis tertentu.
Sedangkan al-Quran bukan semacam benda yang memerlukan tempat perpindahan dari atas ke bawah. Tapi yang benar adalah memahami bahwa kata nuzul itu bersfat majazi, yakni pengertian nuzul Al-Qur’an bukan tergambar dalam wujud perpindahannya al-Quran, atau al-Quran itu turun dari atas ke bawah, tetapi harus dipahami sebagai pengetahuan bahwa al-Quran telah diberitakan oleh Allah swt. kepada penghuni langit dan bumi. Di sini terkandung maksud bahwa nuzul harus di ta’wilkan dengan kata i’lam yang berarti pemberitahuan atau pengajaran. Maka nuzul Al Qur’an berarti proses pemberitaan atau penyampaian ajaran Al Qur’an yang terkandung di dalamnya.[19]
Pendapat ini berkenaan dengan pemahaman wahyu bahwa Allah menyampaikan risalah kepada nabi-Nya dengan cara rahasia dan cepat. Sedangkan Nuzul al-Quran yakni turunnya al-Quran dari Lauh Mahfuzh ke Baitul Izzah secara keseluruhan dan kepada Nabi Muhammad saw. secara berangsur-angsur.
3. Pengertian Lauh Mahfuz/Imam Mubin, dan Baitul Izzah serta Malaikat Jibril dalam kaitan pewahyuan atau nuzul al-Quran
Lauh mahfuzh adalah suatu tempat yang merupakan catatan tentang segala ketentuan dan kepastian Allah. Sebagaimana firman Allah:
“Bahkan yang didustakan mereka itu ialah al-Quran yang mulia, Yang (tersimpan) dalam Lauh Mahfuzh.“ (QS. al-Buruj : 21-22)
Juga diisyaratkan oleh firman Allah Swt :
“Sesungguhnya al-Quran Ini adalah bacaan yang sangat mulia, Pada Kitab yang terpelihara (Lauhul Mahfuzh), Tidak menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan. Diturunkan dari Rabbil ‘alamiin.“ (QS. al-Waqi‘ah : 77-80)
Sedangkan Baitul Izzah terdapat di langit dunia, yakni langit yang paling rendah, di sana tempat beredarnya bintang-bintang. Imam al-Hakim, al-Baihaqy, dan yang lainnya meriwayatkan dari Sa’id ibn Jubair dari Ibn Abbas, katanya:
“Al-Quran diturunkan satu kali secara keseluruhan ke langit dunia, di tempat beredarnya bintang-bintang. Allah juga menurunkannya kepada Rasul-Nya saw. sebagian demi sebagian.”
Dari Baitul Izzah malaikat Jibril as. menyampaikannya kepada Nabi saw. secara berangsur-angsur lebih kurang selama 23 tahun. Sesuai dengan situasi dan kondisi yang dialami oleh Nabi saw.
4. Nuzul Quran pada malam lailatu Qadar, secara bertahap, dan dengan bahasa Arab
Para ulama berbeda pendapat tentang tahap penurunan al-Quran. Dalam hal ini ada tiga pandangan ulama yang berbeda yaitu:
  1. Al-Quran diturunkan ke langit dunia pada malam al-Qadar sekaligus, yakni lengkap dari awal hingga akhirnya. Kemudian diturunkan berangsur-angsur sesudah itu dalam tempo 20 tahun atau 23 tahun atau 25 tahun, berdasar kepada perselisihan yang terjadi tentang berapa lama Nabi bermukim di Mekkah sesudah beliau diangkat menjadi Rasul.
  2. Al-Quran ke langit dunia dalam dua puluh kali lailatul Qadar dalam 20 tahun, atau dalam 23 kali lailatul Qadar dalam 23 tahun, atau dalam 25 kali lailatul Qadar dalam 25 tahun. Pada tiap-tiap malam diturunkan ke langit dunia sekedar yang hendak diturunkan dalam tahun itu kepada Muhammad saw. dengan cara berangsur-angsur.
  3. Permulaan al-Quran turunnya ialah di malam al-Qadar. Kemudian diturunkan sesudah itu dengan berangsur-angsur dalam berbagai waktu.[20]
Berdasarkan uraian di atas pendapat pertama adalah pendapat yang lebih kuat. Karena al-Quran diturunkan sekaligus dari Lauh Mahfuzh ke Baitul Izzah pada malam Qadar dan secara berangsur-angsur kepada Nabi Muhammad saw. selama 20 tahun atau 23 tahun atau 25 tahun, tergantung pendapat ulama tentang berapa lama Rasulullah berdakwah di Mekkah.
Bahasa Arab adalah bahasa yang paling fasih, paling jelas, paling luas, dan paling tepat untuk dapat menyampaikan makna yang ada di dalam jiwa. Oleh karena itu, Al-Quran kitab yang paling mulia diturunkan dengan bahasa yang paling mulia, kepada Rasul yang paling mulia, melalui utusan Malaikat yang paling mulia, di bumi yang mulia, dan pada malam yang paling mulia yaitu malam lailatul Qadar bulan Ramadhan. Oleh karena itu, al-Qur’an sempurna dari segala aspek, pedoman dan petunjuk bagi manusia. Diturunkan al-Qur’an dengan berbahasa Arab agar mudah untuk dipahami, Allah swt. berfirman:
“Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa Al-Quran dengan berbahasa Arab, agar kamu memahaminya.” (QS. Yusuf: 2)
Yakni dengan bahasa Arab yang jelas, Allah swt berfirman: “Dengan bahasa Arab yang jelas.” (QS. asy-Syu’araa’: 195)
5. Ayat-ayat pertama dan terakhir diturunkan
Berbeda pendapat ulama mengenai ayat yang pertama turun kepada Nabi Muhammad saw. Menurut Manna’ al-Qaththan ada empat pendapat yang termasyhur, yaitu:
a. Pendapat yang paling shahih, bahwa ayat yang pertama diturunkan adalah firman Allah surat al-‘Alaq ayat 1-5. Dalilnya pertama, hadits yang diriwayatkan oleh al-Bukhari, Muslim, dan yang lainnya dari ‘Aisyah:
“Wahyu yang mula-mula terjadi pada Rasulullah saw. adalah mimpi yang benar. Beliau tidak pernah bermimpi kecuali dalam keadaan seperti terang di pagi hari. Kemudian beliau mulai senang menyepi. Beliau menyepi di gua Hira’. Beliau bertahannuts, yaitu beribadah di dalamnya beberapa malam sebelum kembali kepada keluarga dan membawa bekal untuk keperluan. Kemudian beliau kembali kepada Khadijah, lalu membawa bekal untuk keperluan yang sama, sampai datang kebenaran kepada belaiu, saat berada di gua Hira’. Lalu datang kepada beliau malaikat (Jibril) seraya berakata: “Bacalah!”, “Saya (Nabi Muhammad) menjawab: Aku tak dapat membaca, lalu ia memegang dan merangkulku, sampai menimbulkan kepayahan pada diriku, kemudian ia melepaskanku. Lalu ia berkata: “Bacalah!”. Aku menjawab: “Aku tak dapat membaca”. Lalu ia memegangku dan merangkulku untuk kedua kalinya, sampai menimbulkan kepayahan pada diriku, kemudian melepaskanku. Lalu ia berkata lagi: “Bacalah!”. Aku menjawab: “Aku tak dapat membaca”. Lalu ia memegangku dan merangkulku untuk ketiga kalinya, kemudian melepaskanku. Lalu berkata: “Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakanmu, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha Pemurah (al-‘Alaq: 1-3). Sebagian riwayat menyebutkan sampai “Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya.” (al-‘Alaq: 5) (Sampai akhir hadits yang memang sangat panjang).
Kedua, hadits yang diriwayatkan oleh al-Hakim dalam Mustadrak dan al-Baihaqiy dalam al-Dala’il, juga dari ‘Aisyah, berkata:
“Surat yang pertama diturunkan dari al-Quran adalah “Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakanmu (al-‘Alaq: 1)
b. Pendapat yang mengatakan bahwa ayat yang pertama diturunkan adalah surat al-Muddatstsir. Dalilnya sabda Rasulullah saw.:
“Beberapa hari aku berada di gua Hira’. Lalu sewaktu aku selesai, aku turun. Lalu hendak memasuki tengah lembah. “Riwayat lain menyebutkan bahwa beliau menambahkan: “Kemudian aku dipanggil. Lalu aku melihat ke depan, ke belakang, ke kanan, dan ke kiri. Kemudian aku melihat ke langit. Tiba-tiba, ia (Jibril), riwayat lain menambahkan: “Duduk di kursi, antara langit dan bumi”. Kemudian aku merasa gemetar, lalu aku mendatangi Khadijah. Aku memerintahkan ia agar menyelimutiku. Lalu Allah menurunkan, “Hai orang yang berselimut, berdirilah lalu berilah peringatan.” (al-Muddatstsir: 1-2)
Namun dalam riwayat ini mengandung kemungkinan menceritakan ayat yang diturunkan pertama kali sesudah terjadi kekosongan turunnya wahyu untuk beberapa lama. Inilah yang tampak jelas dari riwayat lain yang juga diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim, dari Abu Salamah dari Jabir: “Sewaktu aku berjalan, aku mendengar suara dari langit. Lalu aku melihat ke langit. Tiba-tiba, Malaikat yang mendatangiku di gua Hira’ duduk di atas kursi antara langit dan bumi. Lalu tubuhku terasa berat, sehingga aku tersungkur. Aku mendatangi keluarga, lalu berkata: Selimutilah aku, selimutilah aku. Lalu Allah swt. menurunkan:
“Hai orang yang berkemul (berselimut), bangunlah, lalu berilah peringatan! dan Tuhanmu agungkanlah! dan pakaianmu bersihkanlah, dan perbuatan dosa tinggalkanlah,” (al-Muddatstsir: 1-5)
c. Pendapat bahwa ayat yang pertama diturunkan adalah surat al-Fatihah. Mereka mengemukakan pendapat ini berdalil dengan riwayat al-Baihaqy di dalam al-Dala’il dengan sanadnya sendiri dari Maisarah Umar ibn Syurahbil, bahwa Rasulullah saw. bersabda kepada Khadijah:
“Sesungguhnya aku ketika menyepi sendirian, aku mendengar panggilan. Demi Allah, sungguh aku mengkhawatirkan diriku, bahwa hal itu merupakan sesuatu (yang tidak baik).”
Khadijah menjawab: Hanya Allah-lah tempat berlindung. Tak mungkin Allah melakukan sesuatu (yang buruk) kepadamu. Karena engkau benar-benar memberikan amanat, menyambung tali persaudaraan, dan jujur dalam berbicara. Kemudian sewaktu aBu Bakar masuk, Khadijah menceritakan peristiwa itu kepadanya dan berkata: Pergilah bersama Muhammad kepada Waraqah. Lalu keduanya pergi ke rumah Waraqah dan menceritakan kejadian itu kepadanya. Nabi saw. berkata: “Ketika aku menyepi sendirian, aku mendengar panggilan: Hai Muhammad, hai Muhammad. Lalu aku pergi ke arah berhembusnya angin.” Waraqah berkata: Jangan begitu seharusnya, tetaplah di tempat sampai engkau mendengar apa yang dikatakannya. Lalu bawalah dan beritahukan kepadaku. Kemudian sewaktu Nabi Muhammad saw. menyepi, kembali ada yang memanggil: Hai Muhammad, katakanlah: “Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam.” (Al-Fatihah: 1-2), sampai ayat terakhir.
Namun riwayat ini tidak bisa dijadikan dalil bahwa surat al-Fatihah merupakan yang pertama kali turun. Karena dalam riwayat tersebut surat al-Fatihah itu diturunkan setelah Nabi Muhammad saw. menemui Waraqah bin an-Naufal. Sedangkan sebelum ke rumah Waraqah Nabi telah menerima wahyu. Bisa jadi al-Fatihah turun setelah surat al-‘Alaq ayat 1-5. Sanad riwayat ini menurut al-Zarqany gugur atau terputus salah seorang sahabat. Sehingga hadis ini mursal, dan tidak kuat untuk menasikh dalil yang marfu’.
d. Pendapat bahwa ayat yang pertama turun adalah “Bismillahirrahmanirrahim”.
Pendapat yang mengeluarkan pendapat ini berdalil dengan riwayat yang ditakhrij oleh al-Wahidiy dengan sanadnya sendiri dari Ikrimah dan al-Hasan, keduanya berkata: Yang mula-mula diturunkan adalah : Bismillahirrahmanirrahim dan awal surat al-‘Alaq. Penggunaan dalil ini tertolak dengan dua alasan: pertama, hadits itu mursal, seperti hadis sebelumnya, sehingga tidak bisa menggoyahkan yang marfu’. Kedua, bahwa Basmallah biasanya memang turun mengawali setiap surat, kecuali surat yang dikecualikan. Dengan demikian posisinya merupakan sesuatu yang turun bersama surat al-‘Alaq yang diturunkan, sehingga tidak tepat menyebutnya sebagai yang pertama diturunkan secara mandiri.[21]
Adapun surat dan ayat yang terakhir diturunkan kepada Rasulullah saw., ulama juga berbeda pendapat. Namun semuanya perpegang kepada atsar sahabat, karena memang tidak ada hadits yang marfu’ mengenai hal ini.
Pertama, mengatakan bahwa ayat yang terakhir diturunkan adalah firman Allah swt:
“Dan peliharalah dirimu dari (azab yang terjadi pada) hari yang pada waktu itu kamu semua dikembalikan kepada Allah. (QS. Al-Baqarah: 281)
Riwayat yang mengatakan demikian adalah yang ditakhrij oleh Imam Nasa’iy melalui Ikrimah dari Ibn Abbas. Setelah ayat ini turun nabi saw. masih hidup selama sembilan malam.
Kedua, ayat yang terakhir diturunkan adalah firman Allah swt. surat al-Baqarah ayat 278:
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa Riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman.” (QS. Al-Baqarah: 278)
Riwayat ini ditakhrij oleh Imam al-Bukhari dari Ibn Abbas dan al-Baihaqiy dari Ibn Umar.
Ketiga, ayat yang terakhir diturunkan adalah ayat tentang utang piutang, yang terdapat dalam surat al-Baqarah ayat 282, yakni sampai pada Firman-Nya:
“…dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu.” (QS. Al-Baqarah: 282)
Ayat ini merupakan ayat yang terpanjang, riwayatnya ditakhrij oleh Ibn Jarir dari Sa’id ibn al-Musayyab.
Keempat, ayat yang terakhir diturunkan adalah firman Allah swt. surat Ali Imran:
“Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonannya (dengan berfirman): “Sesungguhnya aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki atau perempuan, (karena) sebagian kamu adalah turunan dari sebagian yang lain. Maka orang-orang yang berhijrah, yang diusir dari kampung halamannya, yang disakiti pada jalan-Ku, yang berperang dan yang dibunuh, pastilah akan Ku-hapuskan kesalahan-kesalahan mereka dan pastilah aku masukkan mereka ke dalam surga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya, sebagai pahala di sisi Allah. dan Allah pada sisi-Nya pahala yang baik.” (QS. Ali Imran: 195)
Riwayat ini ditakhrij oleh Ibn Marduyah melalui Mujahid dari Ummu Salamah.
Kelima, bahwa ayat yang terakhir diturunkan adalah:
“Dan Barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja Maka balasannya ialah Jahannam, kekal ia di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan mengutukinya serta menyediakan azab yang besar baginya.” (QS. An-Nisa: 93)
Riwayat ini ditakhrij oleh Imam Bukhari dan yang lainnya dari Ibn Abbas, katanya: ayat ini merupakan ayat terakhir dan tidak dinasakh oleh sesuatu pun.
Keenam, ayat yang terakhir diturunkan adalah ayat:
“Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah.” (QS. An-Nisa: 176)
Pendapat ini berpegang pada riwayat Imam Bukhari dan Imam Muslim dari al-Barra’ Ibn Azib, bahwa ia berkata: ayat yang terakhir diturunkan adalah surat an-Nisa’ ayat 176.
Ketujuh, bahwa ayat yang terakhir diturunkan adalah pada surat al-Ma’idah. Pendapat ini berhujjah pada riwayat Imam Tirmidziy dan al-Hakim dari ‘Aisyah ra.
Kedelapan, bahwa ayat yang terakhir diturunkan adalah akhir surat “Bara’ah”, diriwayatkan oleh al-Hakim dan Ibn Marduyah dari Ubay ibn Ka’ab.
Kesembilan, bahwa ayat yang terakhir diturunkan adalah ayat pada surat al-Kahfi, yaitu firman Allah swt.:
“Katakanlah: Sesungguhnya aku ini manusia biasa seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku: “Bahwa Sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan yang Esa”. Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, Maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya”.” (QS. Al-Kahfi: 110)
Riwayat ini ditakhrij oleh Ibn Jarir dari Mu’awiyyah ibn Abi Sufyan.
Kesepuluh, bahwa ayat yang terakhir diturunkan adalah pada surat:
“Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan,” (QS. An-Nashr: 1)
Diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Ibn Abbas. Akan tetapi surat ini merupakan yang terakhir turun mengenai isyarat akan kewafatan Nabi saw.
Kesebelas, ayat yang terakhir turun adalah firman Allah swt.:
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu Jadi agama bagimu.” (QS. Al-Maidah: 3)
Pendapat ini berhujjah karena ayat ini menerangkan bahwa telah sempurnanya agama dan cukupnya nikmat Allah, dengan sempurnanya agama berarti sempuna juga hukum syari’at. Namun ayat ini diturunkan ketika hari ‘Arafah haji Wada’ tahun ke 10 H. Sedangkan Rasulullah wafat setelah ayat itu turun kira-kira 80 malam.[22]
Dapat disimpulkan bahwa pendapat yang paling kuat tentang ayat yang terakhir diturunkan adalah menurut pendapat yang pertama. Karena dalam riwayat tersebut ditegaskan dengan lamanya Rasulullah hidup setelah ayat itu turun, yakni 9 malam. Sedangkan dalam riwayat-riwayat yang lain tidak disebutkan, kecuali riwayat yang terakhir. Namun terlalu lama disbanding pendapat yang pertama, yakni 80 malam.
6. Pengulangan pada proses turunnya ayat atau surat
Pengulangan (al-tikrar) turunnya ayat atau surat dalam al-Quran adalah untuk pengagungan dan peringatan. Pengulangan pada ayat atau surat yaitu diturunkan secara berulang, seperti surat al-Fatihah diturunkan dua kali. Satu kali di Mekkah, selainnya di Madinah. [23]

C. TUJUH HURUF (SAB’AH AHRUF)
1. Pengertian tujuh huruf (Sab’ah Ahruf)
Kata sab’ah atau tujuh di sini dipahami sebagian ulama dengan makna jumlah bilangan yang sebenarnya dan merupakan batas akhir. Sedangkan  Kata al-ahruf adalah bentuk jamak dari kata huruf. Lafal ahruf ini memiliki banyak arti sesuai dengan konteks penggunaanya. Bisa berarti tepi sesuatu, puncak, satu huruf ejaan, bahasa, wajh (bentuk) dan sebagainya. Dari pengertian ini dapat kita ketahui bahwa makna tujuh huruf ini masih sangat samar, oleh karena itu para ulama pun saling memberikan pendapatnya.[24]
Berdasarkan kriteria kelonggaran daan kemudahan, al-Quran diturunkan dengan tujuh huruf untuk kelonggaran dan kemudahan bagi pembaca untuk membacanya berdasarkan tujuh wajah, membacanya dengan huruf mana saja yang ia inginkan.[25]
2. Landasan/dalil hadits tentang turunnya al-Qur’an dalam tujuh huruf (Ahruf Saba’ah)
Terdapat sejumlah riwayat yang secara jelas menyebutkan bahwa al-Quran diturunkan dalam tujuh huruf (sab’ah ahruf). Riwayatnya dinyatakan kuat dan bersumber dari para sahabat terkemuka yang jumlahnya cukup banyak, bahkan jumlahnya sekitar 40 orang.[26] Di antaranya Ubai bin Ka’ab, Anas bin Malik Hudzaifah bin Yaman, Abdullah bin Mas’ud, Abdullah bin Abbas,  dan lain-lain. Berikut riwayat yang paling masyhur tentang tujuh huruf adalah:
عن ابن عبّاس رضي الله عنهما انّه قال : قال رسول الله صلّى الله عليه وسلّم : اقرأني جبريل على حرف فراجعته فلم أزل أستزيده ويزيدنى حتّى إنتهى إلى سبعة أحرفٍ
“Dari Ibnu Abbas r.a. bahwa ia berkata: Rasulullah saw. bersabda: Jibril membacakan kepadaku denagn satu huruf, kemudian aku mengulanginya (setelah itu) senantiasa aku meminta tambah dan ia pun menambahiku samapai dengan tujuh huruf.” (HR. Bukhari dan Muslim)
ثمّ قال رسول الله صلّى الله عليه وسلّم : إنّ هذا القرأن أنزل على سبعة أحرف فا قرأ وا ما تيسّر منه
“Kemudian bersabda Rasulullah saw.:  Sesungguhnya Al-Quran itu diturunkan atas tujuh huruf, maka bacalah yang paling mudah.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadits kedua ini berasal dari Umar bin Khattab yang membawa Hisyam bin Hakim ke hadapan Rasulullah karena membaca surat al-Furqan dengan cara baca yang tidak pernah diajarkan Rasulullah kepadanya. Hisyam pun memperdengarkan bacaanya kepada Rasulullah, beliau berkata: “demikianlah ia diturunkan” dan seterusnya menyambung dengan sabdanya di atas.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa turunnya al-Quran dalam tujuh huruf berakar dari hadist-hadits Rasulullah yang sangat banyak diriwayatkan oleh para sahabat.
3. Bukti adanya al-Quran turun dalam tujuh huruf
Firman Allah swt:

Bisa dibaca لأماناتهم dengan bentuk jamak, dan dibaca لأمانتهم dengan bentuk mufrad.

Ini dibaca dengan me-nashab-kan kata ربنا karena menjadi munada dan dengan membaca باعد dalam bentuk amar, atau tepatnya fi’il doa. Juga dibaca بعد  ربنا dengan membaca rafa’ ربنا menjadi mubtada’ dan بعد  dalam bentuk madhiy, menjadi khabar mubtada’.
4. Pendapat ulama tentang makna al-Qur’an turun dalam tujuh huruf
Terdapat perbedaan pendapat ulama dalam memahami al-Qur’an diturunkan dengan tujuh huruf. Ibnu Hibban berkata: “Terjadi perbedaan pendapat ahli ilmu tentang al-Qur’an diturunkan dengan tujuh huruf mencapai 35 pendapat,” di antaranya yaitu:[27]
  1. Sebagian besar ulama berpendapat bahwa yang dimaksud dengan tujuh huruf adalah tujuh bahasa dari bahasa-bahasa yang ada di Arab dalam satu makna.
  2. Tujuh huruf itu adalah tujuh bahasa dari bahasa-bahasa yang terdapat di Arab yang mana al-Quran diturunkan dengan menggunakan bahasa-bahasa tersebut.
  3. Sebagian ahli ilmu mengatakan bahwa tujuh huruf itu adalah tujuh bentuk, yakni al-amr, an-Nahy, al-Wa’ad, al-Wa’iid, al-Jadl, al-Qashash, dan al-Mitsal.
  4. Ada yang berpendapat bahwa tujuh huruf itu adalah tujuh bentuk perubahan yang terjadi perbedaan di dalamnya, yaitu:
  • Perbedaan isim-isim pada mufrad, mudzakkar, dan cabang-cabangnya yaitu tatsniyah, jama’, dan ta’nits. Misalnya Firman Allah:
و الذين هم لأماناتهم و عهدهم راعون (المزمنون: 8
Dibaca li amanatihim dengan jama’ dan li amanatihim dengan mufrad.
  • Perbedaan dalam I’rab, seperti firman Allah:
ما هذا بشرا (يوسف: 31
Umumnya membaca dengan nashab, yang mana ma beramal seperti amalan laisa yaitu bahasa penduduk hijaz dan al-Quran diturunkan dengan bahasa tersebut. Ibnu Mas’ud membaca basyar dengan rafa’, yang merupakan bahasa bani Tamim. Maka mereka tidak mengamalkan ma sebagaimana amalan laisa
  • Perbedaan dalam tashrif
  • Perbedaan dalam taqdim dan takhir
  • Perbedaan dalam Ibdal
  • Perbedaan dalam penambahan dan pengurangan
  • Perbedaan dialek (lahjah) seperti bacaan tafkhim (tebal) dan tarqiq (tipis), imalah, izhar, dan Seperti membaca imalah dan tidak imalah yang terdapat pada surat an-Nazi’at: 15
Dibaca dengan meng-imalah-kan kata أتى dan  موسى Pendapat ini dipegang oleh Ibnu Qutahibah Imam ar-Razi, al-Zarqani, Ibnu Jazari. Subhi Shalih juga mengikuti pendapat ini dan mengatakan bahwa pendapat inilah yang paling mendekati kebenaran, terutama berbedaan yang terjadi pada lahjah (dialek). Karena ia menonjolkan hikamh besar yang terkandung di dalam hadis Rasulullah saw. mengenai turunnnya al-Quran tujuh huruf. Disinilah terdapat hal-hal yang meringankan dan memudahkan umat Isalm yang terdiri dari berbagai kabilah dialek yang berbeda-beda.[28]
  1. Sebagian ahli ilmu berpendapat bahwa tujuh huruf itu adalah jumlahnya tujuh
  2. Pendapat yang lainnya bahwa tujuh huruf yaitu Qiraat yang tujuh.
5. Akhir dari al-Qur’an tujuh huruf
Berbeda pendapat ulama tentang akhir dari al-Qur’an tujuh huruf. Apakah masih ada dalam mushaf hari ini atau tidak. Ulama fikih, ulama Qira’at, dan Mutakallimin berpendapat bahwa seluruh huruf ini (tujuh huruf) ada dalam mushaf Utsmaniy. Ulama salaf, khalaf dan para imam kaum muslimin berpendapat bahwa dalam mushaf utsmaniy mencakup apa yang terkandung dalam rasamnya tujuh huruf saja. Al-Thabari dan para pengikutnya berpendapat bahwa mushaf Utsmani hanya mencakup satu huruf dari tujuh huruf yang dengannya al-Quran diturunnkan.  Dengan alasan bahwa al-Quran yang mencakup tujuh huruf hanya berlaku pada masa Rasulullah saw. saja, kemudian pada masa Utsman dihapus enam dialek berdasarkan ijma’ para ulama.[29]

 PENUTUP
A. KESIMPULAN
Berdasarkan uraian di atas tentang wahyu, nuzul al-Quran, dan nuzul al-Quran dengan tujuh huruf, pemakalah dapat menyimpulkan sebagai berikut:
  1. Secara bahasa wahyu mengandung dua istilah yaitu rahasia (khafa’) dan cepat (sari’ah), jadi secara bahasa wahyu adalah pemberitahuan allah kepada hamba-Nya dengan cara rahasia dan cepat. Wahyu menurut istilah adalah pemberitahuan Allah kepada hamba pilihan-Nya sebagai bukti kenabiannya berupa risalah yang berisi kebenaran.
  2. Wahyu sama-sama petunjuk dan ilmu dari Allah, namun wahyu sebagai tanda kenabian dan rasul, sedangkan ilham untuk hamba pilihan Allah selain nabi dan rasul.
  3. Nuzul al-Quran tidak bisa dipahami secara ma’nawy tetapi mesti dipahami secara Karena al-Quran yang diturunkan bukanlah benda yang berisi satuan isi atau berat. Sedang kata Nuzul menurut al-Zarqany berarti turun dari satu tempat yang tinggi ke tempat yang rendah.
  4. Al-Qur’an turun secara sekaligus dari Lauh Mahfuzh ke Baitul Izzah pada malam Qadar bulan Ramadhan. Kemudian diturunkan oleh Malaikat Jibril as. kepada Nabi saw. secara berangsur-angsur lebih kurang 23 tahun.
  5. Menurut pendapat shahih dan kuat bahwa surat dan ayat yang pertama diturunkan adalah surat al-‘Alaq ayat 1-3. Sedang ayat yang terakhir diturunkan adalah surat al-Baqarah ayat 281
  6. Di antara ayat dan surat ada yang diturunkan berulang-ulang yakni terjadi dua kali. Seperti surat al-Ikhlas diturunkan di Mekkah untuk membantah orang-orang kafir Quraisy, dan di Madinah untuk membantah orang yahudi.
  7. Terdapat banyak riwayat yang kuat bahkan ada yang mengatakan mutawatir tentang turunnya al-Quran dengan tujuh huruf. Bahkan sampai lebih kurang 40 sahabat yang meriwayatkan haditsnya.
  8. Terjadi perbedaan pendapat ulama dalam memahami makna al-Quran diturunkan dengan tujuh huruf.
  9. Ulama Fikih, Qira’at, dan Mutakallimin sepakat bahwa huruf yang tujuh itu masih terdapat dalam mushaf utsmaniy. Sedangkan al-Zarqany berpendapat bahwa tujuh huruf itu hanya berlaku di zaman Rasulullah saja, pada masa Utsman telah dihapuskan enam dialek yang lainnya berdasarkan kesepakatan ulama, dan hanya berpedoman kepada dialek Quraisy saja.

B. KRITIK DAN SARAN
Sepanjang uraian makalah yang penulis paparkan di atas, penulis menyadari bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan dan banyak kesalah. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan kritikan dan masukan dari pembaca agar makalah ini lebih baik di masa yang akan datang. Sebagai bahan perbandingan dan menambah wawasan bagi pembaca, penulis menyarankan untuk meneliti lebih jauh dan mendalam ke buku-buku ulama yang berkaitan dengan al-Qur’an dan Ilmu-ilmunya. Hanya kepada Allah penulis memohon, semoga makalah ini bermanfaat bagi penulis dan pembaca.

DAFTAR KEPUSTAKAAN
al-Baqi, Muhammad Fu’ad ‘Abd, al-Mu’jam al-Mufahharasy li Alfazh al-Qur’an al-Karim, (Beirut: Dar al-Fikr, 1981), Cet. II
al-Fairuzabady, Majduddin Muhammad bin Ya’kub, al-Qamus al-Muhith, (Beirut: Mu’assasah ar-Risalah, 2005), Cet. VIII
Al-Husain bin Muhammad, Abu al-Qasim, Al-Mufradat fi Gharib al-Qur’an, (Beirut: Maktabah Nazar Mushthafa al-Baz), Juz I
al-Mishriy, Ibnu Manzur al-Afriqiy, Lisan al-Arab, (Beirut: Daru Shadir, 1879), Jilid XII
al-Qaththan, Manna’ Khalil, Mabahits fi Ulum al-Qur’an, (Riyadh: Mansyurat al-‘Ashr al-Hadits, 1990)
al-Shalih, Subhi, Mabahits fi ‘Ulum al-Qur’an, (Beirut: Dar al-Ilmi li al-Malayiin, 1977), Cet. X
Al-Shobuniy, Muhammad Ali, al-Tibyan fi Ulum al-Qur’an, (Pakistan: Maktabah al-Busyra, 2011) Cet. II
Al-Syayi’, Muhammad bin Abdurrahman, Nuzul al-Qur’an al-Karim, (Riyadh: Maktabah al-Malk, 1997)
Al-Zarkasyi, Badaruddin Muhammad bin Abdullah, al-Burhan fi ‘Ulum al-Qur’an, (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1971)
Al-Zarqani, Muhammad Abdul Azhim, Manahil al-‘Irfan fi ‘Ulum al’Qur’an, (Beirut: Dar al-Kitab al-Arabi, 1990), Juz I
Ash-Shiddieqy, Muhammad Hasbi, Sejarah dan Pengantar Ilmu al-Qur’an dan Tafsir, (Semarang: PT Pustaka Rezki Putra, 2000) Cet. III
‘Atar, Nuruddin, ‘Ulum al-Qur’an al-Karim, (Damaskus: Mathba’ah al-Shabl, 1993)
Ma’luf, Luis, al-Munjid fi al-Lughah wa al-A’lam, (Beirut: Dar al-Masyriq, 1986)
Ridha, Muhammad Rasyid, Al-Wahyu al-Muhammady, (Beirut: Mu’assasah ‘Izz ad-Din, 1985)
Sa’id, Muhammad Ra’afat, Tarekh Nuzul al-Qur’an al-Karim, (al-Jami’ah al-Munawwifiyyah, 2001)
Umar, Nasaruddin, Ulumul Qur’an Mengungkap Makna-makna Tersembunyi al-Qur’an, (Jakarta: al-Ghazali Center, 1020)
Zenrif, MF., Sintesis Paradigma Studi al-Quran, (Malang: UIN-Malang Press, 2008)
[1] Majduddin Muhammad bin Ya’kub al-Fairuzabady, al-Qamus al-Muhith, (Beirut: Mu’assasah ar-Risalah, 2005), Cet. VIII, hal. 1342
[2] Muhammad Fu’ad ‘Abd al-Baqi, al-Mu’jam al-Mufahharasy li Alfazh al-Qur’an al-Karim, (Beirut: Dar al-Fikr, 1981), Cet. II, hal. 746-747
[3] Manna’ Khalil al-Qaththan, Mabahits fi Ulum al-Qur’an, (Riyadh: Mansyurat al-‘Ashr al-Hadits, 1990), hal. 32-33
[4] Luis Ma’luf, al-Munjid fi al-Lughah wa al-A’lam, (Beirut: Dar al-Masyriq, 1986), hal. 672
[5] Muhammad Rasyid Ridha. Al-Wahyu al-Muhammady, (Beirut: Mu’assasah ‘Izz ad-Din, 1985), hal. 81-82
[6] Nuruddin ‘Atar, ‘Ulum al-Qur’an al-Karim, (Damaskus: Mathba’ah al-Shabl, 1993), hal. 15
[7] Muhammad Abdul Azhim Al-Zarqani, Manahil al-‘Irfan fi ‘Ulum al’Qur’an, (Beirut: Dar al-Kitab al-Arabi, 1990), Juz I, hal. 55
[8] Muhammad Ra’afat Sa’id, Tarekh Nuzul al-Qur’an al-Karim, (al-Jami’ah al-Munawwifiyyah, 2001), hal. 11
[9] Ibnu Manzur al-Afriqiy al-Mishriy, Lisan al-Arab, (Beirut: Daru Shadir, 1879), Jilid XII, hal. 555
[10] Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu al-Qur’an dan Tafsir, (Semarang: PT Pustaka Rezki Putra, 2000) Cet. III, hal. 16-17
[11] Nuruddin ‘Atar, Op. Cit. hal 16-19
[12] Jalaluddin al-Suyuthy, Op. Cit., hal. 61
[13] Al-Hafizh Ibn Katsir, Tafsir Ibn Katsir Jilid VII, terjemahan Abdul Ghofar dan Abu Ihsan al-Atsari, (Jakarta: Pustaka Imam asy-Syafi’i, 2004), hal. 568
[14] Luis Ma’luf, Op. Cit. hal 802
[15] Muhammad bin Abdurrahman al-Syayi’, Nuzul al-Qur’an al-Karim, (Riyadh: Maktabah al-Malk, 1997), hal. 2
[16] Abu al-Qasim al-Husain bin Muhammad, Al-Mufradat fi Gharib al-Qur’an, (Beirut: Maktabah Nazar Mushthafa al-Baz), Juz I, hal. 631
[17] Muhammad bin Abdurrahman al-Syayi’, Op. Cit. hal. 9
[18] MF. Zenrif, Sintesis Paradigma Studi al-Quran, (Malang: UIN-Malang Press, 2008), hal7
[19] Muhammad Abdul Azhim al-Zarqaniy, Op. Cit. 37-38
[20] Ibid., hal. 41-42
[21] Muhammad Abdul Azhim al-Zarqaniy, Op. Cit., hal. 37-38
[22] Muhammad Ra’afat Sa’id, Op. Cit., hal. 51-54
[23] Badaruddin Muhammad bin Abdullah al-Zarkasyi, al-Burhan fi ‘Ulum al-Qur’an, (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1971), hal. 29
[24] Ramli Abdul Wahid, Ulumul Qura’an I, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002), hal. 153
[25] Al-Zarqany, Op. Cit., hal. 164
[26] Jalaluddin as-Suyuthy, Op. Cit., hal. 105
[27] Manna’ Khalil al-Qaththan, Op. Cit., hal. 158-162
[28] Subhi al-Shalih, Mabahits fi ‘Ulum al-Qur’an, (Beirut: Dar al-Ilmi li al-Malayiin, 1977), Cet. X, hal. 104-105
[29] Muhammad Ali al-Shobuniy, Op. Cit., hal 52
Share on Google Plus

About Unknown

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.
    Blogger Comment

0 komentar:

Post a Comment