BAB I
PENDAHULULAN
Pemeliharaan hadits dari masa ke masa terus dilakukan oleh setiap
generasi umat ini. Mulai dari zaman Rasulullah saw. sampai pada masa akhir tabi’
at-tabi’in. Sehingga muncullah berbagai kitab hadits yang banyak kita kenal
hari ini, seperti al-Muwaththa’, Shahih al-Bukhari, Shahih
Muslim, Musnal al-Imam Ahmad bin Hanbal, kitab-kitab sunan yang
empat, dan yang lainnya. Sebagaimana kitab-kitab tersebut telah masyhur di
kalangan umat Islam sebagai kitab rujukan hadits-hadits Rasulullah saw. yang
bersifat pokok. Kemudian diteruskan oleh generasi sesudahnya dengan mensyarah
kitab-kitab tersebut, seperti Fath al-Baari, Syarah shahih
Muslim, da lain sebagainya. Tidak terhenti sampai di sana, bahkan sampai
hari ini para ulama terus mengkaji dan meneliti hadits-hadits tersebut,
sehingga benar-benar terlihat jelas bahwa hadits itu bersumber dari Rasulullah
saw.
Perjuangan para ahli ilmu dan ahli hadits di masa lalu, patut kita
teladani hari ini. Dengan perjuangan mereka, kita dapat menikmati dengan meudah
mempelajari hadits-hadits Rasulullah saw. yang shahih. Berikut di antara
gambaran perjuangan mereka sebagaimana yang diungkapkan oleh al-Imam al-Hakim
dalam ma’rifah Ulumil Hadits:
“Mereka lebih memilih untuk
menempuh padang gurun dan tanah kosong daripada bersenang-senang di tempat
tinggal dan negeri mereka. Mereka merasakan kenikmatan dalam kesengsaraan di
dalam perjalanan bersama dengan ahli ilmu dan riwayat. Mereka jadikan
masjid-masjid sebagai rumah mereka. Mereka jadikan menulis sebagai makanan
kesehariannya. Mencocokkan tulisan sebagai percakapan di waktu malam. Mengulang
pelajaran sebagai istirahat mereka. Tinta sebagai parfum mereka. Begadang
sebagai tidur mereka. Dan kerikil sebagai bantal mereka.”
Maka patutlah kita hari ini sedikit menilik bagaimana perjuangan mereka
dan kembali membaca dan mengkaji hasil karya mereka yang besar. Karena begitu
pentingnya kajian ini, maka penulis akan mencoba menggambarkan sekelumit
tentang kitab-kitab pokok hadits-hadits Rasulullah saw. Pada makalah ini
penulis akan membahas tentang empat kitab saja yaitu: Muwaththa’ al-Imam
Malik bin Anas, Shahih al-Bukhari, Shahih Muslim, dan Musnad al-Imam
Ahmad bin Hanbal.
BAB II
MENGENAL KITAB-KITAB HADITS POKOK
A. AL-MUWAHTHA'
1. Tokoh
Kitab al-Muwaththa’ disusun oleh Imam Malik bin
Anas. Dia merupakan seorang imam mazhab dari imam yang empat dan juga seorang ahli hadits.
Nama lengkapnya yaitu Malik bin Anas bin Malik
bin Abi Amir al-Ashbahy al-Himyary yang biasa dipanggil Abu Abdullah, gelarnya
Imam Dar al-Hijrah. Dilahirkan di Madinah pada tahun 93 H atau 712 M dan wafat pada tahun 179 H.[1]
Di tengah lingkungan yang sarat iman dan ilmu
yang murni Imam Malik dilahirkan. Ia tumbuh dan berkembang di sana. Di antara
pepohonan Madinah, Imam Malik meretas jalan untuk menghadiri berbagai halaqah
(pengajian) keilmuan dan hadis. Ia duduk menghadiri majelis keilmuan para
pakar ilmu pada masanya. Imam Malik ketika itu adalah anak muda yang pandai,
luar biasa banyak hafalannya, teguh, disiplin, tekun, berbakti, dan bertaqwa.[2]
Kakek dan ayahnya termasuk ulama hadis terpandang
di Madinah. Oleh sebab itu, sejak kecil Imam Malik tidak berniat meninggalkan
Madinah untuk mencari ilmu, karena beliau merasa Madinah adalah kota sumber ilmu
yang berlimpah dengan ulama-ulama besar. Imam Malik selalu menghadiri majelis keilmuan salah seorang ulama
Madinah, Abdurrahman bin Hurmuz selama tujuh tahun penuh. Selama rentang waktu
tersebut, ia benar-benar mendapat pengaruh dari sang guru, Ibnu Hurmuz. Selain
itu, Imam Malik juga ikut menghadiri majelis keilmuan Rabi’ah bin Abdurrahman,
dan Nafi’ maula (mantan budak) Ibnu Umar.[3]
2. Gambaran Umum Isi
Kitab
Al-Muwaththa’ berasal dari kata wathi’a – yatha’u
– wath’an yang berarti “berjalan di atas” atau “melalui”.
Sedangkan kata al-Muwaththa’ itu sendiri merupakan ism maf’ul dari
fi’il tsulatsi mazid bi harf fi ‘ain fi’il, yang berarti “Dimasuki”.[4]
Artinya mudah dimasuki atau dipahami. Sebab dinamakan kitab ini dengan al-Muwaththa’
adalah karena dua sebab:
a.
Karena kitab ini menjadi pembicaraan manusia,
maksudnya ia dimudahkan untuk manusia.
Imam Malik berkata:
عرضت كتابى هذا على سبعين فقيها من فقهاء المدينة فكلهم و
اطأنى عليه فسميته: الموطأ
“Saya menunjukkan kitabku ini kepada tujuh
puluh ahli fikih Madinah. Semuanya menyepakatiku atasnya, maka saya memberinya
nama al-Muwaththa’.”[6]
Kitab ini berisi
hadits-hadits Rasulullah saw., atsar-atsar sahabat, dan fatwa-fatwa
tabi’in. Dia memilahnya dari seratus ribu hadits yang pernah dia riwayatkan.
Hadits yang terkumpul di
dalamnya menurut riwayat Yahya bin Yahya al-Andalusi mencapai 853 hadits.[7] Abu Bakar al-Abhari mengatakan, “Jumlah
hadits Rasulullah saw., atsar sahabat, dan fatwa tabi’in yang ada dalam al-Muwaththa’
adalah 1720 hadits, yang bersanad 600, mursal 222, mauquf 613,
dan fatwa tabi’in 285.”[8]
Perbedaan perhitungan jumlah
hadits yang terdapat dalam al-Muwaththa’ berdasarkan perbedaan riwayat
dari Imam Malik. Imam Malik selalu membersihkan dan memperbaiki isi Muwaththa’nya,
dan tetap menulisnya dan memperbaikinya.
Adapun derajat hadits-hadits
yang terdapat dalam al-Muwaththa’ sebagaimana yang dinyatakan oleh Imam
asy-Syafi’i: “Kitab paling shahih setelah al-Qur’an adalah Muwaththa’ Imam
Malik.” Tidaklah ada pertentangan antara pernyataan ini dengan kesepakatan
ulama bahwa kitab paling shahih setelah al-Qur’an adalah Shahih al-Bukhari dan
Shahih Muslim. Hal itu karena beberapa hal:
a.
Pernyataan Imam asy-Syafi’i ini sebelum adanya shahih
al-Bukhari dan shahih Muslim. Dia meninggal pada 204 H, sedangkan
umur Imam al-Bukhari pada waktu itu belum melewati sepuluh tahun, dan Imam
Muslim lahir pada tahun tersebut.
b.
Sebagian besar hadits yang ada pada al-Muwaththa’
terdapat pula pada Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim, dan
sisanya terdapat pada kitab sunan yang empat.
Sebagian ulama dari barat dan timur mengatakan
bahwa semua yang ada pada al-Muwaththa’ adalah shahih. Di antara
al-Hafizh Ibnu ash-Shalah dan Ibnu Hajar. Akan tetapi yang rajih menurut
pendapat jumhur ulama bahwa derajat al-Muwaththa’ adalah di bawah Shahih
al-Bukhari dan Shahih Muslim. Sebagian ulama yang lain mengatakan
bahwa al-Muwaththa’ adalah kitab yang keenam dari kitab hadits yang enam
(al-Kutub al-Sittah), di antara mereka adalah Razin bin Mu’awiyah
as-Saraqusthi (w. 535 H) dan al-Majd bin al-Atsir (w. 606 H).[9]
3. Penilaian Ulama
Di mata masyarakat dan umat Islam, Imam Malik
memiliki kedudukan luar biasa yang menyamai kedudukan para khalifah, gubernur,
dan walikota. Majelis ilmunya diliputi ketenangan, kewibawaan, dan kehormatan.
Bahkan para pemimpin sekalipun di kala itu sangat senang mendengarkan pengajian
sang Imam.
Suatu ketika amir al-Mukminin Harun
al-Rasyid berkata kepada sang Imam:
يا أبا عبد الله، أريد أن أسمع
منك (الموطأ).
“Wahai
Abu Abdullah, aku ingin mendengarkan darimu (al-Muwaththa’).”
Lalu Imam Malik menjanjikan esok harinya. Pada hari yang dijanjikan Harun
al-Rasyid duduk di rumahnya menunggu Imam Malik, dan begitu juga sang Imam
menunggu sang Amir di rumahnya. Karena sudah lama menunggu, Harun al-Rasyid
mengutus seseorang untuk mengundang Imam Malik. Lalu ia berkata kepada Imam
Malik:
يا أبا عبد الله، ما زلت أنتظرك
منذ اليوم.
“Wahai Abu Abdullah, aku telah menunggumu
seharian”
Imam Malik menyatakan:
وأنا أيضا يا أمير المؤمنين لأم
أزل أنتظرك منذ اليوم، إن العلم يؤتى ولا يأتي، وإن ابن عمك صلى الله عليه وسلم هو
الذي جاء بالعلم؛ فإن رفعتموه ارتفع، وإن وضعتموه اتضع
“Aku juga menunggumu seharian wahai Amir
al-Mu’minin, sesungguhnya ilmu itu dicari, tidak datang sendiri, dan
sesungguhnya anak pamanmu saw. yang dia datang bersama ilmu, jika engkau
meninggikannya, dia akan tinggi, dan jika engkau rendahkan, maka ia menjadi
rendah.”[10]
Beberapa pendapat Ulama mengenai Imam Malik dan al-Muwaththa’:
a.
Imam asy-Syafi'i rahimahullah
Dalam memposisikan Imam Malik di kalangan Ulama Imam asy-Syafi'i
menyatakan:
إذا ذكر العلماء فمالك
النجم، و قال: مالك معلمى و عنه أخذتُ العلم
“Apabila
disebutkan Ulama, maka Malik adalah Najm (bintang), dia juga
berkata: "Malik adalah guruku, dan darinya aku mengambil ilmu.”[11]
Mengenai al-Muwaththa’, Imam asy-Syafi’i berkata:
ما على طهر الأرض كتاب
أصح بعد كتاب الله من كتاب مالك
“Tidak ada kitab yang paling shahih di permukaan
bumi ini setelah al-Qur’an daripada kitab (Muwaththa’) Imam Malik.”[12]
b.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
Mengomentari pendapat Imam Syafi’i di atas, Ibnu Taimiyah menyatakan:
وهو كما قال الشافعي رضي الله تعالى عنه
“Dan dia (Muwaththa’ Imam Malik) sebagaimana
yang dinyatakan asy-Syafi’i ra..”
هذه كتب الصحيح التى أجلّ ما فيها كتاب البخارى أول ما
يستفتح الباب بحديث مالك، و إن كان فى الباب شيءٌ من حديث مالك لا يقدّم على حديثه
غيره
"Kitab-kitab shahih ini yang di
dalamnya terdapat kitab al-Bukhari, awal babnya dibuka
dengan hadits Malik, apabila di dalam bab tersebut terdapat sesuatu dari hadits
Malik, maka dia tidak mendahulukan haditsnya selain dari hadits Malik.[13]
c. Al-Hafizh Ibnu 'Abdil Bar
Al-Hafizh
Ibnu ‘Abdil Bar rahimahullah (w. 463 H) merupakan seorang ulama yang
menyarahkan al-Muwaththa’ dalam kitabnya yang berjudul al-Istidzkar
fi Syarh Madzahibi Ulama’ al-Amshar dan at-Tamhid lima fi al-Muwaththa’
min al-Ma’ani wa al-Asanid yang telah dicetak di Maroko sebanyak 24 Jilid.
Ibnu ‘Abdil Bar berkata:
من اقتصر على حديث مالك رحمه الله فقد كُفي تعب التفتيش و
البحث، ووضع يده من ذلك على عروة وُثقى لا تنفصم، لأن مالكا قد انتقد و انتقى، و
خلص، و لم يرو إلا عن ثقة حجة
“Siapa yang mencoba untuk
meringkas hadits Malik rahimahullah, maka cukuplah keletihan dalam mengkaji dan
membahasnya, lalu ia berpegang dengan tali kokoh niscaya tidak juga akan putus.
Karena Malik telah mengkritik, membersihkan, memurnikan, dan dia hanya
meriwayatkan dari hujjah yang tsiqah.”[14]
d. Syeikh ad-Dahlawy
...تيقنتُ أنه لا يوجد الآن كتاب ما فى الفقه أقوى من موطأ
الإمام مالك، لأن الكتب تتفاضل فى ما بينها، إما من جهة فضل المصنف، أو من جهة
التزام الصحة، أو من جهة شُهرة إحاديثها، أو من جهة القبول لها من عآمة المسلمين،
أو من جهة حسن الترتيب واستيعاب المقاصد المهمة و نحوها، و هذه الأمور كلها موجودة
فى الموطأ على وجه الكمال، بالنسبة إلى جميع الكتب الموجودة على وجه الارض الآن...
“Saya
yakin sekarang tidak ditemukan kitab yang di dalam fiqh yang lebih kuat dari
Muwaththa’ Imam Malik. Karena kitab-kitab yang kelebihan terdapat di dalamnya,
baik dari segi kelebihan penyusun, dari segi ketegasan keshahihannya, dari segi
kemasyhuran hadits-haditsnya, dari segi diterimanya oleh kaum muslimin, dari
segi kerapian susunannya, maupun kepekatan tujuan-tujuan yang sangat urgen, dan
lain sebagainya. Semua itu terdapat dalam
al-Muwaththa’ secara sempurna disbanding dengan seluruh kitab yang ada di
permukaan bumi ini.”[15]
Demikianlah berbagai pendapat ulama mengenai kitab al-Muwaththa’ yang
disusun oleh Imam Malik bin Anas. Dari berbagai pendapat yang telah dikemukakan
oleh ulama di atas sebenarnya tidak bertentangan dengan pendapat jumhur ulama
yang mengatakan bahwa kitab yang paling shahih setelah kitab Allah (al-Qur’an)
adalah shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim. Sebagaimana yang
telah penulis jelaskan sebelumnya dengan beberapa alasan.
Di antara syarah al-Muwaththa’ yang paling penting yaitu:
1)
Al-Istidzkar
fi Syarh Madzahibi Ulama’ al-Amshar
2) At-Tamhid lima fi al-Muwaththa’ min al-Ma’ani wa
al-Asanid, keduanya karya Ibnu Abdil Barr, telah dicetak di
Maroko sebanyak 24 jilid
B. AL-SHAHIHAYN
(SHAHIH AL-BUKHARY DAN SHAHIH MUSLIM)
1. Shahih
al-Bukhary
a.
Tokoh
Namanya adalah Muhammad, kunyahnya
Abu Abdullah, laqabnya Imamul Muhadditsin (Imam para ahli hadits)
atau Amirul Mukminin fil Hadits (Amir orang-orang mukmin dalam hadits).
Nasabnya yaitu Muhammad bin Isma’il bin Ibrahim bin al-Mughirah bin Bardizbah bin
Badzidzbih.[16]
Dia dilahirkan pada bulan Syawal 194 H dan wafat pada tahun 256 H.[17]
Dua nama terakhir dari nasab Imam
al-Bukhari sebagaimana yang penulis kutip di atas, menerangkan bahwa Imam
al-Bukhari bukanlah keturunan orang Arab yang disebut dengan ‘Ajam (‘Ujmah).
Menurut para ahli hadits kata Bardizbah itu berarti petani. Ayah Bardizbah
adalah Badzidzbih, yang keduanya merupakan orang Persia.[18]
Imam
al-Bukhari telah menghafal hadits sebelum genap umurnya sepuluh tahun. Dia
belajar lebih dari 1000 syaikh atau guru, menghafal 100.000 hadits shahih dan
200.000 hadits yang tidak shahih.[19]
Imam
al-Bukhari meninggalkan sekitar dua puluh karya dalam bidang hadits,
ilmu-ilmunya, dan tokoh-tokohnya, serta ilmu-ilmu ke-Islaman lainnya. Yang
terpopuler adalah al-Jami’ ash-Shahih, yang lebih dikenal dengan sebutan
shahih al-Bukhari.
b.
Gambaran Umum Isi Kitab
Kitab ini dikenal di kalangan ulama dengan nama Shahih al-Bukhari. Imam
al-Bukhari mengeluarkan hadits yang terdapat dalam shahihnya dari 600
ribu hadits. Umumnya, hadits-hadits yang ini telah dibukukan dalam kitab-kitab musnad
dan mushannaf yang lain sebagaimana yang telah dikodifikasi oleh
para ulama pada abad ke 2 H. Imam al-Bukhari mendengarkan dari gurunya
berdasarkan musnad dan mushannaf mereka. Oleh karena itu, Imam al-Bukhari mengambil hadits
dengan cara as-Sima’. Beliau menyusun kitabnya selama 16 tahun.[20]
Menurut Al-Hafizh Abu al-Fadhl Syihabuddin
bin Hajar, semua matan yang muttasil dalam Shahih al-Bukhari tanpa
pengulangan berjumlah 2602 hadits. Di antara matan-matan yang mu’allaq
lagi marfu’ yang tidak beliau sebutkan dengan sanad bersambung di
tempt lain dalam kitab al-Jami’ berjumlah 159 hadits, sehingga semuanya
berjumlah 2761 hadits.[21]
c.
Penilaian Ulama
Jumhur ulama mengatakan, kitab al-jami’
al-shahih al-musnad al-mukhtashar min hadits rasulillah shallallahu ‘alaihi wa
sallam merupakan kitab yang paling shahih setelah kitab Allah Azza
wa Jalla (al-Qur’an).[22]
Bukanlah sesuatu yang berlebihan jika
mereka mengatakan bahwa umat Islam tidak pernah mencurahkan perhatian mereka
terhadap sebuah kitab, setelah kitab Allah sebagaimana kadar perhatian mereka
terhadap shahih al-Bukhari dari sisi periwayatan dan penyimakannya,
penghafalan dan penulisannya, penjelasan hadits-hadits dan para perawinya,
peringkasan dan pemisahan sanad-sanadnya.[23]
1)
Al-Hafizh ibn Hajar
al-Asqalany
ذكر
الفربرى أنه سمعه منه تسعون ألفا ... و من رواية الجامع أيضا: أبو طلحة منصور بن
محمد بن علي بن قريبة البزدوي، و إبراهيم بن معقل النسفى و حماد بن شاكر الفسوي
.... و الرواية التى اتصلت بالسماع فى هذهالأعصار وما قبلها هي رواية: محمد بن
يوسف بن مطر بن صالح بن بشر الفربري...
Al-Hafizh Ibnu
Hajar berkata: “Al-Farabri menyatakan bahwa sebanyak sembilan puluh ribu
orang telah mendengarkan shahih al-Bukhari dari beliau.” Al-Hafizh juga
mengatakan: “Bahwa di antara perawi kitab al-Jami’ (shahih al-Bukhari)
adalah: Abu Thalhah Manshur bin Muhammad bin Ali bin Qaribah al-Bazdawi,
Ibrahim bin Ma’qil an-Nasafi, dan Hammad bin Syakir al-Fasawi. Sedangkan
riwayat yang sampai pada masa-masa ini dan sebelumnya dengan cara pendengaran
langsung (as-Sima’) adalah riwayat Muhammad bin Yusuf bin Mathar bin Shalih bin
Bisyr al-Farabri.”[24]
2)
Para ulama yang menyusun
kitab syarah shahih al-Bukhari
Begitu banyaknya penilaian ulama terhadap kitab shahih al-Bukhari, sehingga
jumlahnya dalam bentuk mukhaththah (manuskrip) dan yang telah dicetak
mencapai tujuh puluh satu kitab sesuai penghitungan Prof. Abdul Ghani bin Abdul
Khaliq. Menurut penghitungannya juga, jumlah ta’liq, ringkasan, dan yang
serupa dengannya mencapai empat puluh empat kitab antara yang belum dicetak
atau sudah.[25]
Di antara kitab-kitab syarah Shahih al-Bukhari yang paling
penting yang telah dicetak adalah:
a)
A’lam as-Sunan, karya
Imam al-Khaththabi Abu Sulaiman Hamd bin Muhammad al-Busti yang wafat pada 388
H.
b)
Al-Kaukab ad-Darari fi
Syarh Shahih al-Bukhari, karya al-Hafizh Syamsuddin Muhammad bin Yusuf yang
dikenal dengan nama al-Karmani yang wafat pada 786 H.
c)
Fath al-Baari, karya
al-Hafizh Ibnu Hajar yang wafat pada 852 H. Ia termasuk syarah Shahih
al-Bukhari terpenting dan terbaik.
d)
Umdah al-Qari, karya
al-Hafizh Badruddin Abu Muhammad Mahmud bin Ahmad al-Hanafi yang terkenal
dengan nama al-‘Aini, yang wafat pada 855 H.
e)
Irsyad as-Sari,
karya Syihabuddin Ahmad bin Muhammad yang dikenal dengan nama al-Qasthalani,
yang wafat pada 923 H.
f)
Faidh al-Bari, karya
syaikh Muhammad Anwar al-Kasymiri al-Hanafi, yang wafat pada 1352 H.
g)
Lami’ ad-Darari, karya
al-Hajj Rasyid Ahmad al-Kankuhi dan kitab-kitab syarah yang lain.
Penilaian ulama terhadap para perawinya telah dimulai lebih awal. Yaitu
ketika al-Hafizh Abu Ahmad Abdullah bin Adi (W. 365 H) menulis sebuah kitab
yang diberi nama Man Rawa ‘anhu al-Bukhari, kemudian penulisan karya
ilmiah tentang hal itu muncul secara berurutan. Di antara kitab-kitab tersebut
adalah:
a)
Al-Hidayah wa al-Irsyad,
yang ditulis oleh Abu Nashr Ahmad bin Muhammad al-Kalabadzi (W. 398 H)
b)
At-Ta’dil wa at-Tarjih
Liman Akhraja lahu al-Bukhari fi ash-Shahih, karya Abu al-Walid Sulaiman
bin Khalaf al-Baji
c)
Al-Jami’u Baina Rijal
ash-Shahihain, karya Abu al-Fadhl Muhammad bin Thahir al-Maqdisi (W. 507 H).[26]
2. Shahih Muslim
a.
Tokoh
Shahih Muslim di susun oleh al-Imam al-Kabir al-Hafizh Abu
al-Husain Muslim bin al-Hajjaj bin Muslim bin Wardi bin Kausadz al-Qusyairi
an-Naisaburi.[27] Dia dilahirkan di Naisabur pada 204 H dan wafat pada 261 H.[28]
Beliau lebih dikenal dengan al-Imam Muslim.
Al-Imam Muslim adalah seorang ahli hadits dari Khurasan, yang berjalan
ke berbagai negeri untuk belajara hadits dan ilmu. Selama pengembaran itu beliau
banyak menyusun mushannaf. Beliau memiliki banyak guru, di antaranya di
Khurasan yaitu Yahya bin Yahya at-Tamimi, Ishaq bin Rahuwiyah dan lainnya. Di
Ray yaitu Muhammad bin Mihran al-Jammal, Abu Ghassan Muhamman bin Amr Zunaija,
dan lainnya. Di Irak yaitu Ahmad bin Hanbal, Abdullah bin Maslamah al-Qa’nabi,
dan lainnya. Di Hijaz yaitu Sa’id bin Manshur, Abu Muash’ab az-Zuhri, dan
lainnya. Di Mesir yaitu Amr bin Sawwad, Harmalah bin Yahya, dan lainnya.[29]
Sedangkan yang meriwayatkan darinya (muridnya) banyak sekali, antara
lain Imam Tirmidziy, Ibnu Khuzaimah, Yahya ibn Sa’id, dan Abdurrahman ibn Abi
Hatim. Imam Muslim berhasil mencapai puncak keilmuan. Beberapa imam lebih
mendahulukan beliau daripada guru-guru lain masa itu dalam rangka mengetahui
hadits. Imam-imam masa itu juga sangat memuji beliau, demikian pula mayoritas
ahli ilmu sesudah beliau.[30]
b.
Gambaran Umum Isi Kitab
Imam Muslim menyusun
kitabnya itu dari 300.000
hadits yang didengarnya langsung. Untuk menyeleksinya, beliau menghabiskan
waktu sekitar 15 tahun.[31] Kitab itu dikenal di kalangan para ulama
dengan nama Shahih Muslim. Ibnu ash-Shalah berkata:
روينا
عن مسلم رحمه الله قال: صنفت هذا "المسند الصحيح" من ثلاثمائة ألف حديث
مسموعة. و قال ابن الصلاح أيضا: "بلغنا عن مكى بن عبدان قال: سمعت مسلم بن
الحجاج يقول: لو أن أهل الحديث يكتبون مائتي سنة الحديث فمدارهم على هذا المسند،
يعنى مسنده الصحيح
“Diriwayatkan kepada kami
dari Muslim rahimahullah dia berkata: ‘Saya menyusun kitab ini, al-Musnad
ash-Shahih dari 300 ribu hadits yang saya dengar.’ Ibnu ash-Shalah juga
berkata: Telah sampai kepada kami dari Maki bin Abdan, dia berkata, saya
mendengar Muslim bin al-Hajjaj berkata: “Seandainya para ahli hadits menulis
hadits selama dua ratus tahun, maka poros mereka adalah pada musnad ini yakni
musnad ash-Shahih.”[32]
Menurut Ibnu ash-Shalah, dalam shahih Muslim tidak terdapat
hadits mu’allaq kecuali sedikit. Menurut Abu Ali al-Ghassani al-Andalusi
menyebutkan bahwa terjadi inqitha’ (terputus) dalam shahih Muslim pada
empat belas tempat.[33]
Ibnu ash-Shalah kemudian memperjelas perkataannya, ia menyebutkan tiga
tempat yaitu: 1) Dalam kitab tayammum, 2) Kitab buyu’ (jual
beli), dan 3) Bab hudud (hukuman yang telah ditentukan kadarnya oleh
syari’at). Menurut ar-Rasyid al-Aththar hanyalah tiga belas, salah satunya
pengulangan.[34]
Dua hadits yang terakhir (dalam kitab buyu’ dan bab hudud) telah
diriwayatkan oleh Muslim sebelum dua jalan periwayatan tersebut dengan sanad muttashil,
kemudian dia mengikutkannya dengan dua sanad ini. Maka berdasarkan ini,
dalam hadits muslim tidak terdapat hadits mu’allaq setelah mukadimah
yang mana dia tidak memaushulkannya kecuali hadits Abu al-Jahm dalam
kitab tayammum. Di dalamnya masih tersisa empat belas tempat lagi yang
beliau riwayatkan dengan sanad muttashil yang kemudian beliau lanjutkan
dengan perkataan “Si fulan meriwayatkannya’.[35]
Al-Hafizh Ibnu Hajar lebih sepakat dengan perkataan ar-Rasyid al-Aththar
yang mengatakan terjadi di tiga belas tempat. Dalam mengomentari pendapat
al-Hafizh al-Iraqi beliau mengatakan bahwa perkataan Muslim “Si fulan
meriwayatkan” tidak terjadi pada semua hadits yang disebutkan, akan tetapi
terjadi hanya pada enam hadits di dalam mukadima Shahih Muslim. Kemudian
tujuh hadits yang tersisa, di dalam terdapat satu hadits yang diulang. Maka
jumlahnya hanya dua belas saja, enam yang ta’liq (terputusnya perawi
setelah sahabat) dan enam lagi dengan bentuk ittishal (bersambung),
tetapi masing-masing tidak disebutkan dengan jelas tentang nama orang yang
meriwayatkannya. Maka ungkapan yang benar adalah dengan mengatakan, ‘di
dalamnya masih tersisa enam tempat.’ Dalam riwayat lain dikatakan, bahwa
hadits-hadits tersebut zahirnya munqathi’ (terputus sanadnya), padahal
bukan munqathi’. Sebagaimana pendapat jumhur ulama hadits tentang sanad
hadits yang di dalamnya terdapat seorang yang mubham (tidak disebutkan
namanya) bahwa ia adalah muttashil yang di dalamnya terdapat seorang
yang mubham.[36]
Imam an-Nawawi menyebutkan dalam tambahannya di dalam kitab at-Taqrib,
dia berkata: “Jumlah haditsnya sekitar 4000 dengan membuang hadits yang
diulang.”[37]
Jumlahnya melebihi jumlah hadits dalam kitab al-Bukhari, karena banyaknya jalur
periwayatnya. Abu Fadhl Ahmad bin Salamah meriwayatkan bahwa jumlahnya 12.000
hadits.[38]
c.
Penilaian Ulama
Para ulama tidak memberikan perhatian yang khusus kepada sebuah kitab
sesudah kitab Allah sebagaimana perhatian mereka kepada kitab Shahih
al-Bukhari dan Shahih Muslim. Sebagaimana penulis telah membahasnya
pada pembahasan sebelumnya tentang Shahih al-Bukhari.
Ulama sangat memperhatikan shahih Muslim dalam sisi periwayatan
dan penyimakan, hanya saja pada kurun masa terakhir dikenal masyhur riwayat Shahih
Muslim yang muttashil melalui riwayat Abu Ishaq bin Muhammad bin
Sufyan an-Naisaburi, seorang ahli fikih, mujtahid yang zuhud, perawi Shahih
Muslim. Beliau wafat pada 308 H. di antara kitab Syarah Shahih Muslim yang
terpenting adalah:
1)
Al-Mufhim fi Syarhi
Muslim, karya Abdul Ghafir bin Ismail al-Farisi (W. 529 H)
2)
Al-Mu’lim fi Syarhi
Muslim, karya Abu Abdillah Muhammad bin Ali bin Umar al-Maziri al-Maliki
(W. 536 H)
3)
Ikmal al-Mu’lim bi
Fawa’id Syarhi Shahih Muslim, karya al-Qadhi Abu al-Fadhl ‘Iyadh bin Musa
al-Yahshubi (W. 544 H)
4)
Syarh Shahih Muslim, karya
Abu Amr bin Utsman bin Ash-Shalah (W. 643 H)
5)
Al-Minhaj fi Syarhi
Shahih Muslim bin al-Hajjaj, karya Abu Zakaria Yahya bin Syaraf an-Nawawi
(W. 676 H)
6)
Ikmal al-Ikmal, karya
Abu ar-Rauh Isa bin Mas’ud az-Zawawi al-Maliki (W. 744 H)
Dan syarah-syarah yang lainnya yang jumlahnya sebanyak 48 kitab syarah
dan mukhtasharnya.[39]
3. Perbandingan
keduanya
Tidak diragukan lagi, bahwa masing-masing memiliki ciri khusus. Imam
al-Bukhari menyebut setiap bab dalam kitab, mengulangi beberapa hadits karena
beberapa kaedah dan memotong sebagian hadits dengan menempatkannya di berbagai
tempat untuk menjelaskan suatu hukum atau menambah suatu pengertian ataupun
mengukuhkan kemuttashilan sanad, dan lain-lain. Sementara Imam Muslim
tidak melakukan hal itu, tetapi menghimpun beberapa jalur di tempat yang sama
dengan sanad yang beragam dan redaksi yang berbeda juga, sehingga mudah
dipelajari.[40]
Syarat al-Bukhari dan Muslim ialah meriwayatkan hadits yang telah
disepakati ketsiqahan periwayatannya hingga sampai kepada seorang
sahabat yang masyhur, tanpa ada perselisihan antara para perawi yang tsiqah (terpercaya),
dan sanadnya muttashil dan tidak terputus. Hanya saja Imam Muslim
meriwayatkan hadits-hadits dari orang yang haditsnya ditinggalkan oleh Imam
al-Bukhari karena syubhat (aib) yang terdapat pada dirinya. Muslim meriwayatkan
hadits-haditsnya dengan menghilangkan syubhat tersebut, seperti Hammad bin
Salamah, Suhail bi Abi Shalih, Dawud bin Abi Hind, Abu az-Zubair al-Makki,
al-Ala’ bin Abdurrahman dan lainnya.[41]
C. MUSNAD IMAM
AHMAD BIN HANBAL
1. Tokoh
Pengarang kitab Musnad Imam
Ahmad bin Hanbal yaitu Syaikhul Islam, pemimpin umat Islam pada masanya,
seorang hafizh, hujjah, imam, dan menjadi panutan umat. Kemuliaan dan
martabatnya diakui oleh semua orang, baik yang pro ataupun yang kontra
dengannya.
Dia adalah Abu Abdullah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal bin Hilal bin
Asad bin Idris bin Abdullah bin Hayyan bin Abdullah bin Anas bin ‘Auf bin
Qasith bin Mazin bin Syaiban bin Zuhl bin Tsa’labah bin ‘Ukabah bin Sha’ub bin
Ali bin Bakar bin Wa’il adz-Dzuhli asy-Syaibani al-Marwazi al-Baghdadi, [42]
Imam Ahmad bin Hanbal lahir pada 164 H dan wafat pada 241 H, salah seorang imam
fiqh dan hadits terkemuka.[43]
2. Sistematika
Penyusunan
Imam Ahmad rah, telah
menyusunnya berdasarkan sahabat yang lebih awal memeluk Islam dan lebih utama
kedudukannya dalam Islam. Dia memulainya dari sepuluh sahabat yang diberi kabar
gembira dengan surga, kemudian ahli Badar, disusul ahli Bai’at Ridhwan
(Hudaibiyah), dan seterusnya.[44]
Jumlah haditsnya
mencapai 30.000 hadits lebih yang beliau saring dari 750.000 buah hadits.
Beliau mentakhrij hadits-hadits itu dari sekitar 800 orang sahabat.[45]
Abu Musa menyebutkan bahwa jumlah hadits dalam musnad adalah 40.000 kurang 30
atau 40 hadits yang ditakhrij dari 700 orang pria dan 100 lebih
perempuan.[46]
3. Gambaran Umum Isi
Kitab
Hadits-hadits dalam musnad itu berkisar antara yang shahih, hasan,
dan dha’if. Ada hadits-hadits shahih yang telah ditakhrij oleh
para pemilik al-kutub as-sittah. Ada pula yang belum mereka takhrij. Ada
yang hasan dan ada pula yang dha’if yang bisa dijadikan hujjah,
sampai-sampai Imam as-Suyuti mengatakan: “Semua yang ada di dalam musnad Ahmad
adalah maqbul. Karena hadits dha’if yang ada di dalamnya
mendekati kualitas hasan.”
Sebagian ulama berbeda pendapat mengenai ada tidaknya hadits maudhu’
di dalam musnad, meski hanya sedikit. Kesimpulannya adalah bahwa yang
diperselisihkan itu tidak lebih dari hitungan jari tangan. Ibnu Hajar di dalam
kitabnya “Ta’jil al-Manfa’ah bi Rijal al-Arba’” (Yakni al-Muwaththa’,
musnad Abu Hanifah, musnad asy-Syafi’i, dan musnad Ahmad) mengatakan: dalam
al-Musnad tidak ada hadits yang tidak memiliki asal kecuali tiga atau
empat hadits. Beliau beralasan bahwa hadits-hadits itu sebenarnya telah
diperintahkan oleh Imam Ahmad untuk dihapus, tetapi yang diperintah lupa
menghapusnya. Namun demikian, sebagian hafizh berusaha menafikan
adanya hadits maudhu’ di dalamnya.[47]
Namun menurut Abu al-Faraj Ibnu al-Jauzi mengatakan موضوع فيه (di dalamnya
terdapat hadits maudhu’)
4. Penilaian Ulama
Al-Hafizh Abu Musa al-Maidani berkata:
لم
يُخرج أحمد في مسنده إلا عمن ثبت عنده صدقُه و ديانته دون من طُعن في أمانته
“Imam Ahmad tidak meriwayatkan hadits dalam kitabnya melainkan dari
orang yang menurutnya jujur dan hanif agamanya, bukan orang yang tidak
amanah.”[48]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata:
شرط
المسند أقوى من شرط أبى داود فى سننه و قد روى أبو داود فى سننه عن رجال أعرض عنهم
أحمد فى المسند و لهذا كان الإمام أحمد لا يروى في المسند عمن يعرف أنه يكذب مثل
محمد بن سعيد المصلوب و نحوه، ولكن قد يروى عمن يضعف لسوء حفظه، فإنه يكتب حديثه
ليعتضد به و يعتبر به
“Syarat al-Musnad lebih
kuat daripada syarat Abu Dawud dalam sunannya. Abu Dawud meriwayatkan
hadits dari para perawi yang ditolak haditsnya oleh Imam Ahmad dalam musnadnya.
Oleh karena itu, Imam Ahmad tidak pernah meriwayatkan hadits dalam musnadnya
dari orang yang dikenal sebagai pendusta, seperti: Muhammad bin Sa’id
al-Mashlub dan semisalnya. Tetapi terkadang ia meriwayatkan hadits dari orang yang
lemah karena kualitas hafalannya jelek. Dia menulis haditsnya untuk menguatkan
atau menjadikannya sebagai pedoman.”[49]
Bentuk-bentuk
perhatian ulama terhadap musnad:
1.
Al-Hafizh Abu Bakar
Muhammad bin Abdullah bin al-Muhib as-Shamit menyusunnya menurut urutan huruf mu’jam
(hija’yah) nama sahabat dan orang-orang yang meriwayatkan hadits dari
mereka, sebagaimana susunan kitab-kitab al-Athraf.
2.
Al-Hafizh Abu al-Fida’
Imaduddin Ismail bin Umar bin Katsir rahimahullah mengambil kitab musnad
dengan susunan Ibnu al-Muhib ash-Shamit dan menggabungkannya dengan al-kutub
as-sittah, musnad al-Bazzar, musnad Abu Ya’la al-Mushili dan Mu’jam
al-Thabrani al-Kabir. Kemudian beliau menyusun semuanya sebagaimana
penyusunan Ibnu al-Muhib terhadap al-musnad dan memberinya nama Jami’
al-Masanid wa as-Sunan.
3.
Al-Hafizh Ibnu Hajar juga
menyusunnya menurut al-Athraf hadits dalam kitabnya yang diberi nama Athraf
al-Musnid al-Mu’tala bi Athrafi al-Musnad al-Hanbali. Kemudian beliau
menggabungkannya dengan sepuluh kitab hadits lain dalam kitabnya Ithaf
as-Saadah al-Maharah al-Khiyarah bi Athraf al-Kutub al-Asyrah.
4.
Al-Hafizh Syamsuddin
al-Husaini membuat tarjamah (biografi) para perawinya dalam kitabnya al-Ikmal
biman fi Musnad Ahmad min ar-Rijal minman Laisa fi Tahzib al-Kamal li al-Mizzi.
Kemudian beliau meletakkan biografi tersebut dalam kitabnya at-Tazkirah
bi Rijal al-Asyrah, yaitu al-Kutub as-Sittah, Muwaththa’ Malik, Musnad
Ahmad, Musnad asy-Syafi’i, dan Musnad Abu Hanifah. Dan telah
diringkas oleh al-Hafizh dalam kitab Ta’jil al-Manfa’ah hanya pada
perawi kitab yang empat.
5.
Syaikh Ahmad bin
Abdurrahman as-Sa’ati menyusun kitab musnad menurut urutan bab-bab untuk
memudahkan para penuntut ilmu dalam menggunakannya. Beliau memberinya nama
dengan al-Fath ar-Rabbani bi Tartib Musnad al-Imam Ahmad bin Hanbal
asy-Syaibani, kemudian beliau kembali mensyarahkannya dan mentakhrij
hadits-haditsnya dalam kitab yang berjudul “Bulugh al-Amani min Asrar
Al-Fath ar-Rabbani. Keduanya telah dicetak.
6.
Musnad ini juga
mendapat perhatian dari Syaikh Ahmad bin Muhammad Syakir rahimahullah, beliau
mensyarahkan hadits-haditsnya yang gharib dan member hukum shahih
atau dha’if berdasarkan kemampuan ijtihadnya.
7.
Perhatian ulama terhadap musnad
ini dari sisi kedudukan, urgensi, dan penjelasan derajat hadits-haditsnya,
antara lain:
a.
Khasha’is al-Musnad, karya
Abu Musa al-Madini
b.
Al-Mish’ad al-Ahmad dan
al-Musnad al-Ahmad, karya Syamsuddin al-Jazari
c.
Al-Qaul al-Musadadad fi
adz-Dzabb’an Musnad Ahmad, karya al-Hafizh Ibnu Hajar[50]
BAB III
PENUTUP
Demikianlah sekelumit
tentang kitab-kitab hadits yang pokok, yang merupakan rujukan bagi setiap
muslim untuk mengambil syari’at Allah setelah al-Qur’an al-Karim. Imam Malik
merupakan ahli hadits sekaligus Imam mazhab fikih di antara imam yang empat
yang terkenal hingga hari ini. Imam al-Bukhari merupakan Amirul mukminin fi
al-hadits yaitu Amir orang-orang beriman dalam hadits. Imam Muslim dikenal
dengan Imam besar para Hafizh. Sedangkan Imam Ahmad bin Hanbal merupakan
Syaikhul Islam yang dalam ilmunya.
Sepanjang penjabaran makalah
ini, penulis menyadari akan kekurangan dan kelemahan. Baik dari aspek kurang padatnya
pembahasan dan juga dari aspek kebahasaan. Oleh karena itu, penulis sangat
mengharapkan kritikan dan masukan dari pembaca yang dapat mendukung untuk
menutup kekurangan makalah ini.
Penulis juga menyarankan
kepada pembaca dan peserta diskusi untuk kembali membaca dan mengkaji
kitab-kitab ulama yang berkaitan dengan pembahasan dalam makalah ini, seperti at-taarikh
al-baghdadi, at-taarikh al-‘iraqi, Hadyu as-Sari, dan kitab-kitab lainnya.
Akhirnya penulis hanya bisa
berdoa dan berharap kepada sang Pemberi Hidayah yakni Allah Azza wa Jalla, semoga
makalah ini bermanfaat, terutama bagi penulis sendiri, dan juga untuk pembaca
sekalian.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Abdul Aziz, Syaikh Syarif, 2012, Cobaan Para Ilama, 29
Kisah Ulama Besar dalam Menghadapi Ujian Dakwah, Jakarta: Pustaka
al-Kautsar
Abdul Khaliq, Abdul Ghani, t.th, al-Imam al-Bukhari wa
Shahihuhu, Jeddah: Dar al-Manarah
Adz-Dzahabi, 1996, Siyar A’lam an-Nubala’, Juz 12,
Cet. XI, Beirut: Mu’assasah al-Risalah
___________, 1996, Siyar A’lam an-Nubala’, Juz 11,
Cet. XI, Beirut: Mu’assasah al-Risalah
Ahmad bin Ali bin Hajar, Abu al-Fadhl, t.th, an-Nukat
‘ala Ibni ash-Shalah Jilid I, Madinah: Universitas Madinah
Ibnu Abdi al-Barr, t.th, Tajrid
at-Tamhid, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah
Ibnu al-Jazari, 1990, al-Mish’ad al-Ahmad fi Khatmi
Musnad al-Imam Ahmad, Mesir: Maktabah at-Taubah
Ibnu Taimiyah, Abu al-‘Abbas, 1998, Majmu’ al-Fatawa, Jilid
XVIII, Riyadh: Maktabah al-Ubaikan
al-Iraqi, Abu al-Fadhl Abdurrahman bin al-Husain, T.th, at-Taqyid
wa al-Idhah, Beirut: Dar al-Hadits
Khuzairi, Thahir al-Azhar, 2008, al-Madkhal ila al-Muwaththa’ Imam Malik ibn Anas, cet. 1, Kuwait:
Maktabah al-Syu’un al-Fanniyyah
al-Khatib, Muhammad ‘Ajjaj, 2007, Ushul al-Hadits,
Pokok-pokok Ilmu Hadits, diterjemahkan oleh M. Qodirun Nur & Ahmad
Musyafiq, Cet. IV, Jakarta: Gaya Media Pratama,
al-Maqdisi, Abu al-Fadhl Muhammad bin Thahir, 1984, Syuruth
al-A’immah as-Sittah, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah
al-Mubarakfury, Abdu as-Salam, 1422 H, Sirah al-Imam
al-Bukhari (Sayyidul Fuqaha wa Imam al-Muhadditsin), Makkah al-Mukarramah:
Dar ‘Alim al-Fawa’id
Munawwir, Ahmad Warson, 1997, Kamus al-Munawwir
Arab-Indonesia Terlengkap, Surabaya: Pustaka Progresif
Muwaffiq bin Abdullah bin Abdul Qadir, 1984, Tahqiq
Shiyanah Shahih Muslim min al-Ikhlal wa al-Ghalth wa Hamayatuhu min al-Isqath
wa as-Saqth li Abu Amr bin ash-Shalah, Dar al-Gharb al-Islami
Subh as-Shalih, 1988, Ulum al-Hadits wa Musthalatuhu, thab’ah
XVII, Beirut: Dar al-Ilmi lil Malayiin
as-Suyuthi, Al-Imam Jalaluddin
Abdurrahman, t.th, Tanwir al-Hawalik (Syarh ‘ala Muwaththa’ Malik), Mesir:
Dar Ahya’ al-Kutub al-Arabiyah
______________, 1415 H, Tadrib ar-Rawi fi Syarh Taqrib
an-Nawawi, Cet. II, Jilid I, Riyadh: Maktabah al-Kautsar
al-Umariy, Akram, t.th, Buhuts fi Tarikh as-Sunnah
al-Musyarrafah, Cet. V, (Madinah al- Munawwarah, Maktabah al-Ulum wa
al-Hikam
az-Zahrani, Muhammad bin Mathar, 1998, Tadwin as-Sunnah
an-Nabawiyah, Nasy’atuhu wa Tathowwuruhu min al-Qarn al-Awwal ila Nihayah
al-Qarn al-Tasi’ al-Hijry, Cet. II, Madinah al-Munawwarah: Dar al-Khudhairy
[1] Akram al-Umariy, Buhuts fi Tarikh as-Sunnah
al-Musyarrafah, (Madinah al-Munawwarah, Maktabah al-Ulum wa al-Hikam, t.th)
Cet. V, Hal. 309
[2] Syaikh Syarif Abdul Aziz, Cobaan Para Ilama, 29
Kisah Ulama Besar dalam Menghadapi Ujian Dakwah, (Jakarta: Pustaka
al-Kautsar, 2012), hal. 36
[3] Ibid
[4] Ahmad Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir
Arab-Indonesia Terlengkap, (Surabaya: Pustaka Progresif, 1997) hal. 1565
[5] Muhammad bin Mathar az-Zahrani, Tadwin as-Sunnah
an-Nabawiyah, Nasy’atuhu wa Tathowwuruhu min al-Qarn al-Awwal ila Nihayah
al-Qarn al-Tasi’ al-Hijry, (Madinah al-Munawwarah: Dar al-Khudhairy, 1998)
Cet. II, hal. 106
[6] Al-Imam Jalal ad-Din Abdurrahman as-Suyuthi, Tanwir
al-Hawalik (Syarh ‘ala Muwaththa’ Malik), (Mesir: Dar Ahya’ al-Kutub
al-Arabiyah, t.th) hal. 7
[7] Ibnu Abdi al-Barr, Tajrid
at-Tamhid, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, t.th), hal. 258
[8] Al-Imam as-Suyuthi,
Op. Cit. hal 8
[10] Thahir al-Azhar Khuzairi, al-Madkhal ila al-Muwaththa’ Imam Malik ibn
Anas, cet. 1 (Kuwait: Maktabah al-Syu’un al-Fanniyyah, 1429 H/2008 M), hal. 25-26.
[14] Ibid
[15] Ibid
[16] Abdu as-Salam al-Mubarakfury, Sirah al-Imam
al-Bukhari (Sayyidul Fuqaha wa Imam al-Muhadditsin), (Makkah al-Mukarramah:
Dar ‘Alim al-Fawa’id, 1422 H), hal. 51
[17] Muhammad az-Zahraniy, Op. Cit., hal. 126
lihat juga biografi lengkap Imam al-Bukhari dalam adz-Dzahabi, Siyar A’lam
an-Nubala’, (Beirut: Mu’assasah al-Risalah, 1996) Juz 12, Cet. XI, hal. 391
[18] Abdu as-Salam al-Mubarakfury, Op. Cit., hal.
52-53
[19] Subh as-Shalih, Ulum al-Hadits wa Musthalatuhu, (Beirut:
Dar al-Ilmi lil Malayiin, 1988) thab’ah XVII, hal. 396
[20] Akram al-Umary, Op. Cit., hal. 318
[21] Ibid
[22] Akram al-Umariy, Op. Cit., hal. 317
[23] Abdul Ghani Abdul Khaliq, al-Imam al-Bukhari wa
Shahihuhu, (Jeddah: Dar al-Manarah, t.th), hal. 227-245
[24] Muhammad bin Mathar al-Zahrani, Op. Cit., hal.
136
[25] Abdul Ghani Abdul Khaliq, Ibid
[26]
Muhammad az-Zahrani, Op. Cit., hal.
138-139
[27] Abu Abdullah adz-Dzahabi, Op. Cit., hal. 557-558
[28] Abu al-Fadhl Muhammad bin Thahir al-Maqdisi, Syuruth
al-A’immah as-Sittah, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah,1984), hal. 10
[29] Muwaffiq bin Abdullah bin Abdul Qadir, Tahqiq Shiyanah
Shahih Muslim min al-Ikhlal wa al-Ghalth wa Hamayatuhu min al-Isqath wa
as-Saqth li Abu Amr bin ash-Shalah, (Dar al-Gharb al-Islami, 1984), hal.
56-58
[30] Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib, Ushul al-Hadits,
Pokok-pokok Ilmu Hadits, diterjemahkan oleh M. Qodirun Nur & Ahmad
Musyafiq, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007) Cet. IV, hal. 283
[31] Ibid
[32] Muwaffiq bin Abdullah bin Abdul Qadir, Op. Cit.,
hal. 67-68
[33] Op. Cit., hal. 76
[34] Muhammad az-Zahrani, Op. Cit., hal. 138
[35] Abu al-Fadhl Abdurrahman bin al-Husain al-Iraqi, at-Taqyid
wa al-Idhah, (Beirut: Dar al-Hadits, t,th), hal. 15
[36] Abu al-Fadhl Ahmad bin Ali bin Hajar, an-Nukat
‘ala Ibni ash-Shalah, (Madinah: Universitas Madinah, t.th), Jilid I, hal.
353
[37] Jalaluddin as-Suyuti, Tadrib ar-Rawi fi Syarh
Taqrib an-Nawawi, (Riyadh: Maktabah al-Kautsar, 1415 H) Cet. II, Jilid I,
hal. 109
[38] Abu Abdullah adz-Dzahabi, Op. Cit., hal. 566
[39] Muwaffiq bin Abdullah bin Abdul Qadir, Op. Cit.,
hal. 9-17
[40] Muhammah ‘Ajjaj al-Khatib, Op. Cit., hal.
284-285
[41] Abu al-Fadhl Muhammad bin Thahir al-Maqdisi, Op.
Cit., hal. 17-18
[42] Adz-Dzahabi, Siyar A’lam an-Nubala’, (Beirut:
Mu’assasah al-Risalah, 1996) Juz 11, Cet. XI, hal. 177-178
[43] Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib, Op. Cit., hal.
291
[44] Muhammad az-Zahrani, Op. Cit., hal. 120
[45] Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib, Ibid
[46] Ibnu al-Jazari, al-Mish’ad al-Ahmad fi Khatmi
Musnad al-Imam Ahmad, (Mesir: Maktabah at-Taubah, 1990), hal. 13-14
[47] Op. Cit., hal. 297
[48] ibid
[49] Abu al-‘Abbas Ibnu Taimiyah, Majmu’ al-Fatawa, (Riyadh:
Maktabah al-Ubaikan, 1998), Jilid XVIII, hal. 26
[50] Muhammad bin Mathar az-Zahrani, Op. Cit., hal.
121-123
0 komentar:
Post a Comment