MAKALAH
STUDI SEJARAH PERADABAN ISLAM
TENTANG
SEJARAH PERADABAN ISLAM PERIODE NABI MUHAMMAD SHALLALLAHU ALAIHI WA SALLAM
DISUSUN OLEH:
PAUSIL : 088142085
DOSEN PEMBIMBING:
Dr. AHMAD TAUFIK HIDAYAT, M.Ag
PRODI PENDIDIKAN BAHASA ARAB
PASCASARJANA INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
IAIN IMAM BONJOL PADANG
2014/2015
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Kebudayaan Islam periode Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam terbagi
menjadi dua periode, yakni periode Mekkah dan periode Madinah. Periode
Mekkah dimulai dengan diangkatnya beliau menjadi Nabi dan Rasul.
Sedangkan periode Madinah dimulai sejak Hijrahnya Rasulullah dan kaum
muslimin ke Madinah setelah lebih kurang 13 tahun berdakwah di Mekkah.
Periode Mekkah, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam berdakwah
menegakkan tauhid dan dasar-dasar Islam. Karena kentalnya masyarakat
Mekkah dengan agama nenek moyang mereka dan keengganan mereka
meninggalkan sesembahan mereka. Sehingga Nabi shallallahu alaihi wa sallam banyak
mendapatkan kecaman dan siksaan selama berdakwah di Mekkah. Setelah
perjuangan panjang lebih kurang 13 tahun, kemudian beliau memutuskan
untuk hijrah ke Madinah. Pada periode Madinah, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam berhasil
membangun dan membina masyarakat Islam yang kuat. Hal ini disebabkan
karena antusiasnya masyarakat Madinah dalam memahami Islam yang
diajarkan oleh Rasulullah dan para sahabat yang telah lebih dahulu masuk
Islam.
Penulis dalam hal ini, Insya Allah akan membahas secara
ringkas dan terbatas mengenai Sejarah Kebudayaan Islam periode Nabi
Muhammad shallallahu alaihi wa sallam.
B. RUMUSAN DAN BATASAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang di atas, penulis akan merumuskan permasalahan yang akan dibahas dalam makalah ini, yakni:
- Arab Pra-Islam
- Periode Mekkah
- Periode Madinah
BAB II
PEMBAHASAN
SEJARAH PERADABAN ISLAM PERIODE NABI MUHAMMAD SAW.
A. ARAB PRA-ISLAM
1. Asal Usul Bangsa Arab
Para sejarawan membagi kaum-kaum Arab berdasarkan garis keturunan asal mereka menjadi tiga bagian, yaitu:
- Arab Ba’idah, yaitu kaum-kaum Arab kuno yang sudah punah dan tidak mungkin melacak rincian yang cukup tentang sejarah mereka, seperti ‘Ad, Tsamud, Thasm, Judais, Imlaq (bangsa Raksasa) dan lain-lainnya.
- Arab Aribah, yaitu kaum-kaum Arab yang berasal dari garis keturunan Ya’rib bin Yasyjub bin Qahthan, atau disebut pula Arab Qahthaniyah.
- Arab Musta’rabah, yaitu kaum-kaum Arab yang berasal dari garis keturunan Ismail, yang disebut pula Arab Adnaniyah.[1]
2. Politik dan Pemerintahan
Bangsa
Arab sebelum Islam tidak pernah dijajah oleh bangsa asing, bahkan tidak
pernah tercipta kesatuan politik di seluruh Jazirah Arab.
Kerajaan-kerajaan kecil yang terdapat di Jazirah Arab bagian selatan
umumnya berdaulat atas wilayah mereka yang sempit dan sebatas
masyarakatnya. Mereka lebih suka hidup berkabilah-kabilah dan setiap
kabilah atau suku diperintah oleh seorang syaikh, yaitu seorang
yang dianggap tertua dan berani di antara anggota kabilah tersebut.
Oleh karena itu, tidak ada rasa solidaritas sosial yang menyeluruh bagi
semua suku Arab, bahkan hubungan kerjasama antar suku hanya didasari
atas kepentingan bersama.[2]
Para penguasa di jazirah Arab bisa dibagi menjadi dua kelompok:
- Raja-raja bermahkota, tetapi pada hakikatnya mereka tidak memiliki independensi.
- Para pemimpin dan pemuka kabilah atau suku, yang memiliki kekuasaan dan hak-hak istimewa sama seperti kekuasaan para raja, mayoritas mereka memiliki independensi penuh. Namun boleh jadi sebagian mereka bersubordinasi dengan raja bermahkota.[3]
3. Sosial Kemasyarakatan
Masyarakat,
baik nomadik maupun yang menetap, hidup dalam budaya kesukuan Badui.
Organisasi dan identitas social berakar pada keanggotaan dalam suatu
rentang komunitas yang luas. Kelompok beberapa keluarga membentuk
kabilah (clan). Beberapa kelompok kabilah membentuk suku (tribe) dan
dipimpin oleh seorang syaikh. Mereka sangat menekankan hubungan
kesukuan, sehingga kesetiaan atau solidaritas kelompok menjadi sumber
kekuatan bagi suatu kabilah atau suku. Mereka suka berperang. Karena
itu, peperangan antarsuku sering sekali terjadi. Sikap ini tampaknya
telah menjadi tabiat yang mendarah daging dalam diri orang Arab. Dalam
masyarakat yang suka berperang tersebut, nilai wanita menjadi sangat
rendah.[4]
Bahkan apabila mereka melahirkan anak perempuan, mereka merasa sangat
malu dan hina atau mereka kubur hidup-hidup. Sebagaimana yang terdapat
dalam Firman Allah swt.:
Artinya: Padahal apabila seseorang dari
mereka diberi kabar dengan (kelahiran) anak perempuan, wajahnya menjadi
hitam (merah padam), dan dia sangat marah. Dia bersembunyi dari orang
banyak, disebabkan kabar buruk yang disampaikan kepadanya. Apakah dia
akan memeliharanya dengan (menanggung) kehinaan atau akan membenamkannya
ke dalam tanah (hidup-hidup)? Ingatlah alangkah buruknya (putusan) yang
mereka tetapkan itu.
Kalaupun anak perempuan itu dibiarkan hidup,
maka akan dibiarkan dalam keadaan hina, tidak diberi warisan juga tidak
diperhatikan, dan lebih cenderung mengutamakan anak laki-laki daripada
anak perempuan.[5]
4. Ekonomi dan perdagangan
Terikat
oleh keadaan geografis alam yang tandus, kering, dan gersang, maka pada
umumnya kehidupan orang Arab sebelum Islam bersumber dari kegiatan
perdagangan dan peternakan. Maka terkenallah beberapa kota di Hijaz
sebagai pusat perdagangan, seperti Makkah, Madinah, Yaman, dan
lain-lain.[6]
5. Moral dan agama
Kondisi
akhlak dan moral masyarakat saat itu sangat merosot dan jauh dari
norma-norma. Seringnya terjadi penindasan dan kekerasan, yang kuat
menindas yang lemah, yang kaya menghisap yang miskin, yang pandai
memeras yang bodoh, dan berkembangnya perbudakan.
Penduduk Arab menganut agama yang bermacam-macam, antara lain yang terkenal adalah penyembahan terhadap berhala atau paganisme. Menurut
Syalabi penyembahan berhala itu pada mulanya ialah ketika orang-orang
Arab itu pergi keluar kota Makkah, mereka selalu membawa batu yang
diambil dari sekitar Ka’bah. Mereka mensucikan batu dan menyembahnya di
mana mereka berada. Lama-lama dibuatlah patung yang disembah dan mereka
berkeliling mengitarinya (tawaf), dan di saat-saat tertentu mereka masih
mengunjungi Ka’bah. Kemudian mereka memindahkan patung-patung mereka di
sekitar Ka’bah yang jumlahnya mencapai 360 buah. Di samping itu ada
patung-patung besar yang ada di luar Makkah, yang terkenal ialah
Manah/Manata di dekat Yasrib atau Madinah, al-Latta di Thaif, dan
al-Uzza di Hijaz. Hubal ialah patung yang terbesar yang terbuat dari
batu akik yang berbentuk manusia yang diletakkan dalam Ka’bah. Mereka
percaya bahwa menyembah berhala-berhala itu bukan menyembah kepada wujud
berhala itu tetapi hal tersebut dimaksudkan sebagai perantara untuk
menyembah Tuhan.[7] Sebagaimana diterangkan di dalam al-Qur’an:
Artinya: “…Kami tidak menyembah mereka melainkan (berharap) agar mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya…”
Qatadah, as-Suddi, Malik Dari Zaid bin Aslam dan Ibnu Zaid berkata: “Melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya’, yaitu
agar mereka memberikan syafa’at kepada kami dan mendekatkan kedudukan
kami kepada-Nya.” Untuk itu dulu pada masa jahiliyah mereka mengucapkan
talbiyah mereka di waktu haji: “Aku penuhi panggilan-Mu, tidak ada
sekutu bagi-Mu kecuali sekutu yang Engkau miliki, Engkau memilikinya
sedang ia tidak memiliki. Syubhat inilah yang dipegang teguh oleh kaum
musyrikin sejak masa lalu dan masa berikutnya.[8]
6. Kesenian
Sekitar
kota Mekkah banyak terdapat pasar-pasar kesenian. Pasar-pasar tersebut
dijadikan pusat keramaian bagi penyair-penyair Arab. Di antaranya yang
terkenal yaitu ‘Ukaz dan Zul Majaz. Di sini penyair-penyair membacakan syair-syairnya dan biasanya dipertandingkan di antara mereka. Bagi yang terbaik mendapat mu’alaqat sebagai tanda penghargaan. Mu’alaqat semacam piagam berisikan syair sang juara yang ditulis dengan tinta emas dan digantungkan di dinding Ka’bah.[9]
7. Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
Di kalangan bangsa Arab sebelum Islam berkembang ilmu nujum, ilmu
falaq dan sebagainya. Ilmu falaq amat berguna bagi mereka untuk
menentukan cuaca. Ilmu arsitek/bangunan hanya berguna/berkembang pada
umumnya di Yaman.[10]
B. PERIODE MEKKAH
1. Masa kelahiran Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam
Sayyidul
Mursalin dilahirkan di tengah kabilah bani Hasyim di Mekkah pada hari
Senin 9 Rabi’ul Awal saat tragedi pasukan bergajah, bertepatan pada
tanggal 20 atau 22 April 571 M.[11] Menurut Caussin De Parceval dalam essai sur l’ Histoire des Arabes menyatakan
bahwa Muhammad dilahirkan pada bulan Agustus 570 M. Tetapi pada umumnya
mengatakan bahwa dia dilahirkan pada tanggal 12 Rabi’ul Awal.[12]
Abdul
Muthallib, kakek Nabi Muhammad ketika mendengar kabar kelahiran
cucunya, beliau langsung mendatanginya dan menggendongnya mengelilingi
Ka’bah sebanyak tujuh kali, dan ia berkata: “Wahai cucuku yang diberkati
Allah, aku akan menamaimu Muhammad. Kelahiran ini diiringi dengan
kesucian dan kemenangan bagi Rumah Suci, semoga berkah selalu baginya!”[13]
Beliau
lahir dalam keadaan yatim, karena ayahnya Abdullah meninggal dunia
ketika Muhammad masih dalam kandungan ibunya Aminah. Muhammad kemudian
diserahkan kepada ibu pengasuh Halimah Sa’diyah, yang sebelumnya disusui
oleh budak perempuan Abu Jahal yaitu Tsuwaibah.[14]
Selama itu beliau saw. banyak membawa keberkahan terhadap keluarga
Halimah as-Sa’diyah. Lebih kurang empat sampai lima tahun beliau tinggal
di perkampungan kabilah Bani Sa’ad, hingga terjadinya peristiwa
dibelahnya dada beliau. Dalam peristiwa tersebut Jibril membelah
jantungnya dan mengeluarkan segumpal darah yang merupakan bagian setan,
sehingga bila tetap ada niscaya ia dapat memperdayai Muhammad. Kemudian
jantubg tersebut dicuci denga air zamzam dan dikembalikan ke tempatnya
semula. Setelah itu, kurang lebih dua tahun dia berada dalam asuhan ibu
kandungnya. Ketika berusia enam tahun, dia menjadi yatim piatu.
Setelah
Aminah meninggal, Abdul Muthalib megambil alih tanggung jawab merawat
Muhammad. Namun, dua tahun kemudian Abdul Muthalib meninggal dunia
karena renta. Tanggung jawab selanjutnya beralih kepada pamannya, Abu
Thalib.
Dalam usia muda, Muhammad hidup sebagai pengembala kambing
keluarganya dan keluarga penduduk Mekkah. Melalui kegiatan pengembalaan
ini dia menemukan tempat untuk berpikir dan merenung.
Nabi
Muhammad ikut untuk pertama kali dalam kafilah dagang ke Syria (Syam)
dalam usia baru 12 tahun. Kafilah itu dipimpin oleh Abu Thalib. Dalam
perjalanan ini, di Bushra, sebelah selatan Syria, ia bertemu dengan
seorang pendeta Kristen bernama Buhairah. Pendeta ini melihat
tanda-tanda kenabian pada Muhammad sesuai dengan petunjuk cerita-cerita
Kristen. Sebagian sumber menceritakan bahwa pendeta itu menasehati Abu
Thalib agar jangan terlalu jauh memasuki daerah Syria, sebab
dikhawatirkan orang-orang Yahudi mengetahui tanda-tanda itu akan berbuat
jahat terhadapnya.
Pada usia yang kedua puluh lima, Muhammad
berangkat ke Syria membawa barang dagangan saudagar wanita kaya raya
yang telah lama menjanda, Khadijah yang kemudian menjadi istrinya.
Ketika itu Muhammad berusia 25 tahun dan Khadijah 40 tahun.
Peristiwa
penting yang memperlihatkan kebijaksanaan Muhammad terjadi pada saat
usianya 35 tahun. Waktu itu bangunan Ka’bah rusak berat. Ketika terjadi
perselisihan mengangkat dan meletakkan hajar aswad di tempatnya semula,
karena setiap suku merasa berhak malakukannya. Kemudian para pemimpin
Qurays sepakat bahwa orang yang pertama masuk ke Ka’bah melalui pintu
Shafa, akan dijadikan hakim untuk memutuskan perkara ini. Ternyata
Muhammad yang pertama kali masuk dan yang dipercaya menjadi hakim. Ia
membentangkan kain dan meletakkan hajar aswad di tengah-tengah, lalu
meminta seluruh kepala suku memegang tepi kain itu dan mengangkatnya
bersama-sama. Setelah sampai pada ketinggian tertentu Muhammad
meletakkan batu itu pada tempatnya semula.
2. Masa Kenabian dan Kerasulan Muhammad shallallahu alaihi wa sallam
Tatkala usia beliau mendekati 40 tahun, beliau mulai suka mengasingkan diri. Ketika pengasingan diri (uzlah)
di gua Hira’ memasuki tahun ketiga tepatnya di bulan Ramadhan Allah
mengangkatnya sebagai nabi dengan mengutus Jibril kepadanya yang membawa
beberapa ayat al-Qur’an, yaitu surat al-‘Alaq ayat 1-5. Itulah wahyu
pertama. Malam terjadinya peristiwa itu kemudian dikenal sebagai “Malam
penuh keagungan” (Lailah al-Qadr), dan menurut riwayat terjadi menjelang akhir bulan Ramadhan (610).[15]
Kemudian, Allah memuliakan beliau dengan mengangkat menjadi rasul
dengan diturunkannya al-Qur’an surat al-Mudatsir ayat 1-5, sebelumnya
wahyu tidak diturunkan (vakum) beberapa hari setelah wahyu pertama.
a. Perjuangan Dakwah
Secara
umum, pada periode Mekkah, kebijakan dakwah yang dilakukan Nabi
Muhammad adalah dengan menonjolkan kepemimpinannya, bukan kenabiannya.
Implikasinya, dakwah dengan strategi politik yang memunculkan
aspek-aspek keteladanannya dalam menyelesaikan berbagai persoalan sosial
(egalitarisme) lebih tepat dibandingkan dengan aspek kenabiannya dengan
melaksanakan tabligh.[16]
Permulaan
dakwah Rasulullah disampaikan kepada kerabat dekat dan para tokoh
masyarakat Quraisy seperti Abu Bakar as-Siddiq sebagai sahabat beliau
yang paling tulus. Orang yang pertama kali masuk Islam adalah Khadijah,
Zaid bin Haritsah, Ali bin Abi Thalib, Abu Bakar as-Siddiq, Utsman bin
‘Affan, az-Zubair bin al-‘Awwam, Sa’ad bin Abi Waqqas, Abdurrahman bin
Auf, dan Thalhah bin ‘Ubaidillah. Kemudian diikuti oleh para tokoh
Quraisy seperti ‘Ubaidah bin al-Jarrah, al-Arqam bin Abu al-Arqam,[17]
dan lain-lain. Perjuangan dakwah ini dilakukan secara rahasia yang
berpusat di rumah al-Arqam bin Abu al-Arqam. Dakwah yang bersifat
individu ini berjalan selama lebih kurang tiga tahun, kemudian turunlah
perintah kepada Nabi saw., untuk menyampaikan dakwah kepada kaumnya
secara terang-terangan, dan menentang kebatilan mereka serta menyerang
berhala-berhala mereka.
Tatkala turun perintah dakwah dari Allah subhanahu wa ta’ala secara terang-terangan dan melawan kemusyrikan, sebagaimana yang terdapat dalam al-Qur’an surat al-Hijr ayat 94-95:
فَاصْدَعْ بِمَا تُؤْمَرُ وَأَعْرِضْ عَنِ الْمُشْرِكِيْنَ. إِنَّا كَفَيْنَكَ الْمُسْتَهْزِءِيْنَ (الحجر: 94-95)
Artinya:
Maka sampaikanlah olehmu secara terang-terangan segala apa yang
diperintahkan (kepadamu) dan berpalinglah dari orang-orang musyrik.
Sesungguhnya Kami memelihara kamu daripada (kejahatan) orang-orang yang
memperolok-olok (kamu). (Q.S. al-Hijr: 94-95)
dan tatkala turun ayat:
وَ أَنْذِرْ عَشِيْرَتَكَ الأَقْرَبِيْنَ (الشعراء: 214)
Artinya: Dan berilah peringatan kepada keluargamu yang terdekat. (Q.S. asy-Syu’ara’: 214)
Rasulullah
naik ke atas bukit Shafa, lalu menyeru kepada kabilah-kabilah Quraisy.
Kemudian tak berapa lama mereka pun berkumpul. Lalu Beliau berkata,
“Bagaimana menurut pendapat kalian kalau aku beritahukan bahwa ada
segerombolan pasukan kuda di lembah sana yang ingin menyerang kalian,
apakah kalian akan mempercayaiku?” Mereka menjawab, “Ya, kamu tidak
pernah tahu dari dirimu selain kejujuran.” Beliau berkata, “Sesungguhnya
aku adalah pemberi peringatan kepada kalian akan azab yang amat pedih.”
Abu Lahab menanggapi, “Celakalah engkau sepanjang hari! Apakah hanya
untuk ini engkau kumpulkan kami?”
Maka ketika itu turun ayat:
تَبَّتْ يَدَآ أَبِي لَهَبٍ وَ تَبَّ “Celakalah kedua tangan Abu Lahab”
(Q.S. Al-Lahab: 1). Yakni benar-benar merugi lagi gagal, amal perbuatan
dan usahanya pun tersesat.[18]
Rasulullah
melakukan dakwah Islam secara terang-terangan di tempat-tempat
berkumpul dan bertemunya kaum musyrikin. Beliau membacakan Kitabullah
dan menyampaikan ajakan yang selalu disampaikan oleh para rasul
terdahulu kepada kaum mereka, “Wahai kaumku! Sembalah Allah. Kalian tidak memiliki Tuhan selainNya”.
Dan beliau juga memamerkan praktik ibadahnya kepada Allah, melakukannya
di halaman Ka’bah pada siang hari dan disaksikan oleh khalayak ramai.
Dakwah yang beliau lakukan tersebut mendapat sambutan baik dari mereka
sehingga banyak di antara mereka yang masuk ke dalam agama Islam.
Manakala
musim haji telah datang yang dilakukan Rasulullah adalah membututi
jama’ah-jama’ah yang datang hingga sampai ke tempat-tempat mereka, di
pasar ‘Ukazh, Majinnah, dan Dzul Majaz. Beliau
mengajak mereka untuk menyembah Allah, sedangkan Abu Lahab selalu
membututi dan memotong setiap ajakan beliau dengan berbalik mengatakan
kepada mereka “Jangan kalian patuhi dia karena dia adalah seorang
pembawa agama baru lagi pendusta”. Dan kenyataannya, justru dari musim
itulah perihal Rasulullah menjadi pusat perhatian delegasi Arab dan
namanya menjadi buah bibir orang di seantero negeri Arab.
Seiring
banyaknya orang yang membenarkan ajakan Beliau, seiring dengan itu
kebencian para pembesar Quraisy yang enggan menerima dakwah Rasul juga
semakin membara. Sehingga begitu banyak celaan, cobaan, dan siksaan yang
diterima oleh Nabi dan orang Islam saat itu. Di antaranya Ammar bin
Yasir dan kedua orang tuanya pernah diseret oleh orang-orang Quraisy ke
al-Abthah untuk disiksa. Bahkan kedua orang tuanya ditikam oleh Abu
Jahal dengan lembih hingga menjadi syahid. Di antara kaum muslimin yang
sangat berat siksaannya adalah Bilal, dia adalah seorang budak Habsyi
yang digambarkan oleh Rasulullah sebagai buah pertama dari kaum Habsyi.
Selain itu, yang juga menerima siksaan yang berat ialah Khabbab bin
al-Arut. Siksa yang menimpa kaum muslimin ketika itu tidak hanya
dirasakan oleh kaum laki-laki, juga kaum perempuan. Alkisah Labinah,
seorang budak perempuan kepunyaan Bani Mu’min yaitu Hay Bani ‘Addi bin
Ka’b) masuk Islam, kemudian Labinah dibeli oleh Abu Bakar as-Shiddiq dan
memerdekakannya. [19]
b. Dakwah di luar kota Makkah
1) Kaum muslimin Hijrah ke Habsyi
Pada awal tahun 615 M[20]
kaum muslimin hijrah ke Habsyi. Penganiayaan dan intimidasi orang-orang
Quraisy merupakan ujian yang hebat bagi Nabi Muhammad dan
pengikut-pengikutnya. Salah satu langkah antisipatif penyelamatan, Nabi
Muhammad telah memerintahkan untuk berhijrah ke Habasyah[21] (Habsyi) yang waktu itu dipimpin oleh Najasyi, seorang yang beragama Nasrani.[22] Rombongan ini terdiri dari 12 orang laki-laki dan empat orang wanita, dikepalai oleh Utsman bin Affan.[23]
Pada tahun yang sama, tepatnya di bulan Syawwal rombongan ini kembali ke Makkah, karena berita dusta tentang peristiwa Gharaniq, bahwa
orang-orang Quraisy telah masuk Islam. Ternyata berita tersebut
berbanding terbalik, sehingga setelah di Mekkah kaum Quraisy semakin
menjadi-jadi melakukan penyiksaan terhadap kaum muslimin. Oleh karena
itu, Rasulullah kembali memerintahkan kaum muslimin untuk kembali ke
Habasyah (Habsyi). Rombongan yang kedua ini terdiri dari 83 laki-laki
dan 18 atau 19 perempuan.[24]
2) Hijrah ke Tha’if
Pada
bulan Syawwal tahun ke-10 kenabian atau tepatnya pada penghujung bulan
Mei atau awal Juni tahun 619 M Rasulullah pergi menuju kota Thaif yang
letaknya sekitar 60 mil dari kota Makkah.[25]
Dengan harapan semoga Allah memberikan petunjuk kepada penduduknya
untuk memeluk agama Islam. Pada kenyataannya penduduk Tha’if justru
menolak beliau dengan penolakan yang lebih buruk. Mereka menuntut
beberapa mukjizat tertentu darinya seperti mereka meminta agar beliau
dapat membelah bulan menjadi dua, lalu beliau memohonkan kepada Allah
agar memperlihatkan kepada mereka. Namun, mereka tetap pada
kekafirannya.
3. Isra’ Mi’raj
Isra’ yaitu Rasulullah
diperjalankan dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsho yaitu Baitul Maqdis
setelah menyebarkan Islam di Mekkah kepada orang-orang Quraisy dan
kabilah-kabilahnya.[26] Mi’raj yaitu perjalanan Rasulullah dari Baitul Maqdis naik ke langit ke tujuh.[27]
Malam itu Beliau dimi’rajkan dari Baitul Maqdis menuju langit dunia. Di sana beliau melihat Adam, bapak manusia. Kemudian beliau dimi’rajkan ke langit kedua, di sana beliau melihat Nabi Yahya alaihissalam dan Isa alaihissalam. Kemudian beliau dimi’rajkan ke langit ketiga, di sana beliau melihat nabi Yusuf alaihissalam. Kemudian beliau dimi’rajkan ke langit keempat, di sana beliau melihat Nabi Idris alaihissalam. Kemudian beliau dimi’rajkan ke langit kelima, di sana beliau melihat Nabi Harun alaihissalam. Kemudian beliau dimi’rajkan ke langit keenam, di sana beliau melihat Nabi Musa alaihissalam. Kemudian beliau dimi’rajkan ke langit ketujuh, di sana beliau bertemu dengan Nabi Ibrahim alaihissalam. Kemudian beliau naik ke Sidratul Muntaha, lalu al-Bait al-Ma’mur dinaikkan untuknya. Kemudian beliau dimi’rajkan
lagi menuju Allah yang Maha Agung lagi Mahaperkasa. Kemudian Dia
mewahyukan kepada hamba-Nya mewajibkan 50 waktu shalat. Kemudian Beliau
kembali hingga melewati Nabi Musa alaihissalam. Musa lalu
bertanya kepada beliau, ‘Apa yang diperintahkan kepadamu?’ Beliau
menjawab, ’50 waktu shalat’. Dia berkata, ‘Umatmu pasti tidak sanggup
melakukan itu, kembalilah kepada Rabbmu dan mintalah keringanan untuk
umatmu.’ Lalu Jibril membawa beliau kembali naik ke hadapan Allah. Lalu
Allah menguranginya menjadi 10 waktu shalat. Kemudian ketika melewati
Nabi Musa, dan beliau memberitahukan hal tersebut kepadanya. Dia
berkata, ‘Kembalilah lagi kepada Rabbmu dan mintalah keringanan!’ Beliau
terus mondar-mandir antara Nabi Musa dan Allah hingga akhirnya Allah
menjadikannya 5 waktu shalat.[28]
4. Bai’at al-‘Aqabah
Pada
musim haji sesudah perang Bu’ats, berangkatlah serombongan orang-orang
Khazraj menuju Makkah untuk berhaji. Sesampainya di Makkah mereka
ditemui Rasulullah di ‘Aqabah dan pada saat itu pula mereka mendengar
dakwah beliau lalu menerimanya. Ketika tiba musim haji tahun berikutnya,
datanglah ke Makkah dua belas orang penduduk Yatsrib untuk menemui
Rasulullah di ‘Aqabah. Kemudian pada malam harinya mereka melakukan
bai’at tanda setia kepada beliau yang disebut dengan Bai’at an-Nisa’ atau Bai’at al-Aqabah al-Ula.[29]
Pada tahun 622 M terjadi sumpah setia kedua (Bai’at al-‘Aqabah al-Tsaniyah) yang
berisikan pernyataan bahwa mereka tidak hanya menerima Muhammad sebagai
nabi dan menjauhi perbuatan dosa, akan tetapi juga sanggup berperang
membela Tuhan dan rasul-Nya.[30]
Selain itu, mereka mengharapkan Nabi Muhammad hijrah ke Yatsrib, karena
mereka sangat membutuhkan seseorang yang akan menjadi pemimpin mereka
dan menyelesaikan sengketa antara suku Aus dan suku Khazraj yang telah
terjadi bertahun-tahun.
C. PERIODE MADINAH
1. Hijrah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam
Melihat
pesatnya dakwah Islam di Yatsrib dan masuknya suku Aus dan Khazraj,
maka Nabi saw. memerintahkan umatnya untuk berhijrah ke kota itu secara
perorangan atau kelompok kecil agar tidak diketahui oleh orang-orang
Quraisy.[31] Sedangkan Nabi sendiri menyusul dan sampai di sana pada 24 September 622,[32] yang ditemani oleh Abu Bakar as-Shiddiq.
2. Membangun masyarakat Islam
Selama
13 tahun Nabi saw. telah menegakkan tauhid di Mekkah dengan penuh
tantangan dan siksaan dari kaum kafir Quraisy. Selama itu belum
terbentuk komunitas Islam karena jumlah yang sedikit dan penuh tekanan
musuh. Maka ketika Nabi hijrah ke Madinah, barulah terbentuk masyarakat
Islam.
Usaha Nabi saw. dalam membangun masyarakat Islam di Madinah yaitu:
a. Membentuk pemerintahan
Nabi
Muhammad saw. di samping sebagai rasul, beliau diangkat oleh suku Auz
dan Khazraj sebagai pemimpin. Usaha yang dilakukan Nabi untuk mengatur
umat Islam di Madinah membentuk konstitusi yang disebut dengan Piagam
Madinah, yang berisi 47 pasal diantaranya 5 poin yang terpenting yaitu:
1) Bahwa komunitas ini mempunyai kepentingan agama dan politik
2) Kemerdekaan beragama terjamin bagi semua komunitas
3) Seluruh penduduk Madinah memiliki toleransi moril dan materil serta menangkal agresi yang ditujukan kepada Madinah
4) Rasulullah adalah pemimpin tertinggi penduduk Madinah
5) Penetapan dasar politik, ekonomi, dan sosial bagi setiap komunitas.
b. Pembentukan sistem sosial kemasyarakatan
Rasulullah
mempersaudarakan di antara kaum muslimin. Mereka kemudian membagikan
rumah yang mereka miliki, bahkan juga istri-istri dan harta mereka.
Rasulullah telah menciptakan sebuah kesatuan yang berdasarkan agama
sebagai pengganti dari persatuan yang berdasarkan kabilah.[33]
c. Dakwah
Rasulullah
mendirikan mesjid sebagai tempat penyelenggaraan ibadah dan pendidikan
agama, juga menjadi pusat pertemuan umat Islam untuk bermusyawarah.
d. Militer
Nabi Muhammad saw. membentuk pasukan perang yang terdiri dari kaum Muhajirin dan kaum Anshar, karena sering terjadi peperangan.
e. Ekonomi dan Sumber Keuangan Negara
Rasulullah
saw. memperhatikan dan mengatur perdagangan dan transaksi sesuai dengan
norma-norma yang dianjurkan. Seperti bersikap adil, kesaksian yang
jujur, dan tidak melakukan praktik riba. Tentang pengolahan pertanian
beliau menyerahkan kepada masyarakat Madinah, karena mereka lebih ahli
daripada orang-orang Mekkah.
3. Masa Peperangan
a. Perang Badar al-Kubra
Perang ini terjadi di Badar, 144,5 km sebelah barat daya Madinah pada bulan Ramadhan.[34]
Besar kekuatan umat Islam sebanyak 313 orang laki-laki, sementara dari
kaum kafir Quraisy berjumlah sekitar 1000 orang. Berkat pertolongan
Allah kemudian dengan perjuangan umat Islam yang dipimpin oleh Nabi
saw., umat Islam mampu memukul mundur pasukan kafir Quraisy.
b. Perang Uhud
Perang ini terjadi tahun 625 M[35]
pada pertengahan bulan Sya’ban pada tahun kedua Hijriyah. Perang ini
disebabkan oleh perasaan dendam kaum kafir Quraisy yang meluap karna
kekalahannya pada perang Badar. Dalam perang ini kaum muslimin mengalami
kekalahan dan tidak luput Rasulullah pun terluka dan gigi serinya
tanggal.
c. Perang Ahzab (Khandaq)
Perang ini terjadi pada
tahun kelima Hijriyah, disebabkan oleh rasa dendam orang-orang kafir
Quraisy masih tersisa dan mereka mengira bahwa Nabi Muhammad telah kalah
dan tersingkir karena perang Uhud. Perang ini dinamakan khandaq karena
usulan dari Salman al-Farisi untuk menggali parit. Sebelumnya, kaum
muslimin dibaikot sehingga mengalami kelaparan. Saking laparnya
Rasulullah dan kaum muslimin sampai mereka meletakkan batu pada perut.
d. Perang Khaibar
Terjadi
pada bulan Muharram tahun ketujuh Hijriyah, yang disebabkan oleh
orang-orang Khaibar yang menjadi sarang makar, pusat konspirasi, tempat
memprovokasi, sumber keonaran, dan pemicu api peperangan. Mereka
menghasut bani Quraizhah melakukan pengkhianatan dan bersekutu dengan
kaum Zindiq.
e. Fathul Mekkah
Perang ini terjadi pada tahun
kedelapan Hijriyah yang disebabkan karena pelanggaran kaum kafir Quraisy
terhadap perjanjian Hudaibiyah. Rasulullah saw. mengingatkan para
sahabat bahwa Abu Sufyan akan datang ke Madinah untuk memperkuat
perdamaian dan memperpanjang masanya.[36]
Dalam peristiwa ini terjadi penaklukan besar-besaran yang dengannya
Allah memuliakan agama, Rasul, tentara, dan kelompoknya yang terpercaya.
Dengannya terselamatkanlah tanah suci dan rumah-Nya yang dia jadikan
sebagai petunjukbagi alam semesta dari cengkeraman orang-orang kafir dan
musyrik.[37]
4. Wafatnya Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam
Pada
tanggal 28 atau 29 bulan Safar tahun 11 Hijriyah Rasulullah saw.
menghadiri penguburan jenazah seorang sahabat di Baqi’. Ketika kembali,
di tengah perjalanan beliau merasakan pusing dan panas mulai merambat
disekujur tubuh. Nabi shalat bersama para sahabat dalam keadaan sakit
selama 11 hari, sedangkan jumlah hari sakit beliau adalah 13 atau 14
hari.[38]
Rasulullah saw. wafat pada saat waktu Dhuha sedang panas-panasnya,
yaitu pada hari senin 12 Rabi’ul Awwal tahun 11 Hijriyah, umur beliau
saat itu telah mencapai 63 tahun lebih empat hari.
Rasulullah saw.
hidup tiga tahun lamanya setelah memakan kambing yang telah diracuni di
Khaibar sampai beliau jatuh sakit yang mengantarkan kepada kematian. [39] Dari Aisyah r.a., dia berkata: Nabi saw bersabda pada saat sakitnya yang mengantarkan beliau pada kematian, “Wahai
Aisyah, aku masih merasakan sakitnya makanan yang telah aaku makan di
Khaibar. Maka inilah saatnya aku merasakan aortaku mulai berhenti
disebabkan racun tersebut”.” (H.R. Bukhari)
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Adapun kesimpulan dari uraian di atas, yaitu:
- Keadaan masyarakat Mekkah sebelum munculnya cahaya Islam sangat jauh dari kemanusiawian. Misalnya, membunuh bayi perempuan, merendahkan kaum perempuan, maraknya perjudian, bermain perempuan, khamar, dan lain sebagainya.
- Masa kecil sampai masa remaja Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam merupakan teladan yang baik bagi manusi. Kehidupan yang penuh kemandirian dan ketekunan sudah selayaknya jadi figur bagi pemuda-pemuda Islam.
- Dakwah Islam periode Mekkah berlangsung lebih kurang 13 tahun dengan menegakkan tauhid dan dasar-dasar Islam.
- Dakwah Islam periode Madinah menyempurnakan perintah-perintah ibadah dan muamalah serta berperang membela agama Allah dan Rasul-Nya
- Rasulullah wafat tidaklah mewariskan uang Dinar dan Dirham, tetapi beliau mewariskan Ilmu. Maka siapa yang mengambil warisan Rasulullah, maka ia telah mengambil bagian yang sangat banyak.
B. KRITIK DAN SARAN
Penulis
menyadari bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan. Maka penulis sangat
mengharapkan kritikan yang dapat mendukung untuk lebih baiknya di masa
yang akan datang. Penulis juga menyarankan kepada pembaca, agar membaca
buku-buku yang berkaitan dengan Sejarah Peradaban Islam terutama periode
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan buku-buku sirah Nabawiyyah yang
telah banyak ditulis oleh para ulama dan peneliti sejarah. Hanya kepada
Allah kita memohon pertolongan dan perlindungan, semoga makalah ini
bermanfaat bagi penulis dan pembaca sekalian.
[1] Shafiyurrahman al-Mubarakfuri, Perjalanan
Hidup Rasul yang Agung Muhammad saw. dari Kelahiran Hingga Detik-Detik
Terakhir, (Terjemahan dari judul asli: ar-Rahiq al-Makhtum), (Jakarta: Darul Haq, 2012), Cet. XIV hal. 2-3
[2] Ali Hasan al-Karbuthli (Maidir Harun dan Firdaus, Sejarah Peradaban Islam, (Padang: IAIN-IB Press, 2001), hal 17)
[3] Shafiyurrahman al-Mubarakfuri, Op. Cit. hal. 12
[4] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam (Dirasah Islamiyah II), (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2006) hal. 11
[5] Tafsir Ibnu Katsir (Terjemahan: M. Abdul Ghaffar dan Abdurrahim Mu’thi, Tafsir Ibnu Katsir Jilid 5, (Bogor: Pustaka Imam Syafi’I, 2003) Cet. I, hal. 73)
[6] Maidir Harun dan Firdaus, Sejarah Peradaban Islam, (Padang: IAIN-IB Press, 2001), hal 20
[7] Ali Mufrodi, Islam di Kawasan Kebudayaan Arab, (Jakarta: Logos, 1997) Cet. I, hal. 8-9
[8] Tafsir Ibnu Katsir (Terjemahan: M. Abdul Ghaffar dan Abdurrahim Mu’thi, Tafsir Ibnu Katsir Jilid 7, (Bogor: Pustaka Imam Syafi’i, 2003) Cet. I, hal. 87)
[9] Maidir Harun dan Firdaus, Op. Cit. hal 22
[10] Maidir Harun dan Firdaus, ibid
[11] Shafiyurrahman al-Mubarakfuri, ar-Rahiq al-Makhtum, Bahtsun fi as-Sirah an-Nabawiyah ‘ala Shohibiha Afdhalu ash-Sholatu wa as-Salam, (Beirut: Dar al-Fikr, 2008) Cet. I, hal 36
[12] Muhammad Husain Haekal, Sejarah Hidup Muhammad, (Jakarta: Litera AntarNusa, 1993) Cet. XVI, hal. 49
[13] Tahia al-Ismail, Tarikh Muhammad saw. Teladan Perilaku Ummat, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1996) Cet. I, hal 12
[14] Tahia al-Ismail, Op. Cit. hal. 13
[15] Philip K. Hitti, History of The Arabs; From the Earliest Times to the Present, (Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2010), Cet. II, hal. 141
[16] Ajid Thohir, Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia Islam, Melacak Akar-akar Sejarah, Sosial, Politik dan Budaya Ummat Islam, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2004), hal. 13
[17] Shafiyurrahman al-Mubarakfuri, Op. Cit., hal 93
[18] Abdullah bin Muhammad al-Sheikh, Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir Jilid 8, (Bogor: Pustaka Imam Syafi’I, 2003), hal. 568
[19] Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah dan Kebudayaan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2009) Cet. III, hal. 137
[20] Ira M. Lapidus, Sejarah Sosial Ummat Islam, bagian kesatu & dua, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1999), hal. 36
[21]
Ketika itu Rasulullah menyaksikan para sahabatnya menderita karena
siksaan orang-orang musyrik Makkah, berkatalah beliau kepada mereka:
“Kalian lebih baik hijrah ke tanah Habsyi, karena di sana rajanya
terkenal adil dan bijaksana, tidak seorang pun ada yang teraniaya.
Negeri Habsyi adalah negeri yang aman. Berangkatlah ke sana sampai Allah
member jalan keluar dari penderitaan yang menimpa kalian selama ini.
(Hasan Ibrahim Hasan: hal 162)
[22] Ajid Thohir, Op. Cit. hal. 14
[23] Shafiyurrahman, Op. Cit. hal. 122
[24] Op. Cit., hal. 125
[25] Op. Cit., hal. 178
[26] Ibnu Hisyam, as-Sirah an-Nabawiyah, al-Juz’ ats-Tsanyi, (Beirut: Dar al-Kitab al-Araby, 1990) Cet. III, hal. 47
[27] Philip K. Hitti, Op. Cit., hal. 143
[28] Shafiyurrahman, Op. Cit., hal. 197-198
[29] Hasan Ibrahim Hasan, Op. Cit., hal. 175-176
[30] Maidir Harun dan Firdaus, Op. Cit., hal. 28
[31] Ali Mufrodi, Op. Cit., hal. 23
[32] Philip K. Hitti, Op. Cit., hal. 145
[33] Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2008) hal. 63
[34] Philip K. Hitti, Op. Cit., hal. 146
[35] Ira M. Lapidus, Op. Cit. Hal. 47
[36] Ibnu Hazam al-Andalusy, Jawami’as-Sirah an-Nabawiyah, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiah), hal. 177
[37] Ibnu Qoyyim al-Jauziyah, Zad al-Ma’ad, (Mesir: al-Mathba’ah al-Misriyyah, 1927), hal. 160
[38] Shafiyurrahman, Op. Cit., hal. 693
[39] Sa’id bin Ali bin Wahf al-Qahthani, Pesan-pesan Rasulullah Menjelang Wafat, (Jakarta: Darul Haq, 2013), hal. 131
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Armstrong, Karen, Muhammad Prophet for Our Time, (Bandung: Mizan, 2007) Cet. I
Al-Andalusy, Ibnu Hazm, Jawami’ as-Sirah an-Nabawiyah, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmia)
Al-Ismail, Tahia, Tarikh Muhammad Teladan Perilaku Ummat, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada 1996) Cet. I
al-Jauziyah, Ibnu Qoyyim, Zad al-Ma’ad, (Mesir: al-Mathba’ah al-Misriyyah, 1927)
al-Mubarakfuri, Shafiyurrahman, Perjalanan Hidup Rasul yang Agung Muhammad saw. dari Kelahiran Hingga Detik-Detik Terakhir, (Jakarta: Darul Haq, 2012), Cet. XIV
___________, ar-Rahiq al-Makhtum, (Beirut: Dar al-Fikr, 2008)
Al-Qahthani, Sa’id bin Ali bin Wahf, Pesan-pesan Rasulullah saw. Menjelang Wafat, (Jakarta: Darul Haq, 2013) Cet. V
al-Sheikh, Abdullah bin Muhammad, Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir Jilid 5, (Bogor: Pustaka Imam Syafi’I, 2003)
___________, Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir Jilid 7, (Bogor: Pustaka Imam Syafi’I, 2003)
___________, Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir Jilid 8, (Bogor: Pustaka Imam Syafi’I, 2003)
Haekal, Muhammad Husain, Sejarah Hidup Muhammad, (Jakarta: Litera AntarNusa, 1993) Cet. XVI
Harun, Maidir, dan Firdaus, Sejarah Peradaban Islam, (Padang: IAIN-IB Press, 2001)
Hasan, Hasan Ibrahim, Sejarah Kebudayaan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2009) Cet. III
Hitti, Philip K., History of The Arabs; From the Earliest Times to the Present, (Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2010), Cet. II
Ibnu Hisyam, as-Sirah an-Nabawiyah, al-Juz’ ats-Tsanyi, (Beirut: Dar al-Kitab al-Araby, 1990) Cet. III
Lapidus, Ira M, Sejarah Sosial Ummat Islam (Bagian kesatu & Dua), (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1999) Cet. I
Mufrodi, Ali, Islam di Kawasan Kebudayaan Arab, (Jakarta: Logos, 1997) Cet. I
Supriyadi, Dedi, Sejarah Peradaban Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2008)
Thohir, Ajid, Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia Islam (Melacak Akar-akar Sejarah, Sosial, Politik, dan Budaya Umat Islam), (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2004) Cet. I
Yatim, Badri, Sejarah Peradaban Islam (Dirasah Islamiyah II), (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2006)
0 komentar:
Post a Comment