PENULISAN AL-QUR’AN, RASAM, MUSHHAF, DAN SEMUA YANG BERKAITAN DENGANNYA

PENULISAN AL-QUR’AN, RASAM, MUSHAF, DAN SEGALA YANG BERKAITAN DENGANNYA
Oleh: PAUSIL           : 088142085

A.      PENULISAN 
      Telah diketahui bahwa bangsa Arab terkenal dengan ke-ummi-annya. Tidak mengetahui tulisan dan khat. Al-Quran datang berbicara tentang ke-ummi-annya ini, Firman Allah ta’ala:
Artinya:    Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan mereka kitab dan Hikmah (As-Sunnah). dan Sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata, (QS. Al-Jumu’ah: 2)

Tidak menyimpang dari kaidah ini kecuali ada beberapa orang terjadi di kalangan Quraisy, mereka belajar tulisan menjelang kedatangan Islam. Sepertinya hal itu adalah rambu-rambu dari Allah dan pendahuluan akan dibangkitkan Nabi shallallahu alaihi wa sallam, dan menguatkan agama Islam.  Mendokumentasikan wahyu yang diturunkan kepadanya dengan al-Quran. Karena tulisan adalah sarana untuk menjaga dan mengoreksi yang diturunkan, serta menjauhkan dari keterbelakangan dan kelupaan.
Hampir para sejarawan sepakat bahwa kaum Quraisy di Mekkah belum megambil tulisan kecuali melalui Harb bin Umayyah Abdi Syams. Tetapi mereka berbeda pendapat dalam menentukan dari siapa Harb mengambil tulisan tersebut. Riwayat Abu Amr ad-Dany menyebutkan bahwa Harb belajar dari Abdullah bin Jad’an. Dalam riwayat ini Ziad bin An’um mengatakan: “Aku bertanya kepada Ibnu Abbas: Wahai kaum Quraisy apakah kalian menulis pada masa jahiliyyah dengan tulisan Arab ini untuk mengumpulkan apa yang hendak kalian kumpulkan, dan memisahkan apa yang hendak kalian pisahkan seperti Alif Laam Mim, baris, potongan kata, dan seperti apa yang ada hari ini?” Ibnu Abbas menjawab: Ya. Aku kembali bertanya: Dari siapa kalian belajar menulis? Ibnu Abbas menjawab: Dari Harb bin Umayyah. Aku bertanya lagi: Harb bin Umayyah belajar dari siapa? Ibnu Abbas menjawab: Dari Abdullah bin Jad’an. Abdullah bin Jad’an belajar dari siapa? “Dari penduduk Anbar”. Penduduk Anbar belajar dari siapa? “Dari orang yang muncul di tengah-tengah merteka dari Kandah di daerah Yaman”. Orang itu belajar dari siapa? “Al-Khaljan bin al-Muhim, seorang sekretaris Hud Nabi Allah Azza wa Jalla”.
Adapun riwayat al-Kalby menceritakan bahwa Harb belajar tulisan dari Bisyr bin Abdul Malik. Dalam riwayat tersebut ‘Awanah mengatakan: “Orang yang pertama menulis dengan tulisan kita sekarang ini adalah al-Jazm yaitu Maramir bin Marrah, Aslam bin Sadrah, dan ‘Amir bin Jadrah. Mereka dari Arab Thayyi’ yang belajar dari penulis wahyu Nabi Hud Alaihissalam. Kemudian mereka mengajarkan kepada penduduk al-Anbar. Dari penduduk al-Anbar ini tersebar tulisa di Irak, al-Hairah, dan lainnya. Bisyr bin Abdul Malik mempelajarinya, Bisyr adalah saudara Akidar bin Abdul Malik pemilik Dumah al-Jandal. Akidar ini adalah mitra bisnis Harb bin Umayyah ketika mereka berada di Irak. Harb belajar menulis dari Akidar. Kemudia Harb bersama Bisyr pergi ke Mekkah. Kemudian menikah dengan al-Shabba’ binti Harb saudara perempuan Abu Sufyan. Dari dialah penduduk Mekkah mempelajari tulisan. Dari sinilah ditemukan sejumlah orang yang mampu menulis sebelum munculnya Islam, tetapi mereka masih sangat sedikit jika dibanding dengan sejumlah besar dari mereka yang Ummy atau buta huruf.
Berkaitan dengan hal ini seseorang dari penduduk Daumah al-Jandal berkata kepada kaum Quraisy:
لاَ تَجْحَدْ وَ أَنْعِمَاءَ بِشْرٍ عَلَيْكُمُو   *  فَقَدْ كَانَ مَيْمُوْنَ النَّقِيْبَةِ أَزْهَرًا
آتَاكُمْ بِخَطِّ الْجَزْمِ حَتَّى حَفِظْتُمُو    *  مِنَ الْمَالِ مَا قَدْ كَانَ شَتَّى مُبَعْثَرًا
فَأَجْرَيْتُمُ الْأَقْلاَمَ عَوْدًا وَ بَدَأَةً              *  وَضَاهِيْتُمُو كِتَابَ كِسْرَى وَ قَيْصَرَا
وَ أَغْنَيْتُمُوا عَنْ مُسْنَدِ الْحَيِّ حُمَيْرٍ    * وَ مَازَبَرَتْ فِى الصُّحُفِ أَقْلاَمُ حُمَيْرَا
Jangan kalian ingkari sumbangan Bisyr,
Dia ibarat bunga pencerahan pikiran yang mekar
Dia datang membawa tulisan al-Jazm hingga kalian masih mampu
Menghafal, harta yang berserakan
Mula-mula kalian goreskan pena-pena kayu, hingga kalian mirip dengan penulis-penulis Kisra dan Kaisar
Kalian tinggalkan musnad Humair, tulisan setempat
Meski pena-pena Humair belum terlarang

Mereka adalah penduduk Mekkah. Adapun di Madinah, di antara mereka ada sejumlah Ahli Kitab dari kalangan Yahudi. Nabi saw. memasuki madinah, di sana ada seorang Yahudi mengajarkan tulisan kepada anak-anak. Terdapat lebih dari 10 laki-laki yang pandai menulis. Di antara mereka adalah al-Munzir bin Amr, Abu bin Wahb, Amr bin Sa’id, dan Zaid bin Tsabit yang belajar kepada seorang yahudi atas perintah Nabi saw.

1.      Keadaan tulisan dalam Islam
Kemudian Islam datang, memerangi ke-Ummi-an bangsa Arab dan menghapuskannya untuk mengangkat keadaan tulisan dan menaikkan martabatnya. Jika anda dalam keraguan mengenai hal ini, maka ayat-ayat yang pertama turun dari al-Quran al-Karim berbicara tentang al-Qalam. Allah mengajarkan hambanya dengan perantara Qalam. Allah yang Maha Mulia kebijaksanaan-Nya berfirman:

Artinya:    “Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan,(QS. Al-Alaq: 1)

Sampai firman-Nya:

Artinya:     “Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah, yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam, Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.(QS. Al-Alaq: 3-5)

Demikian juga surat Nun, Allah bersumpah dengan Qalam dan apa yang mereka tuliskan. Allah berfirman:

Artinya:     Nun. demi kalam dan apa yang mereka tulis, berkat nikmat Tuhanmu kamu (Muhammad) sekali-kali bukan orang gila.(QS. Al-Qalam (Nun): 1-2)

Ini adalah bentuk peringatan yang paling tegas mengenai tulis-menulis dan urgensinya. Rasulullah saw. juga menganjurkan para sahabat untuk belajar dan pandai menulis. Beliau menyediakan berbagai sarana agar mampu mencapai tujuan.
Sehingga terdapat sebuah riwayat, bahwa kaum muslimin ketika perang Badar menahan 60 orang Musyrik. Maka Rasulullah menerima tebusan salah seorang dari mereka mengajarkan tulis-menulis kepada sepuluh sahabat. Demikianlah Rasulullah mengumumkan dengan tindakannya ini bahwa membaca dan menulis adalah dua tebusan untuk kemerdekaan. Inilah penjelasan yang berhubungan dengan kemerdekaan bangsa Arab dari buta huruf. Sedikit demi sedikit dengan metode ini bangsa Arab keluar dari ke-ummi-an lenyap karena cahaya Islam, dan digantikan posisi ke-ummi-an itu oleh ilmu, menulis, dan membaca. Demikianlah bukti yang jelas bahwa Islam adalah agama ilmu, berbudaya, dan beradab.

2.      Nabi saw. Tidak ummy yakni bisa membaca dan menulis
Sehingga dikatakan: “Sesungguhnya Nabi saw. mengetahui membaca dan menulis pada masa akhir hayatnya setelah hujjah beliau berdiri (kuat). Kalimat beliau tinggi dan bangsa Arab tidak mampu menantang untuk mendatangkan satu surat saja seperti al-Quran yang datang kepadanya. Seolah hikmahnya adalah mengisyaratkan kemuliaan tulis-menulis. Ke-ummi-an Rasul saw. pada awalnya bersifat kondisional pada suatu waktu berdasarkan tuntutan untuk menegakkan dalil dan kemukjizatan yang nyata akan kebenaran Muhammad saw. dalam kenabian dan kerasulannya serta beliau benar-benar diutus kepada manusia. Seandainya ketika itu beliau bisa menulis dan membaca, sedangkan mereka buta huruf, maka akan berkembang kecurigaan mereka bahwa yang datang kepada Nabi saw. adalah hasil dari telaah dan belajar serta meneliti kitab-kitab yang telah ada.
Hal ini semakna dengan Firman Allah swt.:

Artinya: “Dan (juga) kaum 'Aad dan Tsamud, dan sungguh telah nyata bagi kamu (kehancuran mereka) dari (puing-puing) tempat tinggal mereka. dan syaitan menjadikan mereka memandang baik perbuatan-perbuatan mereka, lalu ia menghalangi mereka dari jalan (Allah), sedangkan mereka adalah orang-orang berpandangan tajam, dan (juga) Karun, Fir'aun dan Haman. dan Sesungguhnya telah datang kepada mereka Musa dengan (membawa bukti-bukti) keterangan-keterangan yang nyata. akan tetapi mereka Berlaku sombong di (muka) bumi, dan Tiadalah mereka orang-orang yang luput (dari kehancuran itu). (QS. Al-Ankabut: 38-39)

Al-Alamah al-Alusy berkata dalam menafsirkan ayat ini: “Terdapat perbedaan pendapat, apakah setelah kenabian Rasul saw bisa membaca dan menulis atau tidak? Maka dikatakan bahwa Rasulullah saw. beliau belum bisa menulis dengan baik. Ini dipilih oleh an-Nawawy dalam at-Tahzib. Dia mengatakan ini adalah pendapat yang shahih. Sebagian Ulama berpendapat bahwa Nabi saw. mengetahui tulisan setelah ia tidak mampu dan kurangnya pengetahuan tentang tulisan. Hal ini disebabkan karena kemukjizatan ayat ini. Ketika al-Quran turun dan Islam tersebar serta terlihat perkaranya tidak meragukan lagi, maka ketika itulah tulisan dikenal. Ibnu Abi Syaibah dan yang lainnya meriwayatkan: “Nabi saw. tidak mati, sehingga ia bisa menulis dan membaca”. As-Sya’bi menukil pendapat ini, ia berkata: “Aku mendengar orang-orang mengatakannya dan tidak terdapat dalam ayat yang meniadakannya.
Ibnu Majah meriwayatkan dari Anas ia berkata, Rasulullah saw. bersabda:
رأيت ليلة أسرى بي مكتوبا على باب الجنة: الصدقة بعشر أمثالها       و القرض بثمانية عشر
“Pada malam aku diisra’kan, aku melihat tulisan di pintu surga: sedekah (dilipatkan) sepuluh kali lipat, sedang memberi hutang dilipatkan delapan belas kali.” (HR. Ibn Majah)

Selanjutnya ia mengatakan ada beberapa hadits yang mendukung kemampuan menulis di dalam shahih Bukhari dan yang lainnya. Sebagaimana terdapat dalam perdamaian Hudaibiyah: “Lalu Rasulullah mengambil para penulis karena beliau tidak bisa menulis dengan baik, sehingga Rasulullah bisa menulis: “Inilah yang dijadikan tumpuan oleh Muhammad ibn Abdillah.” (HR. Bukhari)
Di antara pendapat yang mengambil pendapat ini adalah Abu Dzar Abd bin Ahmad al-Harawy, Abu al-Fath an-Naisabury, Abu Walid al-Bajiy dari kalangan Afrika Utara, menceritakan dari as-Samnaniy. Dia menyusun sebuah kitab yang telah didahului oleh Ibnu Manibbah. Ketika Abu al-Walid mengemukakan hal itu, ia dinilai ZIndiq. Kemudian di atas mimbar ia membela dengan membentuk satu majelis, kemudian menulis kepada ulama di berbagai kawasan. Mereka memberikan jawaban yang sejalan. Mengenal tulisan setelah bersifat ummiy bagi Nabi saw. tidaklah menghilangkan kemukjizatan, bahkan merupakan suatu bentuk mukjizat yang lain, karena dengan kemampuan itu beliau peroleh tanpa belajar.
Sebagian ulama menolak buku al-Bajiy karena ada suatu hadits dalam Shahih Bukhari:
إنا أمةٌ أميةٌ لا نكتب و لا نحسِب
Artinya:   “Kami adalah bangsa yang buta huruf, tidak bisa menulis dan tidak bisa berhitung.”

Dia berkata: “Semua kata كتبyang terdapat dalam hadits mengandung makna memerintahkan menulis. Ini sama dengan kalimat: كتب السلطان بكذا لفلانٍ didahulukannya kata من قبله dalam Firman Allah swt. atas kata ولا تخطه menunjukkan dengan jelas bahwa Nabi saw. tidak mampu menulis secara mutlak. Kembalinya pembatasan kepada sesudahnya yang tidak berlaku. Sebagian ulama menduga bahwa kembalinya adalah kepada sebelumnya maupun sesudahnya. Lalu ia mengatakan dapat dipahami dari hal itu bahwa Nabi saw. mampu membaca dan menulis setelah al-Quran diturunkan. Seandainya tidaklah demikian pengertiannya, tentu kalam itu tidak ada gunanya. Anda bisa mempelajari bahwa jika hal itu diterima, maka pengertian tidaklah sempurna kecuali apabila kehujjahan mafhum digunakan. Akan tetapi yang menduga itu tidaklah menganggap kehujjahan mafhum.
Kemudian al-Alusiy mengatakan bahwa tidak diragukan lagi bahwa sabda Nabi saw.: “Kami adalah bangsa yang buta huruf, tidak dapat menulis dan berhitung” tidak menegaskan kontinuitas buta huruf pada diri beliau. Barangkali, hal itu karena sewaktu beliau diangkat menjadi rasul, dan kebanyakan masyarakat ketika itu masih dalam keadaan buta huruf. Sehingga tidak tertutup kemungkinan kebutahurufan itu hilang setelah itu bagi sebagian besar di antara mereka. Adapun takwil “menulis” dengan “memerintahkan menulis” yang disebut di atas itu tidak sejalan dengan pengertian eksplisitnya. Di dalam syarh shahih Muslim karya an-Nawawiy, kutipan dari al-Qadhiy Iyadh disebutkan bahwa riwayat itu justru menegaskan bahwa Nabi saw. menulis dengan tangan beliau sendiri. Untuk beralih kepada pengertian lain memerlukan proses majaz. Kemudian ia menjelaskan, terlalu panjang argument masing-masing kelompok dan masing-masing saling menjatuhkan. Hanya Allah yang Maha Mengetahui.
Pendapat saya bahwa menjelek-jelekkan pihak lain bukanlah merupakan watak ulama atau peneliti. Permasalahan yang sedang kita hadapi adalah masalah yang bersifat teoritis. Oleh karena itu, untuk menilainya, juga persoalan-persoalan sejenis, kita harus memilih dalil tanpa terkuasai oleh keinginan dan emosi. Apabila kita mencoba membanding-banding antara dalil dari kedua kelompok, maka kita bisa melihat bahwa dalil-dalil kebutahurufan Nabi saw. bersifat mutlak yang meyakinkan. Sedangkan dalil-dalil tidak buta huruf bersifat zhanniy dan tidak meyakinkan. Tidak seorangpun mengklaim bahwa dalil-dalil kelompok kedua bersifat mutlak dan meyakinkan. Kontradiksi jelas tampak antara keduanya. Hanya saja, kontradiksi itu bersifat literal yang masih mungkin kita hindari dengan memahami bahwa dalil-dalil kebutahuruf beliau adalah pada masa-masa awal. Sedangkan dalil-dalil ketidakbutahuruf beliau adalah pada masa-masa akhir. Ini merupakan pengkompromian antar dalil. Dan tak ragu lagi, bahwa pengkompromian merupakan cara paling baik. Sehingga kita tidak akan menggunakan salah satunya dan mengabaikan yang lainnya. Adapun bila tidak mungkin dilakukan pengkompromian, maka mau tidak mau kita harus mengambil yang bersifat mutlak dan menolak yang zhanniy. Karena yang pertama lebih kuat disbanding yang kedua. “Sesungguhnya zhann itu tidak sedikit pun berguna untuk mencapai kebenaran.” (QS. Yunus: 36). Inilah tolak ukur yang shahih untuk menolak kontradiksi. Karena itu, gunakan tolak ukur ini bila menghadapi adanya kontradiksi (literal). “Dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah.” (QS. Shad: 26)

B.       PENULISAN AL-QURAN
Setelah kami ceritakan kepada anda sejarah singkat berkaitan dengan tulis-menulis di kalangan bangsa Arab, kami alihkan perhatian anda ke penulisan al-Quran. Hal ini telah kami bahas dalam topik pengumpulan al-Quran. Di sana kami menyebutkan bagaimana al-Quran ditulis? Dan dengan apa al-Quran ditulis pada masa Rasulullah., kemudian pada masa Abu Bakar dan Utsman radhiyallahu anhu.
Dari uraian di atas, anda dapat mempelajari bagaimana perhatian Rasulullah saw. dan para sahabat terhadap penulisan al-Quran. Hal ini ditunjukkan oleh pengangkatan Nabi saw. terhadap penulis wahyu , antara keempat khalifah rasyidah, Mu’awiyah, Abbas ibn Sa’id, Khalid bin Walid, Ubay ibn Ka’ab, Zaid bin Tsabit, Tsabit bin Qais, Arqam ibn Ubaiy, Handzalah ibn ar-Rabi’, dan lain-lain. Ketika Nabi saw. diturunkan sesuatu, maka beliau memanggil salah satu penulis dan memerintahkan kepadanya untuk menulis apa yang turun kepada beliau itu, meski hanya satu kata. Misalnya riwayat yang menyebutkan bahwa sewaktu turun kepada beliau Firman Allah swt.:

Artinya:    Tidaklah sama antara mukmin yang duduk (yang tidak ikut berperang) yang tidak mempunyai 'uzur dengan orang-orang yang berjihad di jalan Allah dengan harta mereka dan jiwanya.

Ibnu Ummi Maktum dan Abdullah ibn Jahsy berkata: Wahai Rasulullah saw., kami ini buta. Apakah kami mendapatkan keringanan? Lalu Allah swt. menurunkan “غير أولى الضرر(yang tidak memiliki udzur). Rasulullah saw. bersabda: “Bawalah kepadaku tulang belikat dan tinta.” Lalu beliau memerintahkan kepada Zaid untuk menulisnya. Setelah menulisnya, Zaid berkata: Tampaknya aku melihat tempatnya di bagian ujung tulang belikat itu. Riwayat Imam Bukhari mengenai hal ini hanya menyebutkan Ibn Umm Maktum, tanpa menyebut Ibn Jahsy.
Mudah-mudahan anda belum lupa hadits Ibn Abbas: “Rasulullah saw., ketika turun kepada beliau suatu surat, maka beliau memanggil salah seorang penulis, lalu bersabda: Letakkan ini di tempat yang menyebutkan begini begini.” Juga sabda Nabi saw.: “Siapa yang menulis dariku sesuatu selain al-Quran maka hendaklah ia menghapusnya.”
Juga perkataan Abu Bakar kepada Zaid bin Tsabit: Engkau lelaki yang masih muda, dan tidak ada cacat sedikit pun bagiku, dan engkau pernah menulis wahyu untuk Rasulullah saw. Ditambah lagi, para sahabat juga menulis al-Quran pada sarana yang mudah mereka dapatkan sampai-sampai pada tulang-tulang, lempengan-lempengan batu, pelepah kurma, dan lain-lain, yang menunjukkan besarnya perhatian mereka terhadap penulisan al-Quran. Semoga Allah swt. memberikan ridha-Nya kepada mereka semua.

C.      RASAM (RAGAM PENULISAN) MUSHHAF UTSMANIY
Dimaksud dengan Mushhaf Utsmaniy di sini adalah yang digunakan oleh Utsman ra. dalam penulisan kata-kata dan huruf-huruf al-Quran. Menurut ketentuan asal, tulisan harus benar-benar sesuai dengan pengucapannya, tanpa ada penambahan dan pengurangan, penggantian ataupun perubahan. Akan tetapi mushhaf-mushhaf Utsmani mengabaikan ketentuan asal itu, sehingga di dalamnya banyak rasam yang menyimpang dari pengucapan semestinya. Hal itu karena tujuan-tujuan luhur yang segera akan kami jelaskan.
Para Ulama telah membicarakan rasam al-Quran dan kata-kata yang tidak sesuai dengan pengucapannya. Sebagian ulama menyusun karya tersendiri mengenai hal ini, antara lain al-Imam Abu Amr ad-Daniy, yang menyusun buku berjudul al-Muqanna’, al-Allamah Abu Abbas al-Marakisyi yang menyusun buku berjudul ‘Unwan ad-Dalil fi Rusum Khath at-Tanzil dan al-Allamah asy-Syaikh Muhammad ibn Ahmad yang lebih populer dengan panggilan al-Mutawally yang menyusun nazham-nazham yang berjudul Lu’lu’ al-Manzhum fi Dzikr Jumlah min al-Marsum. Kemudian muncul al-Allamah al-Marhum asy-Syaikh Muhammad Khalaf al-Husainiy, guru al-Muqari’ di kawasan Mesir, yang mensyarah nazham-nazham itu dan memberikan notasi pada syarah itu dalam sebuah buku berjudul Mursyid al-Hairan Ila Ma’rifah ma Yajib Ittiba’uh fi Rasm al-Qur’an.


Share on Google Plus

About Unknown

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.
    Blogger Comment

0 komentar:

Post a Comment