MENGENAL KITAB-KITAB HADITS POKOK



BAB I
PENDAHULULAN
Pemeliharaan hadits dari masa ke masa terus dilakukan oleh setiap generasi umat ini. Mulai dari zaman Rasulullah saw. sampai pada masa akhir tabi’ at-tabi’in. Sehingga muncullah berbagai kitab hadits yang banyak kita kenal hari ini, seperti al-Muwaththa’, Shahih al-Bukhari, Shahih Muslim, Musnal al-Imam Ahmad bin Hanbal, kitab-kitab sunan yang empat, dan yang lainnya. Sebagaimana kitab-kitab tersebut telah masyhur di kalangan umat Islam sebagai kitab rujukan hadits-hadits Rasulullah saw. yang bersifat pokok. Kemudian diteruskan oleh generasi sesudahnya dengan mensyarah kitab-kitab tersebut, seperti Fath al-Baari, Syarah shahih Muslim, da lain sebagainya. Tidak terhenti sampai di sana, bahkan sampai hari ini para ulama terus mengkaji dan meneliti hadits-hadits tersebut, sehingga benar-benar terlihat jelas bahwa hadits itu bersumber dari Rasulullah saw.
Perjuangan para ahli ilmu dan ahli hadits di masa lalu, patut kita teladani hari ini. Dengan perjuangan mereka, kita dapat menikmati dengan meudah mempelajari hadits-hadits Rasulullah saw. yang shahih. Berikut di antara gambaran perjuangan mereka sebagaimana yang diungkapkan oleh al-Imam al-Hakim dalam ma’rifah Ulumil Hadits:
 “Mereka lebih memilih untuk menempuh padang gurun dan tanah kosong daripada bersenang-senang di tempat tinggal dan negeri mereka. Mereka merasakan kenikmatan dalam kesengsaraan di dalam perjalanan bersama dengan ahli ilmu dan riwayat. Mereka jadikan masjid-masjid sebagai rumah mereka. Mereka jadikan menulis sebagai makanan kesehariannya. Mencocokkan tulisan sebagai percakapan di waktu malam. Mengulang pelajaran sebagai istirahat mereka. Tinta sebagai parfum mereka. Begadang sebagai tidur mereka. Dan kerikil sebagai bantal mereka.”

Maka patutlah kita hari ini sedikit menilik bagaimana perjuangan mereka dan kembali membaca dan mengkaji hasil karya mereka yang besar. Karena begitu pentingnya kajian ini, maka penulis akan mencoba menggambarkan sekelumit tentang kitab-kitab pokok hadits-hadits Rasulullah saw. Pada makalah ini penulis akan membahas tentang empat kitab saja yaitu: Muwaththa’ al-Imam Malik bin Anas, Shahih al-Bukhari, Shahih Muslim, dan Musnad al-Imam Ahmad bin Hanbal.


BAB II
MENGENAL KITAB-KITAB HADITS POKOK
A.    AL-MUWAHTHA'
1.      Tokoh
Kitab al-Muwaththa’ disusun oleh Imam Malik bin Anas. Dia merupakan seorang imam mazhab dari imam yang empat dan juga seorang ahli hadits.
Nama lengkapnya yaitu Malik bin Anas bin Malik bin Abi Amir al-Ashbahy al-Himyary yang biasa dipanggil Abu Abdullah, gelarnya Imam Dar al-Hijrah. Dilahirkan di Madinah pada tahun 93 H atau 712 M dan wafat pada tahun 179 H.[1]
Di tengah lingkungan yang sarat iman dan ilmu yang murni Imam Malik dilahirkan. Ia tumbuh dan berkembang di sana. Di antara pepohonan Madinah, Imam Malik meretas jalan untuk menghadiri berbagai halaqah (pengajian) keilmuan dan hadis. Ia duduk menghadiri majelis keilmuan para pakar ilmu pada masanya. Imam Malik ketika itu adalah anak muda yang pandai, luar biasa banyak hafalannya, teguh, disiplin, tekun, berbakti, dan bertaqwa.[2]
Kakek dan ayahnya termasuk ulama hadis terpandang di Madinah. Oleh sebab itu, sejak kecil Imam Malik tidak berniat meninggalkan Madinah untuk mencari ilmu, karena beliau merasa Madinah adalah kota sumber ilmu yang berlimpah dengan ulama-ulama besar. Imam Malik selalu menghadiri majelis keilmuan salah seorang ulama Madinah, Abdurrahman bin Hurmuz selama tujuh tahun penuh. Selama rentang waktu tersebut, ia benar-benar mendapat pengaruh dari sang guru, Ibnu Hurmuz. Selain itu, Imam Malik juga ikut menghadiri majelis keilmuan Rabi’ah bin Abdurrahman, dan Nafi’ maula (mantan budak) Ibnu Umar.[3]
2.      Gambaran Umum Isi Kitab
Al-Muwaththa’ berasal dari kata wathi’a – yatha’u wath’an yang berarti “berjalan di atas” atau “melalui”. Sedangkan kata al-Muwaththa’ itu sendiri merupakan ism maf’ul dari fi’il tsulatsi mazid bi harf fi ‘ain fi’il, yang berarti “Dimasuki”.[4] Artinya mudah dimasuki atau dipahami. Sebab dinamakan kitab ini dengan al-Muwaththa’ adalah karena dua sebab:
a.       Karena kitab ini menjadi pembicaraan manusia, maksudnya ia dimudahkan untuk manusia.
b.      Karena para ulama Madinah sepakat dan setuju atasnya.[5]
Imam Malik berkata:
عرضت كتابى هذا على سبعين فقيها من فقهاء المدينة فكلهم و اطأنى عليه فسميته: الموطأ
“Saya menunjukkan kitabku ini kepada tujuh puluh ahli fikih Madinah. Semuanya menyepakatiku atasnya, maka saya memberinya nama al-Muwaththa’.”[6]

Kitab ini berisi hadits-hadits Rasulullah saw., atsar-atsar sahabat, dan fatwa-fatwa tabi’in. Dia memilahnya dari seratus ribu hadits yang pernah dia riwayatkan.
Hadits yang terkumpul di dalamnya menurut riwayat Yahya bin Yahya al-Andalusi mencapai 853 hadits.[7] Abu Bakar al-Abhari mengatakan, “Jumlah hadits Rasulullah saw., atsar sahabat, dan fatwa tabi’in yang ada dalam al-Muwaththa’ adalah 1720 hadits, yang bersanad 600, mursal 222, mauquf 613, dan fatwa tabi’in 285.”[8]
Perbedaan perhitungan jumlah hadits yang terdapat dalam al-Muwaththa’ berdasarkan perbedaan riwayat dari Imam Malik. Imam Malik selalu membersihkan dan memperbaiki isi Muwaththa’nya, dan tetap menulisnya dan memperbaikinya.
Adapun derajat hadits-hadits yang terdapat dalam al-Muwaththa’ sebagaimana yang dinyatakan oleh Imam asy-Syafi’i: “Kitab paling shahih setelah al-Qur’an adalah Muwaththa’ Imam Malik.” Tidaklah ada pertentangan antara pernyataan ini dengan kesepakatan ulama bahwa kitab paling shahih setelah al-Qur’an adalah Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim. Hal itu karena beberapa hal:
a.       Pernyataan Imam asy-Syafi’i ini sebelum adanya shahih al-Bukhari dan shahih Muslim. Dia meninggal pada 204 H, sedangkan umur Imam al-Bukhari pada waktu itu belum melewati sepuluh tahun, dan Imam Muslim lahir pada tahun tersebut.
b.      Sebagian besar hadits yang ada pada al-Muwaththa’ terdapat pula pada Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim, dan sisanya terdapat pada kitab sunan yang empat.
Sebagian ulama dari barat dan timur mengatakan bahwa semua yang ada pada al-Muwaththa’ adalah shahih. Di antara al-Hafizh Ibnu ash-Shalah dan Ibnu Hajar. Akan tetapi yang rajih menurut pendapat jumhur ulama bahwa derajat al-Muwaththa’ adalah di bawah Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim. Sebagian ulama yang lain mengatakan bahwa al-Muwaththa’ adalah kitab yang keenam dari kitab hadits yang enam (al-Kutub al-Sittah), di antara mereka adalah Razin bin Mu’awiyah as-Saraqusthi (w. 535 H) dan al-Majd bin al-Atsir (w. 606 H).[9]
3.      Penilaian Ulama
Di mata masyarakat dan umat Islam, Imam Malik memiliki kedudukan luar biasa yang menyamai kedudukan para khalifah, gubernur, dan walikota. Majelis ilmunya diliputi ketenangan, kewibawaan, dan kehormatan. Bahkan para pemimpin sekalipun di kala itu sangat senang mendengarkan pengajian sang Imam.
Suatu ketika amir al-Mukminin Harun al-Rasyid berkata kepada sang Imam:
يا أبا عبد الله، أريد أن أسمع منك (الموطأ).
“Wahai Abu Abdullah, aku ingin mendengarkan darimu (al-Muwaththa’).”

Lalu Imam Malik menjanjikan esok harinya. Pada hari yang dijanjikan Harun al-Rasyid duduk di rumahnya menunggu Imam Malik, dan begitu juga sang Imam menunggu sang Amir di rumahnya. Karena sudah lama menunggu, Harun al-Rasyid mengutus seseorang untuk mengundang Imam Malik. Lalu ia berkata kepada Imam Malik:
يا أبا عبد الله، ما زلت أنتظرك منذ اليوم.
“Wahai Abu Abdullah, aku telah menunggumu seharian”

Imam Malik menyatakan:
وأنا أيضا يا أمير المؤمنين لأم أزل أنتظرك منذ اليوم، إن العلم يؤتى ولا يأتي، وإن ابن عمك صلى الله عليه وسلم هو الذي جاء بالعلم؛ فإن رفعتموه ارتفع، وإن وضعتموه اتضع
“Aku juga menunggumu seharian wahai Amir al-Mu’minin, sesungguhnya ilmu itu dicari, tidak datang sendiri, dan sesungguhnya anak pamanmu saw.  yang dia datang bersama ilmu, jika engkau meninggikannya, dia akan tinggi, dan jika engkau rendahkan, maka ia menjadi rendah.”[10]

Beberapa pendapat Ulama mengenai Imam Malik dan al-Muwaththa’:
a.       Imam asy-Syafi'i rahimahullah
Dalam memposisikan Imam Malik di kalangan Ulama Imam asy-Syafi'i menyatakan:
إذا ذكر العلماء فمالك النجم، و قال: مالك معلمى و عنه أخذتُ العلم
Apabila disebutkan Ulama, maka Malik adalah Najm (bintang), dia juga berkata: "Malik adalah guruku, dan darinya aku mengambil ilmu.”[11]

Mengenai al-Muwaththa’, Imam asy-Syafi’i berkata:
ما على طهر الأرض كتاب أصح بعد كتاب الله من كتاب مالك
“Tidak ada kitab yang paling shahih di permukaan bumi ini setelah al-Qur’an daripada kitab (Muwaththa’) Imam  Malik.”[12]

b.      Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
Mengomentari pendapat Imam Syafi’i di atas, Ibnu Taimiyah menyatakan:
وهو كما قال الشافعي رضي الله تعالى عنه
“Dan dia (Muwaththa’ Imam Malik) sebagaimana yang dinyatakan asy-Syafi’i ra..”
هذه كتب الصحيح التى أجلّ ما فيها كتاب البخارى أول ما يستفتح الباب بحديث مالك، و إن كان فى الباب شيءٌ من حديث مالك لا يقدّم على حديثه غيره
"Kitab-kitab shahih ini yang di dalamnya terdapat kitab al-Bukhari, awal babnya dibuka dengan hadits Malik, apabila di dalam bab tersebut terdapat sesuatu dari hadits Malik, maka dia tidak mendahulukan haditsnya selain dari hadits Malik.[13]

c.       Al-Hafizh Ibnu 'Abdil Bar
Al-Hafizh Ibnu ‘Abdil Bar rahimahullah (w. 463 H) merupakan seorang ulama yang menyarahkan al-Muwaththa’ dalam kitabnya yang berjudul al-Istidzkar fi Syarh Madzahibi Ulama’ al-Amshar dan at-Tamhid lima fi al-Muwaththa’ min al-Ma’ani wa al-Asanid yang telah dicetak di Maroko sebanyak 24 Jilid. Ibnu ‘Abdil Bar berkata:
من اقتصر على حديث مالك رحمه الله فقد كُفي تعب التفتيش و البحث، ووضع يده من ذلك على عروة وُثقى لا تنفصم، لأن مالكا قد انتقد و انتقى، و خلص، و لم يرو إلا عن ثقة حجة
“Siapa yang mencoba untuk meringkas hadits Malik rahimahullah, maka cukuplah keletihan dalam mengkaji dan membahasnya, lalu ia berpegang dengan tali kokoh niscaya tidak juga akan putus. Karena Malik telah mengkritik, membersihkan, memurnikan, dan dia hanya meriwayatkan dari hujjah yang tsiqah.”[14]

d.      Syeikh ad-Dahlawy
...تيقنتُ أنه لا يوجد الآن كتاب ما فى الفقه أقوى من موطأ الإمام مالك، لأن الكتب تتفاضل فى ما بينها، إما من جهة فضل المصنف، أو من جهة التزام الصحة، أو من جهة شُهرة إحاديثها، أو من جهة القبول لها من عآمة المسلمين، أو من جهة حسن الترتيب واستيعاب المقاصد المهمة و نحوها، و هذه الأمور كلها موجودة فى الموطأ على وجه الكمال، بالنسبة إلى جميع الكتب الموجودة على وجه الارض الآن...
“Saya yakin sekarang tidak ditemukan kitab yang di dalam fiqh yang lebih kuat dari Muwaththa’ Imam Malik. Karena kitab-kitab yang kelebihan terdapat di dalamnya, baik dari segi kelebihan penyusun, dari segi ketegasan keshahihannya, dari segi kemasyhuran hadits-haditsnya, dari segi diterimanya oleh kaum muslimin, dari segi kerapian susunannya, maupun kepekatan tujuan-tujuan yang sangat urgen, dan lain sebagainya. Semua itu terdapat dalam al-Muwaththa’ secara sempurna disbanding dengan seluruh kitab yang ada di permukaan bumi ini.”[15]

Demikianlah berbagai pendapat ulama mengenai kitab al-Muwaththa’ yang disusun oleh Imam Malik bin Anas. Dari berbagai pendapat yang telah dikemukakan oleh ulama di atas sebenarnya tidak bertentangan dengan pendapat jumhur ulama yang mengatakan bahwa kitab yang paling shahih setelah kitab Allah (al-Qur’an) adalah shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim. Sebagaimana yang telah penulis jelaskan sebelumnya dengan beberapa alasan.
Di antara syarah al-Muwaththa’ yang paling penting yaitu:
1)      Al-Istidzkar fi Syarh Madzahibi Ulama’ al-Amshar
2)      At-Tamhid lima fi al-Muwaththa’ min al-Ma’ani wa al-Asanid, keduanya karya Ibnu Abdil Barr, telah dicetak di Maroko sebanyak 24 jilid

B.     AL-SHAHIHAYN (SHAHIH AL-BUKHARY DAN SHAHIH MUSLIM)
1.      Shahih al-Bukhary
a.      Tokoh
Namanya adalah Muhammad, kunyahnya Abu Abdullah, laqabnya Imamul Muhadditsin (Imam para ahli hadits) atau Amirul Mukminin fil Hadits (Amir orang-orang mukmin dalam hadits). Nasabnya yaitu Muhammad bin Isma’il bin Ibrahim bin al-Mughirah bin Bardizbah bin Badzidzbih.[16] Dia dilahirkan pada bulan Syawal 194 H dan wafat pada tahun 256 H.[17]
Dua nama terakhir dari nasab Imam al-Bukhari sebagaimana yang penulis kutip di atas, menerangkan bahwa Imam al-Bukhari bukanlah keturunan orang Arab yang disebut dengan ‘Ajam (‘Ujmah). Menurut para ahli hadits kata Bardizbah itu berarti petani. Ayah Bardizbah adalah Badzidzbih, yang keduanya merupakan orang Persia.[18]
Imam al-Bukhari telah menghafal hadits sebelum genap umurnya sepuluh tahun. Dia belajar lebih dari 1000 syaikh atau guru, menghafal 100.000 hadits shahih dan 200.000 hadits yang tidak shahih.[19]
Imam al-Bukhari meninggalkan sekitar dua puluh karya dalam bidang hadits, ilmu-ilmunya, dan tokoh-tokohnya, serta ilmu-ilmu ke-Islaman lainnya. Yang terpopuler adalah al-Jami’ ash-Shahih, yang lebih dikenal dengan sebutan shahih al-Bukhari.
b.      Gambaran Umum Isi Kitab
Kitab ini dikenal di kalangan ulama dengan nama Shahih al-Bukhari. Imam al-Bukhari mengeluarkan hadits yang terdapat dalam shahihnya dari 600 ribu hadits. Umumnya, hadits-hadits yang ini telah dibukukan dalam kitab-kitab musnad dan mushannaf yang lain sebagaimana yang telah dikodifikasi oleh para ulama pada abad ke 2 H. Imam al-Bukhari mendengarkan dari gurunya berdasarkan musnad dan mushannaf mereka. Oleh karena itu, Imam al-Bukhari mengambil hadits dengan cara as-Sima’. Beliau menyusun kitabnya selama 16 tahun.[20]
Menurut Al-Hafizh Abu al-Fadhl Syihabuddin bin Hajar, semua matan yang muttasil dalam Shahih al-Bukhari tanpa pengulangan berjumlah 2602 hadits. Di antara matan-matan yang mu’allaq lagi marfu’ yang tidak beliau sebutkan dengan sanad bersambung di tempt lain dalam kitab al-Jami’ berjumlah 159 hadits, sehingga semuanya berjumlah 2761 hadits.[21]
c.       Penilaian Ulama
Jumhur ulama mengatakan, kitab al-jami’ al-shahih al-musnad al-mukhtashar min hadits rasulillah shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan kitab yang paling shahih setelah kitab Allah Azza wa Jalla (al-Qur’an).[22]
Bukanlah sesuatu yang berlebihan jika mereka mengatakan bahwa umat Islam tidak pernah mencurahkan perhatian mereka terhadap sebuah kitab, setelah kitab Allah sebagaimana kadar perhatian mereka terhadap shahih al-Bukhari dari sisi periwayatan dan penyimakannya, penghafalan dan penulisannya, penjelasan hadits-hadits dan para perawinya, peringkasan dan pemisahan sanad-sanadnya.[23]
1)      Al-Hafizh ibn Hajar al-Asqalany
ذكر الفربرى أنه سمعه منه تسعون ألفا ... و من رواية الجامع أيضا: أبو طلحة منصور بن محمد بن علي بن قريبة البزدوي، و إبراهيم بن معقل النسفى و حماد بن شاكر الفسوي .... و الرواية التى اتصلت بالسماع فى هذهالأعصار وما قبلها هي رواية: محمد بن يوسف بن مطر بن صالح بن بشر الفربري...
Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata: “Al-Farabri menyatakan bahwa sebanyak sembilan puluh ribu orang telah mendengarkan shahih al-Bukhari dari beliau.” Al-Hafizh juga mengatakan: “Bahwa di antara perawi kitab al-Jami’ (shahih al-Bukhari) adalah: Abu Thalhah Manshur bin Muhammad bin Ali bin Qaribah al-Bazdawi, Ibrahim bin Ma’qil an-Nasafi, dan Hammad bin Syakir al-Fasawi. Sedangkan riwayat yang sampai pada masa-masa ini dan sebelumnya dengan cara pendengaran langsung (as-Sima’) adalah riwayat Muhammad bin Yusuf bin Mathar bin Shalih bin Bisyr al-Farabri.”[24]
2)      Para ulama yang menyusun kitab syarah shahih al-Bukhari
Begitu banyaknya penilaian ulama terhadap kitab shahih al-Bukhari, sehingga jumlahnya dalam bentuk mukhaththah (manuskrip) dan yang telah dicetak mencapai tujuh puluh satu kitab sesuai penghitungan Prof. Abdul Ghani bin Abdul Khaliq. Menurut penghitungannya juga, jumlah ta’liq, ringkasan, dan yang serupa dengannya mencapai empat puluh empat kitab antara yang belum dicetak atau sudah.[25]
Di antara kitab-kitab syarah Shahih al-Bukhari yang paling penting yang telah dicetak adalah:
a)      A’lam as-Sunan, karya Imam al-Khaththabi Abu Sulaiman Hamd bin Muhammad al-Busti yang wafat pada 388 H.
b)      Al-Kaukab ad-Darari fi Syarh Shahih al-Bukhari, karya al-Hafizh Syamsuddin Muhammad bin Yusuf yang dikenal dengan nama al-Karmani yang wafat pada 786 H.
c)      Fath al-Baari, karya al-Hafizh Ibnu Hajar yang wafat pada 852 H. Ia termasuk syarah Shahih al-Bukhari terpenting dan terbaik.
d)     Umdah al-Qari, karya al-Hafizh Badruddin Abu Muhammad Mahmud bin Ahmad al-Hanafi yang terkenal dengan nama al-‘Aini, yang wafat pada 855 H.
e)      Irsyad as-Sari, karya Syihabuddin Ahmad bin Muhammad yang dikenal dengan nama al-Qasthalani, yang wafat pada 923 H.
f)       Faidh al-Bari, karya syaikh Muhammad Anwar al-Kasymiri al-Hanafi, yang wafat pada 1352 H.
g)      Lami’ ad-Darari, karya al-Hajj Rasyid Ahmad al-Kankuhi dan kitab-kitab syarah yang lain.
Penilaian ulama terhadap para perawinya telah dimulai lebih awal. Yaitu ketika al-Hafizh Abu Ahmad Abdullah bin Adi (W. 365 H) menulis sebuah kitab yang diberi nama Man Rawa ‘anhu al-Bukhari, kemudian penulisan karya ilmiah tentang hal itu muncul secara berurutan. Di antara kitab-kitab tersebut adalah:
a)      Al-Hidayah wa al-Irsyad, yang ditulis oleh Abu Nashr Ahmad bin Muhammad al-Kalabadzi (W. 398 H)
b)      At-Ta’dil wa at-Tarjih Liman Akhraja lahu al-Bukhari fi ash-Shahih, karya Abu al-Walid Sulaiman bin Khalaf al-Baji
c)      Al-Jami’u Baina Rijal ash-Shahihain, karya Abu al-Fadhl Muhammad bin Thahir al-Maqdisi (W. 507 H).[26]
2.      Shahih Muslim
a.      Tokoh
Shahih Muslim di susun oleh al-Imam al-Kabir al-Hafizh Abu al-Husain Muslim bin al-Hajjaj bin Muslim bin Wardi bin Kausadz al-Qusyairi an-Naisaburi.[27] Dia dilahirkan di Naisabur pada 204 H dan wafat pada 261 H.[28] Beliau lebih dikenal dengan al-Imam Muslim.
Al-Imam Muslim adalah seorang ahli hadits dari Khurasan, yang berjalan ke berbagai negeri untuk belajara hadits dan ilmu. Selama pengembaran itu beliau banyak menyusun mushannaf. Beliau memiliki banyak guru, di antaranya di Khurasan yaitu Yahya bin Yahya at-Tamimi, Ishaq bin Rahuwiyah dan lainnya. Di Ray yaitu Muhammad bin Mihran al-Jammal, Abu Ghassan Muhamman bin Amr Zunaija, dan lainnya. Di Irak yaitu Ahmad bin Hanbal, Abdullah bin Maslamah al-Qa’nabi, dan lainnya. Di Hijaz yaitu Sa’id bin Manshur, Abu Muash’ab az-Zuhri, dan lainnya. Di Mesir yaitu Amr bin Sawwad, Harmalah bin Yahya, dan lainnya.[29]
Sedangkan yang meriwayatkan darinya (muridnya) banyak sekali, antara lain Imam Tirmidziy, Ibnu Khuzaimah, Yahya ibn Sa’id, dan Abdurrahman ibn Abi Hatim. Imam Muslim berhasil mencapai puncak keilmuan. Beberapa imam lebih mendahulukan beliau daripada guru-guru lain masa itu dalam rangka mengetahui hadits. Imam-imam masa itu juga sangat memuji beliau, demikian pula mayoritas ahli ilmu sesudah beliau.[30]
b.      Gambaran Umum Isi Kitab
Imam Muslim menyusun kitabnya itu dari 300.000 hadits yang didengarnya langsung. Untuk menyeleksinya, beliau menghabiskan waktu sekitar 15 tahun.[31] Kitab itu dikenal di kalangan para ulama dengan nama Shahih Muslim. Ibnu ash-Shalah berkata:
روينا عن مسلم رحمه الله قال: صنفت هذا "المسند الصحيح" من ثلاثمائة ألف حديث مسموعة. و قال ابن الصلاح أيضا: "بلغنا عن مكى بن عبدان قال: سمعت مسلم بن الحجاج يقول: لو أن أهل الحديث يكتبون مائتي سنة الحديث فمدارهم على هذا المسند، يعنى مسنده الصحيح
“Diriwayatkan kepada kami dari Muslim rahimahullah dia berkata: ‘Saya menyusun kitab ini, al-Musnad ash-Shahih dari 300 ribu hadits yang saya dengar.’ Ibnu ash-Shalah juga berkata: Telah sampai kepada kami dari Maki bin Abdan, dia berkata, saya mendengar Muslim bin al-Hajjaj berkata: “Seandainya para ahli hadits menulis hadits selama dua ratus tahun, maka poros mereka adalah pada musnad ini yakni musnad ash-Shahih.”[32]
Menurut Ibnu ash-Shalah, dalam shahih Muslim tidak terdapat hadits mu’allaq kecuali sedikit. Menurut Abu Ali al-Ghassani al-Andalusi menyebutkan bahwa terjadi inqitha’ (terputus) dalam shahih Muslim pada empat belas tempat.[33]
Ibnu ash-Shalah kemudian memperjelas perkataannya, ia menyebutkan tiga tempat yaitu: 1) Dalam kitab tayammum, 2) Kitab buyu’ (jual beli), dan 3) Bab hudud (hukuman yang telah ditentukan kadarnya oleh syari’at). Menurut ar-Rasyid al-Aththar hanyalah tiga belas, salah satunya pengulangan.[34]
Dua hadits yang terakhir (dalam kitab buyu’ dan bab hudud) telah diriwayatkan oleh Muslim sebelum dua jalan periwayatan tersebut dengan sanad muttashil, kemudian dia mengikutkannya dengan dua sanad ini. Maka berdasarkan ini, dalam hadits muslim tidak terdapat hadits mu’allaq setelah mukadimah yang mana dia tidak memaushulkannya kecuali hadits Abu al-Jahm dalam kitab tayammum. Di dalamnya masih tersisa empat belas tempat lagi yang beliau riwayatkan dengan sanad muttashil yang kemudian beliau lanjutkan dengan perkataan “Si fulan meriwayatkannya’.[35]
Al-Hafizh Ibnu Hajar lebih sepakat dengan perkataan ar-Rasyid al-Aththar yang mengatakan terjadi di tiga belas tempat. Dalam mengomentari pendapat al-Hafizh al-Iraqi beliau mengatakan bahwa perkataan Muslim “Si fulan meriwayatkan” tidak terjadi pada semua hadits yang disebutkan, akan tetapi terjadi hanya pada enam hadits di dalam mukadima Shahih Muslim. Kemudian tujuh hadits yang tersisa, di dalam terdapat satu hadits yang diulang. Maka jumlahnya hanya dua belas saja, enam yang ta’liq (terputusnya perawi setelah sahabat) dan enam lagi dengan bentuk ittishal (bersambung), tetapi masing-masing tidak disebutkan dengan jelas tentang nama orang yang meriwayatkannya. Maka ungkapan yang benar adalah dengan mengatakan, ‘di dalamnya masih tersisa enam tempat.’ Dalam riwayat lain dikatakan, bahwa hadits-hadits tersebut zahirnya munqathi’ (terputus sanadnya), padahal bukan munqathi’. Sebagaimana pendapat jumhur ulama hadits tentang sanad hadits yang di dalamnya terdapat seorang yang mubham (tidak disebutkan namanya) bahwa ia adalah muttashil yang di dalamnya terdapat seorang yang mubham.[36]
Imam an-Nawawi menyebutkan dalam tambahannya di dalam kitab at-Taqrib, dia berkata: “Jumlah haditsnya sekitar 4000 dengan membuang hadits yang diulang.”[37] Jumlahnya melebihi jumlah hadits dalam kitab al-Bukhari, karena banyaknya jalur periwayatnya. Abu Fadhl Ahmad bin Salamah meriwayatkan bahwa jumlahnya 12.000 hadits.[38]
c.       Penilaian Ulama
Para ulama tidak memberikan perhatian yang khusus kepada sebuah kitab sesudah kitab Allah sebagaimana perhatian mereka kepada kitab Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim. Sebagaimana penulis telah membahasnya pada pembahasan sebelumnya tentang Shahih al-Bukhari.
Ulama sangat memperhatikan shahih Muslim dalam sisi periwayatan dan penyimakan, hanya saja pada kurun masa terakhir dikenal masyhur riwayat Shahih Muslim yang muttashil melalui riwayat Abu Ishaq bin Muhammad bin Sufyan an-Naisaburi, seorang ahli fikih, mujtahid yang zuhud, perawi Shahih Muslim. Beliau wafat pada 308 H. di antara kitab Syarah Shahih Muslim yang terpenting adalah:
1)      Al-Mufhim fi Syarhi Muslim, karya Abdul Ghafir bin Ismail al-Farisi (W. 529 H)
2)      Al-Mu’lim fi Syarhi Muslim, karya Abu Abdillah Muhammad bin Ali bin Umar al-Maziri al-Maliki (W. 536 H)
3)      Ikmal al-Mu’lim bi Fawa’id Syarhi Shahih Muslim, karya al-Qadhi Abu al-Fadhl ‘Iyadh bin Musa al-Yahshubi (W. 544 H)
4)      Syarh Shahih Muslim, karya Abu Amr bin Utsman bin Ash-Shalah (W. 643 H)
5)      Al-Minhaj fi Syarhi Shahih Muslim bin al-Hajjaj, karya Abu Zakaria Yahya bin Syaraf an-Nawawi (W. 676 H)
6)      Ikmal al-Ikmal, karya Abu ar-Rauh Isa bin Mas’ud az-Zawawi al-Maliki (W. 744 H)
Dan syarah-syarah yang lainnya yang jumlahnya sebanyak 48 kitab syarah dan mukhtasharnya.[39]
3.      Perbandingan keduanya
Tidak diragukan lagi, bahwa masing-masing memiliki ciri khusus. Imam al-Bukhari menyebut setiap bab dalam kitab, mengulangi beberapa hadits karena beberapa kaedah dan memotong sebagian hadits dengan menempatkannya di berbagai tempat untuk menjelaskan suatu hukum atau menambah suatu pengertian ataupun mengukuhkan kemuttashilan sanad, dan lain-lain. Sementara Imam Muslim tidak melakukan hal itu, tetapi menghimpun beberapa jalur di tempat yang sama dengan sanad yang beragam dan redaksi yang berbeda juga, sehingga mudah dipelajari.[40]
Syarat al-Bukhari dan Muslim ialah meriwayatkan hadits yang telah disepakati ketsiqahan periwayatannya hingga sampai kepada seorang sahabat yang masyhur, tanpa ada perselisihan antara para perawi yang tsiqah (terpercaya), dan sanadnya muttashil dan tidak terputus. Hanya saja Imam Muslim meriwayatkan hadits-hadits dari orang yang haditsnya ditinggalkan oleh Imam al-Bukhari karena syubhat (aib) yang terdapat pada dirinya. Muslim meriwayatkan hadits-haditsnya dengan menghilangkan syubhat tersebut, seperti Hammad bin Salamah, Suhail bi Abi Shalih, Dawud bin Abi Hind, Abu az-Zubair al-Makki, al-Ala’ bin Abdurrahman dan lainnya.[41]
 
C.    MUSNAD IMAM AHMAD BIN HANBAL
1.      Tokoh
Pengarang kitab Musnad Imam Ahmad bin Hanbal yaitu Syaikhul Islam, pemimpin umat Islam pada masanya, seorang hafizh, hujjah, imam, dan menjadi panutan umat. Kemuliaan dan martabatnya diakui oleh semua orang, baik yang pro ataupun yang kontra dengannya.
Dia adalah Abu Abdullah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal bin Hilal bin Asad bin Idris bin Abdullah bin Hayyan bin Abdullah bin Anas bin ‘Auf bin Qasith bin Mazin bin Syaiban bin Zuhl bin Tsa’labah bin ‘Ukabah bin Sha’ub bin Ali bin Bakar bin Wa’il adz-Dzuhli asy-Syaibani al-Marwazi al-Baghdadi, [42] Imam Ahmad bin Hanbal lahir pada 164 H dan wafat pada 241 H, salah seorang imam fiqh dan hadits terkemuka.[43]
2.      Sistematika Penyusunan
Imam Ahmad rah, telah menyusunnya berdasarkan sahabat yang lebih awal memeluk Islam dan lebih utama kedudukannya dalam Islam. Dia memulainya dari sepuluh sahabat yang diberi kabar gembira dengan surga, kemudian ahli Badar, disusul ahli Bai’at Ridhwan (Hudaibiyah), dan seterusnya.[44]
Jumlah haditsnya mencapai 30.000 hadits lebih yang beliau saring dari 750.000 buah hadits. Beliau mentakhrij hadits-hadits itu dari sekitar 800 orang sahabat.[45] Abu Musa menyebutkan bahwa jumlah hadits dalam musnad adalah 40.000 kurang 30 atau 40 hadits yang ditakhrij dari 700 orang pria dan 100 lebih perempuan.[46]

3.      Gambaran Umum Isi Kitab
Hadits-hadits dalam musnad itu berkisar antara yang shahih, hasan, dan dha’if. Ada hadits-hadits shahih yang telah ditakhrij oleh para pemilik al-kutub as-sittah. Ada pula yang belum mereka takhrij. Ada yang hasan dan ada pula yang dha’if yang bisa dijadikan hujjah, sampai-sampai Imam as-Suyuti mengatakan: “Semua yang ada di dalam musnad Ahmad adalah maqbul. Karena hadits dha’if yang ada di dalamnya mendekati kualitas hasan.”
Sebagian ulama berbeda pendapat mengenai ada tidaknya hadits maudhu’ di dalam musnad, meski hanya sedikit. Kesimpulannya adalah bahwa yang diperselisihkan itu tidak lebih dari hitungan jari tangan. Ibnu Hajar di dalam kitabnya “Ta’jil al-Manfa’ah bi Rijal al-Arba’” (Yakni al-Muwaththa’, musnad Abu Hanifah, musnad asy-Syafi’i, dan musnad Ahmad) mengatakan: dalam al-Musnad tidak ada hadits yang tidak memiliki asal kecuali tiga atau empat hadits. Beliau beralasan bahwa hadits-hadits itu sebenarnya telah diperintahkan oleh Imam Ahmad untuk dihapus, tetapi yang diperintah lupa menghapusnya. Namun demikian, sebagian hafizh berusaha menafikan adanya hadits maudhu’ di dalamnya.[47] Namun menurut Abu al-Faraj Ibnu al-Jauzi mengatakan موضوع فيه (di dalamnya terdapat hadits maudhu’)
4.      Penilaian Ulama
Al-Hafizh Abu Musa al-Maidani berkata:
لم يُخرج أحمد في مسنده إلا عمن ثبت عنده صدقُه و ديانته دون من طُعن في أمانته
“Imam Ahmad tidak meriwayatkan hadits dalam kitabnya melainkan dari orang yang menurutnya jujur dan hanif agamanya, bukan orang yang tidak amanah.”[48]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata:
شرط المسند أقوى من شرط أبى داود فى سننه و قد روى أبو داود فى سننه عن رجال أعرض عنهم أحمد فى المسند و لهذا كان الإمام أحمد لا يروى في المسند عمن يعرف أنه يكذب مثل محمد بن سعيد المصلوب و نحوه، ولكن قد يروى عمن يضعف لسوء حفظه، فإنه يكتب حديثه ليعتضد به و يعتبر به
“Syarat al-Musnad lebih kuat daripada syarat Abu Dawud dalam sunannya. Abu Dawud meriwayatkan hadits dari para perawi yang ditolak haditsnya oleh Imam Ahmad dalam musnadnya. Oleh karena itu, Imam Ahmad tidak pernah meriwayatkan hadits dalam musnadnya dari orang yang dikenal sebagai pendusta, seperti: Muhammad bin Sa’id al-Mashlub dan semisalnya. Tetapi terkadang ia meriwayatkan hadits dari orang yang lemah karena kualitas hafalannya jelek. Dia menulis haditsnya untuk menguatkan atau menjadikannya sebagai pedoman.”[49]

Bentuk-bentuk perhatian ulama terhadap musnad:
1.      Al-Hafizh Abu Bakar Muhammad bin Abdullah bin al-Muhib as-Shamit menyusunnya menurut urutan huruf mu’jam (hija’yah) nama sahabat dan orang-orang yang meriwayatkan hadits dari mereka, sebagaimana susunan kitab-kitab al-Athraf.
2.      Al-Hafizh Abu al-Fida’ Imaduddin Ismail bin Umar bin Katsir rahimahullah mengambil kitab musnad dengan susunan Ibnu al-Muhib ash-Shamit dan menggabungkannya dengan al-kutub as-sittah, musnad al-Bazzar, musnad Abu Ya’la al-Mushili dan Mu’jam al-Thabrani al-Kabir. Kemudian beliau menyusun semuanya sebagaimana penyusunan Ibnu al-Muhib terhadap al-musnad dan memberinya nama Jami’ al-Masanid wa as-Sunan.
3.      Al-Hafizh Ibnu Hajar juga menyusunnya menurut al-Athraf hadits dalam kitabnya yang diberi nama Athraf al-Musnid al-Mu’tala bi Athrafi al-Musnad al-Hanbali. Kemudian beliau menggabungkannya dengan sepuluh kitab hadits lain dalam kitabnya Ithaf as-Saadah al-Maharah al-Khiyarah bi Athraf al-Kutub al-Asyrah.
4.      Al-Hafizh Syamsuddin al-Husaini membuat tarjamah (biografi) para perawinya dalam kitabnya al-Ikmal biman fi Musnad Ahmad min ar-Rijal minman Laisa fi Tahzib al-Kamal li al-Mizzi. Kemudian beliau meletakkan biografi tersebut dalam kitabnya at-Tazkirah bi Rijal al-Asyrah, yaitu al-Kutub as-Sittah, Muwaththa’ Malik, Musnad Ahmad, Musnad asy-Syafi’i, dan Musnad Abu Hanifah. Dan telah diringkas oleh al-Hafizh dalam kitab Ta’jil al-Manfa’ah hanya pada perawi kitab yang empat.
5.      Syaikh Ahmad bin Abdurrahman as-Sa’ati menyusun kitab musnad menurut urutan bab-bab untuk memudahkan para penuntut ilmu dalam menggunakannya. Beliau memberinya nama dengan al-Fath ar-Rabbani bi Tartib Musnad al-Imam Ahmad bin Hanbal asy-Syaibani, kemudian beliau kembali mensyarahkannya dan mentakhrij hadits-haditsnya dalam kitab yang berjudul “Bulugh al-Amani min Asrar Al-Fath ar-Rabbani. Keduanya telah dicetak.
6.      Musnad ini juga mendapat perhatian dari Syaikh Ahmad bin Muhammad Syakir rahimahullah, beliau mensyarahkan hadits-haditsnya yang gharib dan member hukum shahih atau dha’if berdasarkan kemampuan ijtihadnya.
7.      Perhatian ulama terhadap musnad ini dari sisi kedudukan, urgensi, dan penjelasan derajat hadits-haditsnya, antara lain:
a.       Khasha’is al-Musnad, karya Abu Musa al-Madini
b.      Al-Mish’ad al-Ahmad dan al-Musnad al-Ahmad, karya Syamsuddin al-Jazari
c.       Al-Qaul al-Musadadad fi adz-Dzabb’an Musnad Ahmad, karya al-Hafizh Ibnu Hajar[50]


BAB III
PENUTUP
 Demikianlah sekelumit tentang kitab-kitab hadits yang pokok, yang merupakan rujukan bagi setiap muslim untuk mengambil syari’at Allah setelah al-Qur’an al-Karim. Imam Malik merupakan ahli hadits sekaligus Imam mazhab fikih di antara imam yang empat yang terkenal hingga hari ini. Imam al-Bukhari merupakan Amirul mukminin fi al-hadits yaitu Amir orang-orang beriman dalam hadits. Imam Muslim dikenal dengan Imam besar para Hafizh. Sedangkan Imam Ahmad bin Hanbal merupakan Syaikhul Islam yang dalam ilmunya.
Sepanjang penjabaran makalah ini, penulis menyadari akan kekurangan dan kelemahan. Baik dari aspek kurang padatnya pembahasan dan juga dari aspek kebahasaan. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan kritikan dan masukan dari pembaca yang dapat mendukung untuk menutup kekurangan makalah ini.
Penulis juga menyarankan kepada pembaca dan peserta diskusi untuk kembali membaca dan mengkaji kitab-kitab ulama yang berkaitan dengan pembahasan dalam makalah ini, seperti at-taarikh al-baghdadi, at-taarikh al-‘iraqi, Hadyu as-Sari, dan kitab-kitab lainnya.
Akhirnya penulis hanya bisa berdoa dan berharap kepada sang Pemberi Hidayah yakni Allah Azza wa Jalla, semoga makalah ini bermanfaat, terutama bagi penulis sendiri, dan juga untuk pembaca sekalian.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Abdul Aziz, Syaikh Syarif, 2012, Cobaan Para Ilama, 29 Kisah Ulama Besar dalam Menghadapi Ujian Dakwah, Jakarta: Pustaka al-Kautsar
Abdul Khaliq, Abdul Ghani, t.th, al-Imam al-Bukhari wa Shahihuhu, Jeddah: Dar al-Manarah
Adz-Dzahabi, 1996, Siyar A’lam an-Nubala’, Juz 12, Cet. XI, Beirut: Mu’assasah al-Risalah
___________, 1996, Siyar A’lam an-Nubala’, Juz 11, Cet. XI, Beirut: Mu’assasah al-Risalah
Ahmad bin Ali bin Hajar, Abu al-Fadhl, t.th, an-Nukat ‘ala Ibni ash-Shalah Jilid I, Madinah: Universitas Madinah
Ibnu Abdi al-Barr, t.th, Tajrid at-Tamhid, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah
Ibnu al-Jazari, 1990, al-Mish’ad al-Ahmad fi Khatmi Musnad al-Imam Ahmad, Mesir: Maktabah at-Taubah
Ibnu Taimiyah, Abu al-‘Abbas, 1998, Majmu’ al-Fatawa, Jilid XVIII, Riyadh: Maktabah al-Ubaikan
al-Iraqi, Abu al-Fadhl Abdurrahman bin al-Husain, T.th, at-Taqyid wa al-Idhah, Beirut: Dar al-Hadits
Khuzairi, Thahir al-Azhar, 2008, al-Madkhal ila al-Muwaththa’ Imam Malik ibn Anas, cet. 1, Kuwait: Maktabah al-Syu’un al-Fanniyyah
al-Khatib, Muhammad ‘Ajjaj, 2007, Ushul al-Hadits, Pokok-pokok Ilmu Hadits, diterjemahkan oleh M. Qodirun Nur & Ahmad Musyafiq, Cet. IV, Jakarta: Gaya Media Pratama,
al-Maqdisi, Abu al-Fadhl Muhammad bin Thahir, 1984, Syuruth al-A’immah as-Sittah, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah
al-Mubarakfury, Abdu as-Salam, 1422 H, Sirah al-Imam al-Bukhari (Sayyidul Fuqaha wa Imam al-Muhadditsin), Makkah al-Mukarramah: Dar ‘Alim al-Fawa’id
Munawwir, Ahmad Warson, 1997, Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap, Surabaya: Pustaka Progresif
Muwaffiq bin Abdullah bin Abdul Qadir, 1984, Tahqiq Shiyanah Shahih Muslim min al-Ikhlal wa al-Ghalth wa Hamayatuhu min al-Isqath wa as-Saqth li Abu Amr bin ash-Shalah, Dar al-Gharb al-Islami
Subh as-Shalih, 1988, Ulum al-Hadits wa Musthalatuhu, thab’ah XVII, Beirut: Dar al-Ilmi lil Malayiin
as-Suyuthi, Al-Imam Jalaluddin Abdurrahman, t.th, Tanwir al-Hawalik (Syarh ‘ala Muwaththa’ Malik), Mesir: Dar Ahya’ al-Kutub al-Arabiyah
______________, 1415 H, Tadrib ar-Rawi fi Syarh Taqrib an-Nawawi, Cet. II, Jilid I, Riyadh: Maktabah al-Kautsar
al-Umariy, Akram, t.th, Buhuts fi Tarikh as-Sunnah al-Musyarrafah, Cet. V, (Madinah al- Munawwarah, Maktabah al-Ulum wa al-Hikam
az-Zahrani, Muhammad bin Mathar, 1998, Tadwin as-Sunnah an-Nabawiyah, Nasy’atuhu wa Tathowwuruhu min al-Qarn al-Awwal ila Nihayah al-Qarn al-Tasi’ al-Hijry, Cet. II, Madinah al-Munawwarah: Dar al-Khudhairy


[1] Akram al-Umariy, Buhuts fi Tarikh as-Sunnah al-Musyarrafah, (Madinah al-Munawwarah, Maktabah al-Ulum wa al-Hikam, t.th) Cet. V,  Hal. 309
[2] Syaikh Syarif Abdul Aziz, Cobaan Para Ilama, 29 Kisah Ulama Besar dalam Menghadapi Ujian Dakwah, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2012), hal. 36
[3] Ibid
[4] Ahmad Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap, (Surabaya: Pustaka Progresif, 1997) hal. 1565
[5] Muhammad bin Mathar az-Zahrani, Tadwin as-Sunnah an-Nabawiyah, Nasy’atuhu wa Tathowwuruhu min al-Qarn al-Awwal ila Nihayah al-Qarn al-Tasi’ al-Hijry, (Madinah al-Munawwarah: Dar al-Khudhairy, 1998) Cet. II, hal. 106
[6] Al-Imam Jalal ad-Din Abdurrahman as-Suyuthi, Tanwir al-Hawalik (Syarh ‘ala Muwaththa’ Malik), (Mesir: Dar Ahya’ al-Kutub al-Arabiyah, t.th) hal. 7
[7] Ibnu Abdi al-Barr, Tajrid at-Tamhid, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, t.th), hal. 258
[8] Al-Imam as-Suyuthi, Op. Cit. hal 8
[9] Muhammad bin Mathar az-Zahrani, Op. Cit., hal. 107-108
[10] Thahir al-Azhar Khuzairi, al-Madkhal ila al-Muwaththa’ Imam Malik ibn Anas, cet. 1 (Kuwait: Maktabah al-Syu’un al-Fanniyyah, 1429 H/2008 M), hal. 25-26.
[11] Op. Cit., hal. 5
[12] Op.Cit., hlm. 6.
[13] Ibid
[14] Ibid
[15] Ibid
[16] Abdu as-Salam al-Mubarakfury, Sirah al-Imam al-Bukhari (Sayyidul Fuqaha wa Imam al-Muhadditsin), (Makkah al-Mukarramah: Dar ‘Alim al-Fawa’id, 1422 H), hal. 51
[17] Muhammad az-Zahraniy, Op. Cit., hal. 126 lihat juga biografi lengkap Imam al-Bukhari dalam adz-Dzahabi, Siyar A’lam an-Nubala’, (Beirut: Mu’assasah al-Risalah, 1996) Juz 12, Cet. XI, hal. 391
[18] Abdu as-Salam al-Mubarakfury, Op. Cit., hal. 52-53
[19] Subh as-Shalih, Ulum al-Hadits wa Musthalatuhu, (Beirut: Dar al-Ilmi lil Malayiin, 1988) thab’ah XVII, hal. 396
[20] Akram al-Umary, Op. Cit., hal. 318
[21] Ibid
[22] Akram al-Umariy, Op. Cit., hal. 317
[23] Abdul Ghani Abdul Khaliq, al-Imam al-Bukhari wa Shahihuhu, (Jeddah: Dar al-Manarah, t.th), hal. 227-245
[24] Muhammad bin Mathar al-Zahrani, Op. Cit., hal. 136
[25] Abdul Ghani Abdul Khaliq, Ibid
[26] Muhammad az-Zahrani, Op. Cit., hal. 138-139
[27] Abu Abdullah adz-Dzahabi, Op. Cit., hal. 557-558
[28] Abu al-Fadhl Muhammad bin Thahir al-Maqdisi, Syuruth al-A’immah as-Sittah, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah,1984), hal. 10
[29] Muwaffiq bin Abdullah bin Abdul Qadir, Tahqiq Shiyanah Shahih Muslim min al-Ikhlal wa al-Ghalth wa Hamayatuhu min al-Isqath wa as-Saqth li Abu Amr bin ash-Shalah, (Dar al-Gharb al-Islami, 1984), hal. 56-58
[30] Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib, Ushul al-Hadits, Pokok-pokok Ilmu Hadits, diterjemahkan oleh M. Qodirun Nur & Ahmad Musyafiq, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007) Cet. IV, hal. 283
[31] Ibid
[32] Muwaffiq bin Abdullah bin Abdul Qadir, Op. Cit., hal. 67-68
[33] Op. Cit., hal. 76
[34] Muhammad az-Zahrani, Op. Cit., hal. 138
[35] Abu al-Fadhl Abdurrahman bin al-Husain al-Iraqi, at-Taqyid wa al-Idhah, (Beirut: Dar al-Hadits, t,th), hal. 15
[36] Abu al-Fadhl Ahmad bin Ali bin Hajar, an-Nukat ‘ala Ibni ash-Shalah, (Madinah: Universitas Madinah, t.th), Jilid I, hal. 353
[37] Jalaluddin as-Suyuti, Tadrib ar-Rawi fi Syarh Taqrib an-Nawawi, (Riyadh: Maktabah al-Kautsar, 1415 H) Cet. II, Jilid I, hal. 109
[38] Abu Abdullah adz-Dzahabi, Op. Cit., hal. 566
[39] Muwaffiq bin Abdullah bin Abdul Qadir, Op. Cit., hal. 9-17
[40] Muhammah ‘Ajjaj al-Khatib, Op. Cit., hal. 284-285
[41] Abu al-Fadhl Muhammad bin Thahir al-Maqdisi, Op. Cit., hal. 17-18
[42] Adz-Dzahabi, Siyar A’lam an-Nubala’, (Beirut: Mu’assasah al-Risalah, 1996) Juz 11, Cet. XI, hal. 177-178
[43] Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib, Op. Cit., hal. 291
[44] Muhammad az-Zahrani, Op. Cit., hal. 120
[45] Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib, Ibid
[46] Ibnu al-Jazari, al-Mish’ad al-Ahmad fi Khatmi Musnad al-Imam Ahmad, (Mesir: Maktabah at-Taubah, 1990), hal. 13-14
[47] Op. Cit., hal. 297
[48] ibid
[49] Abu al-‘Abbas Ibnu Taimiyah, Majmu’ al-Fatawa, (Riyadh: Maktabah al-Ubaikan, 1998), Jilid XVIII, hal. 26
[50] Muhammad bin Mathar az-Zahrani, Op. Cit., hal. 121-123
Share on Google Plus

About Unknown

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.
    Blogger Comment

0 komentar:

Post a Comment