Adobsi Dalam Tinjauan Hukum Islam

PENDAHULUAN

Adopsi atau disebut juga pengangkatan anak sebenarnya merupakan budaya yang diwariskan masyarakat Arab pra Islam. Dalam budaya ini, anak yang telah diadopsi dipandang memiliki hubungan nasab dengan orang tua yang mengadopsinya, sehingga anak ini pun berhak mendapatkan harta waris dari orang tua angkatnya. Fenomena ini akhirnya menimbulkan masalah, sebab budaya yang berlaku pada waktu itu bahwa apabila seorang anak telah diadopsi orang lain, maka timbul kecenderungan untuk menghilangkan nasab dari orang tua sejatinya. 


Kaum Muslimin yang tidak memiliki anak biasanya berharap bahwa mereka seperti Nabi Ibrahim dan Zakaria A.S suatu hari akan di anugerahkan Allah dengan keturunan. Karena itu harapan mereka yang pertama kali adalah memohon kepada Allah agar menyembuhkan mereka dari kemandulan. Tetapi harus dicatat bahwa walaupun memohon kepada Allah merupakan harapan mereka yang pertama ada cara-cara lain yang dilakukan kaum muslim diberbagai belahan bumi untuk mengatasi persoalan ini. Beberapa dari mereka memilih poligami, yang lainnya mencari pertolongan melalui jimat atau ta`widh  dan yang lain lagi memilih untuk mengangkat anak (adopsi ).  


Dalam makalah ini permasalahan tersebut dikaji kembali yang semuanya dikaji melalui perspektif hukum Islam.



ADOBSI

Pengertian adopsi menurut bahasa berasal dari bahasa Inggris, ‘Adoption’, yang artinya pengangkatan atau pemungutan. Sehingga sering dikatakan “adoption of a child” yang artinya pengangkatan atau pemungutan anak.[1]


Kata adopsi ini, dimaksudkan oleh ahli bangsa Arab, dengan Istilah  التبنى yang artinya  اتخاذ الاءبنyang dimaksudkan sebagai mengangkat anak, memungut atau menjadikan anak.[2] Adopsi adalah pengangkatan anak oleh sepasang suami isteri untuk dijadikan anak sah menurut hukum. Pengangkatan anak adalah suatu perbuatan hukum yang mengalihkan seorang anak dari lingkungan kekuasaan orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan dan membesarkan anak tersebut, kedalam lingkungan keluarga orang tua angkat.


Pengertian adopsi menurut istilah, yang dikemukakan Hilman Hadi Kusuma bahwa anak angkat adalah : anak orang lain yang dianggap anak sendiri oleh orang tua angkat dengan resmi menurut hukum adat setempat dikarenakan tujuan untuk kelangsungan hidup dan atau pemeliharaan atas harta kekayaan rumah tangga.[3] Dalam kamus umum bahasa indonesia dijumpai arti kata anak angkat yaitu anak orang lain yang diambil dan disamakan dengan anaknya sendiri.


Kompilasi Hukum Islam Pasal 171 huruf h  menyebutkan bahwa “anak angkat adalah anak yang dalam hal pemeliharaan untuk hidupnya sehari-hari, biaya pendidikan dan sebagainya beralih tanggung jawabnya dari orang tua asal kepada orang tua angkatnya berdasarkan putusan pengadilan”


Jika ditinjau dari Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 yaitu:


(1) Pasal 1 butir 2 menjelaskan bahwa pengangkatan anak adalah suatu perbuatan hukum yang mengalihkan, seorang anak dari lingkungan kekuasaan orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan dan membesarkan anak tersebut ke dalam lingkungan keluarga orang tua angkat.


(2) Pasal 1 butir 4 menjelskan bahwa orang tua angkat adalah orang yang diberi kekuasaan untuk merawat, mendidik, dan membesarkan anak berdasarkan peraturan perundang-undangan dan adat kebiasaan.

(3) Pasal1 butir 1 dan pasal 1 butir 9 Undang-undang No. 23 tahun 2002 menjelaskan bahwa anak angkat adalah  anak yang haknya dialihkan dari lingkungan kekuasaan keluarga orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan, dan membesarkan anak tersebut ke dalam lingkungan keluarga orang tua angkatnya berdasarkan keputusan atau penetapan pengadilan.[4]

Dapat disimpulkan dari pengertian di atas bahwa anak angkat adalah mengangkat atau memungut anak orang lain untuk dianggap sebagai anak sendiri yang dapat meneruskan kelangsungan hidup dan meneruskan serta memelihara harta yang dimiliki.


Untuk lebih fokusnya jenis- jenis anak angkat dibagi menjadi 3 yaitu:


(1) Mengangkat anak bukan dari kalangan keluarga yaitu tindakan ini biasanya disertai dengan penyerahan sejumah uang kepada keluarga semula, serta pelaksanaan pengangkatan anak dilakukan secara resmi dengan upacara adat setempat.


(2) Mengangkat anak dari kalangan keluarga yaitu disebabkan untuk mempererat tali silaturrahim dan menjaga harta kekayaan agar tidak jatuh ketangan orang lain.


(3) Mengangkat anak dari kalangan keponakan, sebagai anak sendiri biasanya tanpa disertai dengan pembayaran uang ataupun penyerahan barang kepada orang tua yag bersangkutan.



SEJARAH ADOBSI

Secara historis, pengangkatan anak (adopsi) sudah dikenal dan berkembang sebelum kerasulan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam Sebagai salah satu bukti, Nabi Yusuf ‘alaihi wa sallam sendiri juga dijadikan sebagai anak angkat oleh pembesar Mesir dan isterinya membeli Yusuf. Kasus serupa juga dialami oleh Nabi Musa ‘alaihi wa sallam, ketika ia diselamatkan oleh keluarga Fir’un dari sungai Nil saat ia dihanyutkan oleh ibunya. Ketika itu, isteri Fir’un melarang suaminya membunuh Musa dengan mengatakan bahwa mungkin suatu saat ia akan bermanfaat dan diambil sebagai anak.[1]


Pengangkatan anak seperti itu juga menjadi kebiasaan masyarakat Arab pada masa jahiliyah dan sudah ditrdisikan secara turun-temurun. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri pernah mengangkat Zaid bin Haritsah menjadi anak angkatnya, bahkan tidak lagi memanggil Zaid berdasarkan nama ayahnya (Haritsah), tetapi dengan nama Zaid bin Muhammad. Pengangkatan Zaid sebagai anak Rasulullah ini diumumkan oleh Rasulullah di depan kaum Quraisy, Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga menyatakan bahwa dirinya dan Zaid saling mewarisi. Zaid kemudian dinikahkan dengan Zainab binti Jahsy, putri Aminah binti Abdul Muthalib, bibi Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam.[2]


Oleh karena Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menganggap sebagai anak, maka para sahabat pun kemudian memanggilnya dengan Zaid bin Muhammad. Setelah Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam diangkat menjadi rasul, kemudian Allah menurunkan ayat tentang larangan perbuatan tersebut dalam firman-Nya QS. al-Ahzab: 4-5


Artinya: Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hati dalam rongganya dan dia tidak menjadikan istri-istrimu yang kamu zhihar itu sebagai ibumu, dan dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri) yang demikian itu hanyalah perkataanmu dimulutmu saja dan Allah mengatakan yang Sebenarnya dan dia menunjukkan jalan (yang benar). Panggilah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka. Itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, Maka (panggilah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu. dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.[3]


Imam Ibnu Katsir dalam kitab tafsirnya berkata, “Sesungguhnya ayat ini turun (untuk menjelaskan) keadaan Zaid bin Haritsah, mantan budak Rasulullah saw sebelum diangkat sebagai Nabi, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengangkatnya sebagai anak, hingga dia dipanggil Zaid bin Muhammad.[4]


Sejarah hidup rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebelum kenabian, beliau pernah menikah dengan Zainab binti Jahsy, mantan isteri anak angkatnya tersebut. Hal yang demikian ini dapat dijadikan justifikasi kebolehan menikahi mantan isteri anak angkat. Dalam al-Qur’an Allah berfirman dalam QS. Al-Ahzab: 37 yaitu


Artinya: Dan (ingatlah), ketika kamu Berkata kepada orang yang Allah Telah melimpahkan nikmat kepadanya dan kamu (juga) Telah memberi nikmat kepadanya: "Tahanlah terus isterimu dan bertakwalah kepada Allah", sedang kamu menyembunyikan di dalam hatimu apa yang Allah akan menyatakannya, dan kamu takut kepada manusia, sedang Allah-lah yang lebih berhak untuk kamu takuti. Maka tatkala Zaid Telah mengakhiri keperluan terhadap Istrinya (menceraikannya), kami kawinkan kamu dengan dia supaya tidak ada keberatan bagi orang mukmin untuk (mengawini) isteri-isteri anak-anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu Telah menyelesaikan keperluannya daripada isterinya dan adalah ketetapan Allah itu pasti terjadi.[5]


Ayat di atas mengisahkan tentang praktik Nabi dalam pembatalan akibat hukum pengangkatan anak yang dilakukannya terhadap Zaid bin Haritsah sebelum ayat itu diturunkan. Dengan ayat dan praktik Nabi itu, maka batallah semua bentuk pengangkatan anak dan akibat hukumnya. Lebih lanjut, Nabi sendiri juga melarang dan mengancam pengalihan nasab tersebut dalam salah satu haditsnya beliau menegaskan sebagai berikut:


عن سعد بن أبي وقاص رضي الله عنه قال سمعت النبي صلى الله عليه وسلم يقول من ادعى أبيه وهو يعلم أبيه فالجنة عليه حرام (رواه البخاري ومسلم وأبو داود وابن ماجة والبيهقي وابن حبان والدارمي)


Artinya: Dari Sa’id bin Abi Waqash ra., ia berkata: “Saya mendengar Nabi saw bersabda: orang yang mengaku-ngaku sebagai ayah seseorang, padahal ia mengetahui ayah seseorang itu, maka haram atasnya surga”. (HR. al-Bukhariy, Muslim, Abu Dawud, Ibnu Majah, al-Bayhaqiy, Ibnu Hibban dan al-Darimiy)[6]


Di samping pembatalan hubungan nasab, al-Qur’an juga menyinggung batalnya hubungan kewarisan antara anak angkat dengan ayah angkatnya. Pembatalan hubungan kewarisan itu didasarkan pada QS. al-Ahzab: 6 yaitu:


Artinya: ...dan orang-orang yang mempunyai hubungan darah satu sama lain lebih berhak (waris-mewarisi) di dalam Kitab Allah daripada orang-orang mukmim dan orang-orang Muhajirin, kecuali kalau kamu berbuat baik kepada saudara-saudaramu (seagama). adalah yang demikian itu Telah tertulis di dalam Kitab (Allah).[7]


Jadi, pengangkatan anak tidak mempengaruhi kemahraman antara anak angkat dengan orang tua angkatnya. Anak angkat tidak masuk kedalam salah satu kemahraman, sehingga antara kedua belah pihak tidak ada larangan saling mengawini dan tetap tidak boleh saling mewarisi. 



ALASAN MELAKUKAN ADOBSI

Adapun alasan melakukan adopsi adalah sebagai berikut:

(a) Rasa belas kasihan terhadap anak terlantar atau anak yang orang tuanya tidak mampu dalam memeliharanya.

(b) Tidak mempunyai anak dan ingin mempunyai anak untuk menjaga serta memliharanya kelak kemudian di hari tua.
(c) Adanya kepercayaan bahwa dengan adanya anak di rumah, maka akan dapat mempunyaianak sendiri.
(d) Untuk mendapatkan teman bagi anaknya yang sudah ada.
(e) Untuk menambah atau mendapatkan tenaga kerja.
(f) Untuk mempertahankan ikatan perkawinan atau kebahagiaan keluarga.[1]

Menurut Muderis Zaini dalam bukunya yang berjudul adopsi mengatakan bahwa alasan melakukan adopsi adalah:

(a) Karena tidak punya anak.
(b) Karena belas kasihan kepada anak tersebut disebabkan orang tua si anak tidak mampu memberikan nafkah kepadanya.
(c) Karena belas kasihan, disebabkan anak yang bersangkutan tidak mempunyai orang tua (yatim piatu).
(d) Untuk mempererat hubunga kekluargaan.
(e) Sebagai pemancing bagi yang tidak mempunyai anak untuk dapat mempunyai anak kandung.
(f) Untuk menambah tenaga dalam keluarga.
(g) Untuk menyambung keturunan dan mendapatkan regenerasi bagi yang tidak mempunyai anak kandung.

Sedangkan menurut M. Budiarto dalam bukunya mengatakan bahwa alasan melakukan adopsi adalah:

(a)  Keinginan untuk mempunyai anak, bagi pasangan yang tidak mempunyai anak.
(b)  Adanya harapan dan kepercayaan akan mendapatkan anak setelah mengangkat anak atau sebagai pancingan.
(c) Masih ingin menambah anak yang lain jenis dari anak yang telah dipunyai.
(d) Sebagai belas kasihan terhadap anak terlantar, miskin, yatim piatu dan sebagainya.[2]

Lain halnya menurut Hilman Hadi kusuma mengatakan bahwa alasan melakukan adopsi adalah sebagi berikut: 

(a) Tidak mempunyai keturunan.
(b) Tidak ada penerus keturunn.
(c) Rasa kekeluargaan dan kebutuhan tenaga kerja.

Dari beberapa pendapat yang telah diuraikan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa alasan ataupun latar belakang seseorang untuk mengadopsi anak karena tidak mempunyai keturunan, untuk mempertahankan keharmonisan rumah tangga, atau karena adanya harapan dan kepercayaan akan mendapatkan keturunan jika telah mengangkat anak. Dengan demikian jelaslah bahwa pengangkatan anak merupakan hal yang positif.



HUKUM MELAKUKAN ADOBSI

1.  Menurut Hukum Islam

Agama Islam yang mulia ini selalu menempatkan segala sesuatu pada tempatnya, jauh dari unsur kezhaliman dan ekstrimitas (berlebih-lebihan). Oleh karena itu, kecintaan terhadap orang lain pun tidak boleh membuat seorang muslim bersikap berlebihan. Demikian pula dalam masalah adopsi. Atau karena kecintaanya, kemudian memasukkan anak angkat sebagai bagian keluarga sebagai anak kandung yang baru. Atau sebaliknya, dalam hal bapak atau orang tua angkat.


Sebaliknya, betapapun seseorang membenci orang tuanya dikarenakan suatu kesalahannya, baik ringan maupun fatal hingga menyakitkan hati, maka tetap saja terlarang bagi sang anak mengingkari keberadaan orang tuanya sebagai sebagai orang tua kandung.


Atas dasar munculnya ekses yang tidak proporsional seperti di atas dan dampak buruk lainnya, maka Islam melarang praktek adopsi anak sebelum hal itu terwujud, dan menggugurkannya jika memang telah terlanjur.
Larangan ini berdasarkan beberapa dalil. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :



وَمَاجَعَلَ أَدْعِيَآءَكُمْ أَبْنَآءَكُمْ ذَلِكُمْ قَوْلُكُم بِأَفْوَاهِكُمْ وَاللهُ يَقُولُ الْحَقَّ وَهُوَ يَهْدِي السَّبِيلَ . ادْعُوهُمْ لأَبَآئِهِمْ هُوَ أَقْسَطُ عِندَ اللهِ

Artinya: Dia (Allah) tidak menjadikan anak-anak angkat kalian sebagai anak-anak kandung kalian. Yang demikian itu hanyalah perkataan kalian di mulut kalian. Dan Allah mengatakan yang sebenarnya, dan Dia menunjukkan jalan yang benar. Panggillah anak-anak angkat tersebut dengan memakai nama bapak-bapak mereka, itulah yang lebih adil di sisi Allah …” (QS. al-Ahzab:4-5)


Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhuma berkata: “Dahulu, kami tidak memanggil Zaid bin Haritsah Radhiyallahu ‘anhu kecuali dengan panggilan Zaid bin Muhammad, sampai turunnya ayat ‘Panggillah anak-anak angkat tersebut dengan memakai nama bapak-bapak mereka, itulah yang lebih adil di sisi Allah”


Inilah perintah yang menghapuskan hukum tabanni pada masa permulaan Islam. Hukum lama tersebut membolehkan pengakuan seseorang atas anak orang lain sebagai anak kandungnya. Allah Subhanahu wa Ta’ala kemudian memerintahkan untuk mengembalikan penisbatan nasab kepada bapak-bapak kandung mereka, dan inilah perilaku yang adil, sikap tengah lagi baik


Dalam banyak kesempatan, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan bahwa orang yang menasabkan dirinya kepada selain bapak kandungnya diancam sebagai orang kafir, dilaknat oleh Allah, para malaikat-Nya dan seluruh manusia. Bahkan Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak mau menerima ibadah yang wajib maupun yang sunnah darinya, dan surga diharamkan atas dirinya. Dengan merujuk fakta ini, maka demikian pula menisbatkan nasab anak orang lain kepada nasab sendiri juga tidak dibolehkan.


Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :


لاتَرْغَبُوْا عَنْ اَبَا ئِكم، فَمَنْ رَغِبَ عَنْ أَبِيْهِ فَهُوَ كُفْرٌ


Artinya: Janganlah kalian membenci bapak-bapak kalian. Barang siapa yang membenci bapaknya, maka dia telah kafir. (HR Imam al-Bukhari, no. 6768, Muslim, no. 215)


Di antara sebab penyebutan istilah kafir dalam hadits di atas, karena penisbatan nasab seperti itu merupakan kedustaan atas nama Allah Subhanahu wa Ta’ala. Seakan-akan dia berkata “saya diciptakan oleh Allah dari air mani si A (bapak angkat)”, padahal tidaklah demikian, karena ia sebenarnya diciptakan dari air mani si B (bapak kandungnya).


Dalam hadits yang lain, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

من ادعى إلى غير أبيه أو انتمى إلى غير مواليه, فعليه لعنة الله والملائكة والناس أجمعين, لايقبل الله منه يوم القيامة صرفا ولا عدلا

Artinya: Barang siapa yang mengaku sebagai anak kepada selain bapaknya atau menisbatkan dirinya kepada yang bukan walinya, maka baginya laknat Allah, malaikat, dan segenap manusia. Pada hari Kiamat nanti, Allah tidak akan menerima darinya ibadah yang wajib maupun yang sunnah. (HR Muslim, no. 3314 dan 3373)


2. Menurut Hukum Indonesia


Sampai saat inipun, di Indonesia belum ada undang-undang khusus yang mengatur tentang pengangkatan anak ini. Peraturan terakhir yang secara khusus mengatur persoalan ini adalah Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak. Sebelum PP tersebut muncul yang menjadi acuan dalam pengangkatan anak adalah: 

a. Staatsblad (Lembaran Negara) 1917 Nomor 129, pasal 5 sampai dengan pasal 15 mengatur masalah adopsi yang merupakan kelengkapan dari KUH Perdata/BW (Bugerlijk Weetboek) yang ada, dan khusus berlaku bagi golongan masyarakat keturunan Tionghoa.

b. Surat Edaran Mahkamah Agung RI (SEMA) Nomor 2 Tahun 1979 tertanggal 7 April 1979, tentang Pengangkatan Anak yang mengatur prosedur hukum mengajukan permohonan pengesahan dan/atau permohonan pengangkatan anak, memeriksa dan mengadilinya oleh pengadilan.


c. Surat Edaran Mahkamah Agung RI (SEMA) Nomor 6 Tahun 1983 tentang Penyempurnaan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 2 Tahun 1979, tentang pemeriksaan permohonan pengesahan atau pengangkatan anak, yang mulai berlaku sejak tanggal 30 September 1983.


d. Keputusan Menteri Sosial RI Nomor 41/HUKU/KEP/VII/1984 tentang Petunjuk Pelaksanaan Perizinan Pengangkatan Anak juga menegaskan bahwa syarat untuk mendapatkan izin adalah calon orang tua angkat berstatus kawin dan pada saat mengajukan permohonan pengangkatan anak sekurang-kurangnya sudah kawin selama lima tahun. Keputusan Menteri ini berlaku bagi calon anak angkat yang berada dalam asuhan organisasi sosial, yang mulai berlaku sejak tanggal 14 Juni 1984.


e. Bab VIII, Bagian Kedua yaitu pengangkatan anak dari Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002, tentang Perlindungan Anak, yang mulai berlaku sejak tanggal 22 Oktober 2002.


f.  Surat Edaran Mahkamah Agung RI (SEMA) Nomor 3 Tahun 2005, tentang Pengangkatan Anak, berlaku mulai 8 Februari 2005, setelah terjadinya bencana alam gempa bumi dan gelombang Tsunami yang melanda Aceh dan Nias, yang menimbulkan masalah social berupa banyaknya anak-anak kehilangan orang tuanya dan adanya keinginan sukarelawan asing untuk mengangkatnya sebagai anak angkat oleh LSM dan Badan Sosial Keagamaan lainnya yang sangat membahayakan akidah agama anak tersebut.


g.  Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006, tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang peadilan Agama. Pada pasal 49 huruf a, angka 20 menyatakan bahwa, Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang: “…Penetapan asal usul seorang anak dan penetapan pengangkatan anak berdasarkan hukum Islam.”


h. Beberapa Yurisprudensi Mahkamah Agung dan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, yang dalam praktik peradilan telah diikuti oleh hakim-hakim berikutnya dalam memutuskan atau menetapkan perkara yang sama, secara berulang-ulang, dalam waktu yang lama sampai sekarang.


Setelah PP 54/2007 dikeluarkan, berbagai peraturan di atas dinyatakan tetap berlaku selama tidak bertentangan dengan PP tersebut. Hal itu secara tegas disebutkan dalam Pasal 43 PP 54/2007 sebagai berikut: “Pada saat berlakunya Peraturan Pemerintah ini, semua peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pelaksanaan pengangkatan anak tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Pemerintah ini”. [1]


3. Menurut Fatwa MUI


Rapat Kerja Nasional Majelis Ulama Indonesia tahun 1984 yang berlangsung pada bulan Jumadil Akhir 1405 H./Maret 1984 memfatwakan tentang adopsi sebagai : 

a. Islam mengakui keturunan (nasab) yang sah, ialah anak yang lahir dari perkawinan (pernikahan).

b. Mengangkat (adopsi) dengan pengertian anak tersebut putus hubungan keturunan (nasab) dengan ayah dan ibu kandungnya adalah bertentangan dengan syari’ah Islam.


c. Adapun pengangkatan anak dengan tidak mengubah status nasab dan Agamanya, dilakukan atas rasa tanggung jawab sosial untuk memelihara, mengasuh dan mendidik mereka dengan penuh kasih sayang, seperti anak sendiri adalah perbuatan yang terpuji dan termasuk amal saleh yang dilanjutkan oleh agama Islam.


d. Pengangkatan anak Indonesia oleh Warga Negara Asing selain bertentangan dengan UUD 1945 Pasal 34[2], juga merendahkan martabat bangsa.[3]



PENUTUP


Dari penjelasan yang telah diuraikan di atas dapat penulis pahami bahwa, Adopsi adalah pengangkatan anak oleh sepasang suami isteri untuk dijadikan anak sah menurut hukum. Pengangkatan anak adalah suatu perbuatan hukum yang mengalihkan seorang anak dari lingkungan kekuasaan orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan dan membesarkan anak tersebut, kedalam lingkungan keluarga orang tua angkat.

Anak angkat tetap berstatus seperti orang lain. Dan adopsi tidak merubah realita tersebut dan menjadikan anak tersebut bagian dari keluarga orang tua angkatnya. Maka hukum mengadopsi anak sebagaimana yang telah dipaparkan di atas, jelaslah ini bukan berarti agama Islam melarang umatnya untuk berbuat baik dan menolong anak yatim dan anak terlantar yang membutuhkan pertolongan dan kasih sayang. Sama sekali tidak, yang dilarang dalam Islam adalah sikap berlebihan terhadap anak angkat seperti yang dilakukan oleh orang-orang zaman jahiliyah.

Agama Islam sangat menganjurkan perbuatan menolong anak yatim dan anak yang tidak mampu, dengan membiayai hidup, mengasuh, dan mendidik mereka dengan pendidikan Islam yang benar. Bahkan perbuatan ini termasuk amal shaleh yang bernilai pahala besar di sisi Allah swt, sebgaimana dalam sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Aku dan orang yang menyantuni anak yatim (kedudukannya) di surga seperti ini.” Kemudian beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengisyaratkan jari telunjuk dan jari tengah beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam, serta agak merenggangkan keduanya (HR. Bukhari no. 4998 dan 5659). Artinya, orang yang menyantuni anak yatim di dunia akan menempati kedudukan yang tinggi di surga dekat dengan kedudukan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

BP: 20141911
Mahasiswa STAI-PIQ Sumatera Barat 2016



[1] Mahjahudin, Haji, (2003) Masailul fiqhiah, Jakarta: Kalam Mulia, Cet V, hal. 82.
[2] Ibid
[3] Zaini Muderis, (2007) Adopsi, Suatu Tinjauan Dari Tiga Sistem Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, hal. 125.



[1] http://fikihonline.blogspot.co.id/2010/03/pengangkatan-anak.html, diakses pada tgl 29 November 2016, Jam 11:35, Selengkapnya lihat: Muhammad bin Ahmad bin Abi Bakar bin Farah al-Qurthubiy, al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, Dar al-Syu’ub, Kairo, 1372 H, Juz 9, hal. 160
[2] Andi Syamsu Alam dan M. Fauzan,(2008) Hukum Pengangkatan Aanak Perspektif Islam, Jakarta: Kencana, hal. 22
[3] Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Semarang: PT. Karya Toha Putra Semarang, QS. Al-Ahzab: 4-5, hal. 334
[4] Abdullah bin Muhammad bin Abdurrahman bin Ishaq diterjemahkan M. Abdul Ghafar dan Abu Ihsan al-Atsari, (2007), Tafsir Ibnu Katsir Jilid 6, Jakarta: Pustaka Imam Asy-Syafi’i, hal. 442
[5] Op. Cit
[7] Op.Cit., Departemen Agama RI, hal.


[1] Djaja. S. Meliana. 1982,  Pengangkatan Anak (Adopsi) Di Indonesia. Bandung: Taristo, hal. 4
[2] https://forumadopsianak.wordpress.com/2012/04/11/pengangkatan-anak/, diakses pada tgl 29 November 2016, Jam 21:06 


[1] Op. Cit., Andi Syamsu alam dan M. Fauzan, hal. 204-205
[2] Berbunyi: ayat (1) Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara, (2) Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan, (3) Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelyanan umum yang layak.
Share on Google Plus

About Unknown

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.
    Blogger Comment

0 komentar:

Post a Comment