SIRAH NABAWIYAH: TAHUN KE 6 HIJRIYAH

SIRAH NABAWIYAH
SIRAH NABI MUHAMMAD SAW. TAHUN KE 6 HIJRIYAH

A.    PERTEMPURAN BANI LIHYAN
Bani Lihyan adalah orang-orang yang telah berbuat licik terhadap sepuluh orang sahabat Rasulullah saw. pada tragedi ar-Raji’ dan menyebabkan kematian mereka. Akan tetapi karena daerah mereka masuk dalam wilayah Hijaz dan berbatasan langsung dengan Mekkah, sedangkan pertentangan yang begitu sengit sedang berlangsung antara orang-orang Islam dan kaum  Quraisy serta suku-suku Arab badui, maka Nabi tidak melihat perlu memasuki wilayah-wilayah tersebut, dekat dengan posisi musuh terbesar. Dan ketika pasukan gabungan mulai tidak peduli lagi, semangat mereka sudah mengendur dan karena kondisi saat itu mereka lebih bersikap tenang untuk beberapa waktu. Akhirnya Nabi memandang sudah saatnya untuk menuntaskan dendam terhadap bani Lihyan atas terbunuhnya sahabat beliau pada tragedi ar-Raji’.[1]
Setelah kembali dari bani Quraizhah Rasulullah menetap di Madinah selama bulan Dzul-hijjah, Muharram, Shafar, Rabi’ul Awwal, dan Rabi’ul Akhir. Pada bulan Jumadil Ula tepatnya enam bulan pasca penaklukan Bani Quraizhah, beliau keluar dari Madinah menuju Bani Lihyan guna mencari sahabat-sahabat yang beliau kirim ke Ar-Raji’ yaitu Khubaib bin Adi dan lain-lain. Rasulullah memperlihatkan diri seolah-olah hendak pergi ke Syam agar bisa mencari kelengahan Bani Lihyan. Rasulullah mengangkat Ibnu Ummi Maktum sebagai penguasa sementara atas Madinah.[2]
Ibnu Ishaq mengatakan: Rasulullah keluar dari Madinah berjalan melintasi Ghurab, gunung di tepian Madinah ke arah Syam. Melintasi Makhidh lalu ke Al-Batra’ belok kiri dan keluar di Biin. Lalu melintasi Shukhairatul Yamam, berjalan lurus menuju Al-Mahajjah dari jalan Makkah, meningkatkan tempo perjalanan hingga turun di Ghuran yang merupakan tempat tinggal Bani Lihyan. Ghuran adalah lembah antara Amaj dengan Usfan. menuju daerah yang bernama Sayah. Rasulullah saw. mendapati orang-orang Bani Lihyan siap siaga dan berlindung di puncak gunung. Ketika Rasulullah turun di Sayah dan beliau merasa gagal menipu mereka, beliau bersabda: ‘Seandainya kita turun ke Usfan, orang-orang Makkah pasti melihat kita hendak mendatangi mereka’. Setelah itu, Rasulullah meneruskan perjalanan bersama dua ratus penunggang unta dari para sahabat hingga turun di Usfan, mengutus dua penunggang kuda dari para sahabat hingga keduanya tiba di Kurral Ghamim dan Kura’. Rasulullah sendiri memilih pulang ke Madinah.[3]

B.     PERTEMPURAN DZI QARAD
1.      Latar belakang terjadinya pertempuran Dzi Qarad
Rasulullah saw. pulang ke Madinah dan hanya menetap beberapa malam. Karena tidak lama setelah itu, Uyainah bin Hudzaifah bin Badr Al-Fazari bersama pasukan berkuda dari Ghathafan menyerang unta-unta hamil milik baliau di Al-Ghabah. Di Al-Ghabah terdapat seseorang dari Bani Ghifar (Ibn Abi Dzar) dan istrinya. Uyainah bin Hishn membunuh orang tersebut dan membawa istrinya dengan meletakkannya di unta hamil tersebut.[4]
Ibnu Ishak berkata: ‘Ashim bin Umar bin Qatadah dan Abdullah bin Abu Bakar meriwayatkan kepadaku, dari Abdullah bin Ka’ab bin Malik menceritakan tentang pertempuran Dzi Qarad dalam sebagian hadis:
Artinya:   “Orang yang pertama kali mengetahui kedatangan Uyainah bin Hishn bin Hudzaifah bin Badr Al-Fazari beserta pasukannya dan bersiap-siap untuk menghadapinya adalah Salamah bin Amr bin Al-Akwa’ As-Sulami. Ia pergi ke Al-Ghabah pada waktu pagi dengan membawa busur panah ditemani budak milik Thalhah bin Ubaidillah yang menuntun kuda. Ketika Salamah bin Amr berada di atas Tsaniyyatul Wada’, ia melihat sebagian kuda-kuda Uyainah bin Hishn. Ia mendaki Sala’ dan berteriak, ‘Duhai pagi ini’. Kemudian Salamah bin Amr menelusuri jejak Uyainah bin Hishn. Salamah bin Amr persis seperti binatang buas. Ia terus berjalan hingga berhasil mengejar mereka, kemudian menyerang mereka dengan anak panah. Setiap kali ia memanah, ia berkata, Ambillah anak panah ini, akulah si Ibnu Al-Akwa’ Hari ini hari kematian orang yang hina.” (Diriwayatkan oleh al-Baihaqi dalam ad-Dalail, al-Bukhari, Muslim, dan Ahmad dalam al-Musnad)

Jika pasukan berkuda Uyainah bin Hishn berlari ke arahnya, ia melarikan diri dan menjauhi mereka. Jika ia mendapat kesempatan untuk memanah, ia memanah mereka sambil berkata, Ambillah anak panah ini, akulah Ibnu Al-Akwa’. Hari ini hari kematian orang yang hina. Itulah yang terjadi hingga salah seorang dari anak buah Uyainah bin Hishn berkata, ‘Aduh sungguh buruk siang hari kita sejak awal’.[5]
2.      Rasulullah memanggil para penunggang kuda
Ketika Rasulullah saw. mendapat informasi tentang teriakan Salamah bin Amr (Ibnu al-Akwa’), beliau berseru di Madinah,
اَلْفَزْعَ اَلْفَزْعَ، فَتَرَامَتَ الْـجُيُوْلُ إِلَى رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ
Artinya:   ‘Tolong... Tolong’. Para sahabat penunggang kuda memacu kudanya menuju Rasulullah saw.

Penunggang kuda yang pertama kali tiba di tempat beliau adalah Al-Miqdad bin Amr. Dialah Al-Miqdad bin Al-Aswad sekutu Bani Zuhrah. Orang kedua yang tiba di tempat beliau dari kaum Anshar setelah Al-Miqdad bin Amr ialah Abbad bin Bisyr bin Waqasy bin Zughbah bin Zaura’ salah seorang warga Bani Abdul Asyhal.
Ketika para sahabat penunggang kuda berkumpul di tempat Rasulullah saw., beliau menunjuk Sa’ad bin Zaid sebagai pemimpin pasukan. Ketika kuda-kuda kaum muslimin berdatangan, Abu Qatadah alias Al-Harits bin Rib’i saudara Bani Salamah membunuh Habib bin Uyainah bin Hishn dan menutupinya dengan kain burdah. Setelah itu, Abu Qatadah pergi mengejar musuh dan pada saat yang sama Rasulullah saw. tiba bersama kaum muslimin.
Ukkasyah bin Mihshan mampu mengejar Aubar dan anaknya, Amr bin Aubar, yang keduanya menaiki satu unta, kemudian Ukkasyah bin Mihshan menusuk keduanya dengan tombak hingga tewas. Kaum muslimin berhasil membebaskan beberapa unta hamil.
Rasulullah terus berjalan hingga menuruni gunung dari Dzu Qarad. Di sanalah, kedua belah pihak bertemu. Rasulullah berhenti di tempat tersebut dan menetap sehari semalam di sana. Setelah itu, Rasulullah pulang ke Madinah’.
3.      Nazar perempuan Ghifar
Salah seorang wanita dari Bani Ghifar datang kepada Rasulullah saw. dengan menaiki unta. Tiba di tempat beliau, ia bercerita kepada beliau kemudian berkata, ‘Wahai Rasulullah, aku telah bernadzar kepada Allah untuk menyembelih untaku ini jika Allah menyelamatkanku di atasnya’. Rasulullah tersenyum, kemudian bersabda,
بئس ما جزيتِها أن حملَكِ اللهُ عليها و نجَّاكِ بـها، ثم تنحريْنها إنه لا نذرَ فى معصيةِ اللهِ و لا فيما و لا تملكين، إنما هي ناقة من إبلِي فارجعي إلى أهلكِ على بركة اللهِ
“Sungguh jelek balas budimu kepadanya. Allah membuatmu bisa menaiki unta tersebut dan menyelamatkanmu di atasnya kemudian engkau menyembelihnya? Tidak ada nadzar dalam maksiat kepada Allah dan apa yang tidak engkau miliki. Sesungguhnya unta ini untaku, oleh karena itu, pulanglah kepada keluargamu dengan keberkahan Allah.”

C.    PERTEMPURAN BANI AL-MUSTHALIQ
1.      Latar belakang terjadinya pertempuran Bani al-Musthaliq
Rasulullah saw. menetap di Madinah di sebagian bulan Jumadil Akhir dan Rajab. Setelah itu, beliau menyerbu Bani Al-Mushthaliq di bulan Sya’ban tahun enam Hijriyah.[6] Beliau mengangkat Abu Dzar al-Ghifariy sebagai penguasa sementara di Madinah.
Rasulullah mendapat informasi bahwa Bani Al-Mushthaliq bersatu untuk menghadapi beliau dan panglima perang mereka adalah Al-Harits bin Abu Dhirar ayah Juwairiyah binti Al-Harits istri Rasulullah saw. Beliau mendengar rencana mereka, beliau berangkat ke tempat mereka hingga bertemu mereka di mata air yang bernama Al-Muraisi. Di sana, kedua belah pihak saling serang dan bertempur hingga akhirnya Allah mengalahkan Bani Al-Mushthaliq. Beberapa orang dari mereka tewas, dan Rasulullah saw. menguasai anak-anak, istri-istri, dan kekayaan mereka. Allah memberikan mereka kepada Rasulullah sebagai harta fa’iy. Pada perang tersebut, salah seorang dari kaum muslimin yaitu dari Bani Kalb bin Auf bin Amir bin Laits bin Bakr yang bernama Hisyam bin Shubabah terbunuh. Ia terbunuh tidak sengaja oleh seorang dari kaum Anshar yaitu kabilah Ubadah bin Ash-Shamit karena disangka musuh. [7]
2.      Fitnah yang terjadi antara Muhajirin dan Anshar yang diprovokasi oleh Abdullah bin Ubay bin Salul
Manakala Rasulullah masih berada di sekitar mata air tersebut, ada seseorang yang mendekat untuk mengambil air. Dan bersama Umar bin Khatthab pelayannya dari Bani Ghifar yang bernama Jahjah bin Mas’ud menuntun kudanya, lalu tiba-tiba Jahjah dan Sinan bin Wabar Al-Juhani saling berebut ke mata air dan bertikai. Al-Juhani berkata: Wahai Anshar! Sementara Jahjah berseru: Wahai Muhajirin!
Karena kejadian di atas, Abdullah bin Ubay bin Salul yang ketika itu bersama beberapa orang dari kaumnya di antaranya Zaid bin Arqam naik pitam kemudian berkata, sungguh mereka telah melakukannya. Mereka mengalahkan dan mengungguli kita di Madinah. Demi Allah, aku tidak mengibaratkan kita dengan orang-orang gembel Quraisy tersebut melainkan seperti dikatakan orang-orang tua dulu, “Gemukkan anjingmu, niscaya ia memakanmu.” Demi Allah, jika kita tiba di Madinah, orang-orang mulia di dalamnya pasti mengusir orang-orang hina. Abdullah bin Ubay bin Salul menghadap kepada beberapa orang dari kaumnya yang ada di tempat tersebut, kemudian berkata kepada mereka: “Inilah yang kalian perbuat terhadap diri kalian. Kalian tempatkan mereka di negeri kalian dan membagi harta kalian dengan mereka. Demi Allah, jika kalian tidak memberikan kekayaan kalian kepada mereka, mereka pasti pindah ke selain negeri kalian.
Zaid bin Arqam mendengar dengan jelas ucapan Abdullah bin Ubay bin Salul di atas, kemudian ia pergi ke tempat Rasulullah saw. Itu terjadi setelah Rasulullah berhasil mengatasi musuhnya. Zaid bin Arqam melaporkan ucapan Abdullah bin Ubay bin Salul di atas kepada Rasulullah saw. yang ketika itu ditemani Umar bin al-Khaththab.
Ketika Abdullah bin Ubay bin Salul mendengar Zaid bin Arqam melaporkan ucapan yang didengarnya kepada Rasulullah, ia pergi meng-hadap beliau kemudian bersumpah dengan nama Allah dan berkata, “Aku tidak mengatakan ucapan yang dilaporkan Zaid bin Arqam” Abdullah bin Ubay bin Salul adalah tokoh penting di kaumnya. Salah seorang dari kaum Anshar berkata kepada Rasulullah, “Wahai Rasulullah, bisa jadi anak muda usia tersebut (Zaid bin Arqam) bicara salah dan tidak hapal apa yang dikatakan Abdullah bin Ubay bin Salul.” Sahabat tersebut berkata seperti itu untuk melindungi Abdullah bin Ubay bin Salul.[8]
3.      Pertemuan Usyaid bin Hudhair dengan Rasulullah
Dalam perjalanan pulang ke Madinah, Rasulullah bertemu Usaid bin Hudhair. Ia mengucapkan salam kepada beliau, dan berkata kepada beliau, “Wahai Nabi Allah, demi Allah, sungguh engkau pulang di waktu yang tidak mengenakkan. Engkau tidak pernah pulang pada waktu seperti sekarang sebelum ini. Rasulullah saw. bersabda kepada Usaid bin Hudhair:
أَوَمَا بَلَغَكَ مَا قال صاحِبُكُم؟" قال: وَأَيُّ صاحِبٍ يَا رسولَ الله؟ قال: "عبدُ الله بن أُبُيٍّ" قال: وما قال؟ قال: "زَعَمَ أَنَّهُ إن رَجَعَ إلى المَدِينَةِ أخرجَ الأغرُّ مِنهَا الأذلَّ" قال: فأنتَ يا رسولَ الله، و اللهِ تُخرِجُهُ منها إن شِئتَ، هو و اللهِ الذليل و أنت العزيز، ثم قال: يا رسولَ الله، ارفُقْ بهِ، فَوَ اللهِ لقد جاءَنَا اللهُ بكَ، وَ إنَّ قَومَهُ لينظِمُونَ له الخرزَ ليُتَوِّجُوهُ، فَإنَّهُ ليرَى أَنَّكَ قدِ اسْتلبْتَهُ مُلكًا
Artinya:  “Apakah engkau telah mendengar apa yang dikatakan sahabat kalian? Usaid bin Hudhair berkata, Sahabat kami yang mana, wahai Rasulullah? Rasulullah bersabda, “Abdullah bin Ubai bin Salul.” Usaid bin Hudhair berkata, Apa yang ia katakan? Rasulullah bersabda, “Ia menyangka bahwa jika ia tiba di Madinah, orang mulia di dalamnya akan mengusir orang hina.” Usaid bin Hudhair berkata, “Wahai Rasulullah, engkaulah yang akan mengusirnya dari Madinah jika engkau mau. Demi Allah, ia hina sedang engkau mulia. Usaid bin Hudhair berkata lagi, “Wahai Rasulullah, bersikaplah lembut kepadanya. Demi Allah, pada saat engkau datang kepada kami, ketika itu kaumnya meminta pertimbangan kepadanya sebagaimana seorang raja dan sekarang ia menganggapmu telah merampas kerajaannya.”

Rasulullah berjalan bersama kaum muslimin pada siang hari itu hingga sore, malam harinya hingga pagi hari berikutnya hingga sinar matahari menyengat mereka. Setelah itu, beliau bersama mereka berhenti. Tidak lama berselang, mereka mengantuk dan tertidur. Rasulullah berhenti agar kaum muslimin melupakan pembicaraan tentang Abdullah bin Ubay bin Salul di hari kemarin.
Rasulullah meneruskan perjalanan bersama kaum muslimin melewati Hijaz hingga turun di atas mata air di Hijaz yang bernama Baq’a. Ketika beliau sedang berjalan, tiba-tiba angin kencang bertiup mengenai kaum muslimin hingga mereka sakit dan ketakutan. Rasulullah saw. Bersabda:
لاَ تَخَافوها، فَإِنَّمَا هَبَّتْ لِمَوْتِ عَظِيْمٍ من عُظَمَاءِ الكُفَّارِ
“Janganlah kalian takut kepada angin kencang ini. Angin kencang ini bertiup karena kematian salah seorang tokoh orang-orang kafir.”

Ketika kaum muslimin tiba di Madinah, mereka mendapati Rifa’ah bin Zaid bin At-Tabut salah seorang warga Bani Qainuqa’ yang tidak lain adalah tokoh orang-orang Yahudi dan pelindung orang-orang munafik meninggal pada hari bertiupnya angin kencang tersebut. [9]
4.      Abdullah bin Abdullah bin Ubay meminta izin kepada Rasulullah untuk membunuh ayahnya Abdullah bin Ubay bin Salul
Kemudian turunlah surat Al-Qur’an di mana di dalamnya Allah menyebutkan tentang orang-orang munafik yaitu Abdullah bin Ubai bin Salul dan konco-konconya. Ketika surat tersebut turun, Rasulullah saw. memegang telinga Zaid bin Arqam kemudian bersabda:
هذَا الَّذِي أَوفَى اللهُ بأُذُنِهِ
”Orang inilah yang mengerti janji Allah dengan telinganya.”
Abdullah bin Abdullah bin Ubai bin Salul mendengar permasalahan yang terjadi pada ayahnya. Kemudian ia berkata kepada beliau, “Wahai Rasulullah, aku dengar engkau hendak membunuh Abdullah bin Ubay bin Salul karena mendengar ucapannya. Jika engkau memang ingin membunuhnya, perintahkan aku saja yang membunuhnya, niscaya aku bawa kepalanya kepadamu. Rasullah saw. Bersabda:
بَلْ نَتَرَفَّقُ بِهِ وَ نُحْسِنُ صُحْبَتَهُ مَا بَقِيَ مَعَنَا
“Kita akan bersikap lembut dan bersahabat baik dengannya selagi ia bersama kita.”

Setelah itu, jika Abdullah bin Ubay bin Salul mengerjakan kesalahan, Rasulullah memerintahkan kaumnya sendiri yang mengecam, menindak, dan memarahinya.[10]
5.      Miqyas bin Shubabah
Miqyas bin Shubabah datang dari Makkah ke Madinah dengan menampilkan diri telah masuk Islam. Ia berkata, “Wahai Rasulullah, aku datang kepadamu dalam keadaan muslim dan bermaksud meminta diyat saudaraku. Ia dibunuh karena salah sasaran. Rasulullah memerintahkan sahabat membayar diyat kepadanya. Miqyas bin Shubabah tinggal di Madinah beberapa lama, kemudian membunuh pembunuh saudaranya. Kemudian pergi ke Makkah dalam keadaan murtad.[11]
6.      Korban Bani al-Mushthaliq
Korban dari Bani Al-Mushthaliq banyak sekali. Ali bin Abi Thalib r.a. membunuh dua orang, yaitu Malik dan putranya. Abdurrahman bin Auf r.a. membunuh salah seorang penunggang kuda mereka yang bernama Ahmar atau Uhaimar.
Pada perang tersebut, Rasulullah saw. mendapatkan tawanan yang banyak sekali kemudian semua tawanan dibagi secara merata di antara kaum muslimin. Di antara tawanan wanita ketika itu adalah Juwairiyah binti Al-Harits bin Abu Dhirar yang akhirnya diperistri Rasulullah.
Aisyah berkata, Informasi pun menyebar ke tengah-tengah manusia bahwa Rasulullah saw. menikahi Juwairiyah binti Al-Harits. Mereka berkata, “Ia menjadi keluarga Rasulullah.” Mereka kirim apa yang mereka miliki kepada beliau. Karena pernikahan tersebut, seratus keluarga dari Bani Al-Mushthaliq dibebaskan. Aku tidak tahu ada wanita yang lebih terhormat dan lebih berkah di kalangan kaumnya daripada Juwairiyah binti Al-Harits.[12]

D.    KABAR AL-IFKI (BERITA BOHONG TENTANG ‘AISYAH R.A)
Ketika pulang dari peperangan, mereka singgah di suatu tempat, Aisyah keluar dari sekedupnya untuk menunaikan hajat, terjatuhlah kalung yang dipinjamkan oleh saudarinya Asma’ kepadanya. Karena itu dia kembali ke tempat itu lagi untuk mencari kalung yang hilang tersebut. Setelah menemukan kembali kalung yang hilang itu, namun sudah tidak ada lagi orang yang memanggil atau menjawab seruannya. Akhirnya dia duduk di tempat singgahnya dan mengira bahwa para pengangkut sekedupnya itu pasti merasa kehilangan dan mencarinya.
1.      Aisyah r.a. menunggangi unta Shafwan bin al-Muththal as-Sulami
Aisyah berkata: “Demi Allah, ketika aku tidur tiba-tiba Shafwan bin Al-Muaththal As-Sulami berjalan melewatiku. Ia sengaja berjalan di belakang kaum muslimin karena suatu keperluan. Ia melihat bayangan hitam diriku dan datang ke tempatku hingga berdiri di depanku. Ia pernah melihatku ketika hijab belum diwajibkan kepada kami. Ketika ia melihatku, ia berkata, “Inna lillahi wa inna ilaihi raaji’uun. Istri Rasulullah saw.?” Ketika itu, aku tutup diriku dengan jilbab. Shafwan bin Al-Muaththal As-Sulami berkata lagi, ”Kenapa engkau tertinggal?” Aku tidak menjawab pertanyaannya. Ia dekatkan untanya kepadaku sambil berkata, “Naiklah ke atasnya.” Ia menjauh dariku dan aku pun menaiki untanya. Setelah aku berada di atas unta, ia memegang kepala unta kemudian berjalan cepat untuk menyusul kaum muslimin. Demi Allah, kami tidak berjumpa dengan siapa-siapa dan kaum muslimin tidak merasa kehilangan diriku hingga esok hari, bahkan hingga mereka tiba di Madinah. Ketika mereka istirahat di Madinah, tiba-tiba Shafwan bin Al-Muaththal As-Sulami muncul dengan menuntun unta sedang aku berada di atasnya. Saat itulah, para penyebar berita bohong mengucapkan perkataan mereka. Orang-orang pun gempar. Demi Allah, aku sedikit juga tidak mengetahui apa yang terjadi di tengah mereka.[13]
2.      Aisyah r.a. jatuh sakit ketika sampai di Madinah
Aisyah melanjutkan: “Kami tiba di Madinah dan sesudahnya aku sakit. Selama aku sakit, aku tidak pernah mendapatkan informasi yang beredar di luar. Informasi tentang diriku juga terdengar oleh Rasulullah saw., dan kedua orang tuaku, namun mereka tidak menceritakan sedikit pun kepadaku. Anehnya, aku tidak lagi mendapatkan sebagian keramahan beliau, karena jika aku sakit beliau menyayangiku dan ramah kepadaku. Tapi itu semua tidak beliau berikan kepadaku dalam sakitku kali ini. Ya, aku tidak mendapatkan itu semua dari beliau. Ketika itu, jika beliau masuk ke tempatku dan di tempatku terdapat ibuku (Zainab binti Abdi Dahman, demikian menurut Ibnu Hisyam), beliau berkata, “Bagaimana keadaanmu?” Tidak lebih dari itu.[14]
3.      Para Provokator penyebar fitnah
Orang yang amat gencar menyebarkan berita bohong ini adalah Abdullah bin Ubay bin Salul. Ia menyebarkannya di kalangan orang-orang Al-Khazraj bersama Misthah dan Hamnah binti Jahsy. Hamnah binti Jahsy ikut menyebarkan berita bohong ini karena saudara perempuannya, yaitu Zainab binti Jahsy adalah istri Rasulullah saw. dan tidak ada satu pun dari istri-istri beliau yang menyaingi kedudukanku di sisi beliau melainkan dia. Adapun Zainab binti Jahsy sendiri, Allah swt. melindunginya dan tidak mengatakan kecuali yang baik-baik. Sedang Hamnah binti Jahsy, ia ikut menyebarluaskan berita bohong ini dan melawanku karena membela saudara perempuannya. Akibatnya, ia merugi.
4.      Rasulullah menemui Ali bin Abi Thalib r.a dan Usamah bin Zaid r.a.
Rasulullah saw. turun dari mimbar kemudian masuk ke rumah. Beliau memanggil Ali bin Abi Thalib r.a. dan Usamah bin Zaid r.a., kemudian bermusyawarah dengan keduanya. Adapun Usamah bin Zaid, ia menyanjung Aisyah r.a. dan berkata baik tentang dirinya. Usamah bin Zaid berkata, “Wahai Rasulullah, ia istrimu dan kami tidak mengetahui padanya kecuali yang baik-baik dan engkau juga tidak mengetahui padanya kecuali yang baik-baik saja. Ini kebohongan dan kebatilan.” Sedang Ali bin Abi Thalib, ia berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya wanita masih banyak dan engkau mampu mencari wanita pengganti. Tanyakan kepada budak wanita, niscaya ia akan membenarkanmu’.
5.      Rasulullah meminta pendapat Barirah
Rasulullah saw. memanggil Barirah untuk bertanya kepadanya. Ali bin Abi Thalib pergi kepada Barirah dan memukulnya dengan pukulan keras sambil berkata, “Berkatalah jujur kepada Rasulullah.” Barirah berkata, “Demi Allah, aku tidak mengetahui pada Aisyah kecuali yang baik-baik saja. Aku tidak pernah mencela sesuatu pada Aisyah melainkan karena aku pernah membuat adonan roti kemudian aku menyuruhnya menjaganya, namun ia tidur hingga akhirnya kambing datang dan memakan adonan roti tersebut.”
6.      Rasulullah menemui Aisyah dan keputusan Allah terhadapnya
Rasulullah saw. masuk ke tempat Aisyah. Ketika itu Aisyah ditemani kedua orang tuanya dan salah seorang wanita dari kaum Anshar. Aisyah menangis dan wanita dari Anshar tersebut juga ikut menangis. Rasulullah saw. duduk memuji Allah, menyanjung-Nya, kemudian bersabda,
Artinya:   “Hai Aisyah, engkau telah mendengar omongan orang tentang dirimu. Oleh karena itu, bertakwalah kepada Allah. Jika engkau telah mengerjakan kesalahan, bertaubatlah kepada Allah, karena Allah menerima taubat hamba-hambaNya.”

Rasulullah saw. belum beranjak dari tempat duduknya, tiba-tiba beliau pingsan. Lalu beliau diselimuti dengan pakaiannya dan bantal dari kulit diletakkan di bawah kepalanya. Kemudian Rasulullah duduk kembali dan keringat mengucur dari badan beliau seperti biji intan berlian di musim hujan. Beliau mengusap keringat dari keningnya, kemudian bersabda:
أَبْشِرِي يَا عائِشَةُ، فَقَدْ أَنْزَلَ اللهُ بَرَاءَتَكِ
“Bergembiralah engkau hai Aisyah, karena Allah telah menurunkan ayat tentang kesucian dirimu.”

Aisyah berkata, “alhamdulillah” sedang beliau keluar menemui manusia, berkhutbah kepada mereka, dan membacakan kepada mereka ayat Al-Qur’an tentang kasus yang diturunkan Allah kepada beliau. Setelah itu, beliau memerintahkan untuk memanggil Misthah bin Utsatsah, Hasan bin Tsabit, dan Hamnah binti Jahsy yang semuanya ikut menyebarluaskan berita bohong tentang Aisyah, kemudian mereka dikenakan hukuman had.
Abu Ishaq bin Yasar berkata dari beberapa orang dari Bani An-Najjar yang berkata bahwa Abu Ayyub bin Khalid bin Zaid ditanya istrinya, Ummu Ayyub: “Hai Abu Ayyub, apakah engkau tidak mendengar apa yang dikatakan manusia tentang Aisyah?” Abu Ayyub bin Khalid bin Zaid menjawab, “Ya, aku mendengarnya dan itu tidak benar. Apakah engkau juga ikut menyebarkannya, hai Ummu Ayyub?” Ummu Ayyub menjawab, “Tidak, demi Allah, aku tidak akan pernah melakukan hal itu.” Abu Ayyub bin Khalid bin Zaid berkata, “Demi Allah, Aisyah jauh lebih baik daripadamu.” Ummu Ayyub berkata, “Ketika Al-Qur’an turun, ia menyebutkan orang-orang berdosa yang mengatakan perkataan orang-orang yang menyebarluaskan berita bohong.” Allah swt. Berfirman:
“Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong itu adalah dari golongan kalian juga. Janganlah kalian kira bahwa berita bohong itu buruk bagi kalian bahkan ia baik bagi kalian. Tiap-tiap seseorang dari mereka mendapat balasan dari dosa yang dikerjakannya. Dan siapa di antara mereka yang mengambil bagian yang terbesar dalam pentiaran berita bohong itu baginya adzab yang besar’. (An-Nuur: 11)

Pelaku yang menyebarluaskan berita bohong tersebut adalah Hassan bin Tsabit dan sahabat-sahabatnya. Kemudian Allah swt. berfirman,

“Mengapa di waktu kalian mendengar berita bohong itu orang-orang mukminin dan mukminat tidak bersangka baik terhadap diri mereka sendiri dan (mengapa tidak) berkata, ‘Ini adalah suatu berita bohong yang nyata.” (An-Nuur: 12)

Maksudnya, kenapa mereka tidak berkata seperti perkataan Abu Ayyub dan istrinya? Kemudian Allah swt. berfirman:

“(Ingatlah) di waktu kalian menerima berita bohong itu dari mulut ke mulut dan kalian katakan dengan mulut kalian apa yang tidak kalian ketahui sedikit juga, dan kalian menganggapnya suatu yang ringan saja, padahal dia pada sisi Allah adalah besar.” (An-Nuur: 15)

Ketika ayat di atas turun untuk Aisyah dan orang-orang yang telah mengatakan sesuatu tentang Aisyah, Abu Bakar yang sebelumnya menafkahi Misthah karena masih kerabat dan ia miskin, berkata: “Demi Allah, aku tidak akan memberi sesuatu apa pun kepada Misthah dan tidak memberinya manfaat apa pun selama-lamanya setelah ia berkata sesuatu tentang Aisyah dan memasukkan sesuatu kepada kita.” Kemudian Allah swt. menurunkan ayat tentang ucapan Abu Bakar tersebut:

Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kalian bersumpah bahwa mereka (tidak) akan memberi (bantuan) kepada kaum kerabat, orang-orang yang miskin dan orang-orang yang berhijrah pada jalan Allah, dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kalian tidak ingin Allah mengampuni kalian?. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (An-Nuur: 22)

Abu Bakar berkata, “Ya, aku ingin Allah mengampuniku.” Usai berkata seperti itu, ia kembali menafkahi Misthah seperti sebelumnya ia berkata, “Demi Allah, aku tidak akan menghentikan nafkah kepadanya selama-lamanya.”
Sungguh Hassan telah merasakan hukuman cambuk karena ia layak mendapatkannya. Juga Hamnah dan Mitshah. Ketika mereka berkata kotor terhadap istri Nabi. Mereka berkata atas dasar sangkaan belaka terhadap istri nabi. Mereka mendapatkan murka Pemilik Arasy yang mulia. Kemudian mereka sedih karena mereka menyakiti Rasulullah. Kemudian mereka diliputi dengan kehinaan abadi seperti sorban di kepala mereka. Hasil panen disiramkan kepada mereka seperti hujan deras dari awan yang menghujani.[15]

E.     PERJANJIAN HUDAIBIYAH
Kemudian Rasulullah menetap di Madinah selama bulan Ramadhan dan Syawal. Pada bulan Dzulqa’dah, beliau keluar dari Madinah untuk berumrah dan tidak menginginkan perang.
1.      Seruan Rasulullah kepada manusia untuk melakukan Umrah
Rasulullah mengajak orang-orang Arab dan orang-orang Badui yang ada di sekitar beliau untuk pergi bersama beliau, karena khawatir orang-orang Quraisy memerangi atau melarang beliau mengunjungi Baitullah. Banyak sekali orang-orang Badui yang menolak ajakan beliau. Kendati begitu, beliau tetap berangkat bersama para sahabat dari kaum Muhajirin, para sahabat dari kaum Anshar, dan orang-orang Arab lainnya. Beliau membawa hewan sembelihan (onta) dan berpakaian ihram untuk umrah agar manusia merasa aman dan mengetahui beliau keluar untuk mengunjungi Baitullah dan mengagungkannya.
2.      Rasulullah mengambil jalan lain dari jalan yang biasa dilalui orang-orang Quraisy
Rasulullah berjalan dan ketika tiba di ‘Usfan (sebuah tempat lebih kurang dua marhalah sebelum masuk kota Makkah), beliau bertemu Bisyr bin Sufyan al-Ka’bi. Bisyr bin Sufyan berkata kepada Rasulullah saw., “Wahai Rasulullah, orang-orang Quraisy mendengar keberangkatanmu, untuk itu mereka keluar dengan membawa unta-unta betina yang baru melahirkan anaknya yang teteknya penuh dengan susu lalu berhenti di Dzu Thuwa (Nama sebuah tempat dekat Makkah). Mereka bersumpah kepada Allah bahwa engkau tidak boleh masuk ke tempat mereka untuk selama-lamanya. Inilah Khalid bin Walid dengan pasukan berkudanya, mereka mengutusnya ke Kuraul Ghamim. Rasulullah saw. Bersabda:
“Celakalah orang-orang Quraisy, sungguh mereka telah dikuasai nafsu berperang. Apa salahnya kalau mereka tidak menghalang-halangiku berhubungan dengan orang-orang Arab. Jika orang-orang Arab tersebut mengalahkanku, itulah yang mereka harapkan. Jika Allah memenangkanku atas mereka, maka mereka masuk Islam. Jika mereka tidak masuk Islam, mereka berperang, toh mereka mempunyai kekuatan. Demi Allah, orang-orang Quraisy jangan salah sangka, sesungguhnya aku tidak pernah berhenti memperjuangkan apa yang aku bawa dari Allah hingga Dia memenangkannya atau aku mati karenanya’. Beliau bersabda lagi, ‘Siapa yang bisa berjalan dengan kita di jalan lain yang tidak mereka lalui?”

Seseorang dari Bani Aslam berkata, “Aku, wahai Rasulullah.” Orang tersebut berjalan bersama kaum muslimin melewati jalan yang penuh dengan pohon hingga sulit dilalui di antara jalan-jalan menuju gunung. Ketika mereka keluar dari jalan tersebut dalam keadaan lelah dan tiba di tanah datar di ujung lembah, Rasulullah bersabda: “Katakanlah, Kami meminta ampunan kepada Allah dan bertaubat kepadaNya.” Mereka mengucapkan perkataan tersebut. Rasulullah bersabda lagi, “Demi Allah, itulah perkatan yang dulu ditawarkan kepada Bani Israel, namun mereka tidak mau mengucapkannya.”
Maka Rasulullah memberi instruksi kepada kaum muslimin dengan bersabda, “Hendaklah kalian mengambil jalan arah kanan melewati Al-Hamdhu, jalan yang tembus ke Tsaniyyatul Mirar, tempat pemberhentian di al-Hudaibiyah, dari arah bawah Makkah.”
Rombongan pun berjalan melewati jalan tersebut. Ketika pasukan berkuda Quraisy melihat kepulan debu dari jalan yang berlainan dengan jalan mereka yang mereka lalui, mereka pulang kepada orang-orang Quraisy.

3.      Utusan Quraisy kepada Rasulullah
Ketika Rasulullah tengah beristirahat, beliau didatangi Budail bin Warqa’ Al-Khuzai bersama beberapa orang dari Khuza’ah. Mereka berbicara dan menanyakan alasan kedatangan beliau ke Makkah. Beliau menjelaskan kepada mereka bahwa beliau datang tidak untuk perang, namun untuk mengunjungi Baitullah dan mengagungkannya.
Mikraz bin Hafsh bin Al-Akhyaf saudara Bani Amir bin Luai diuitus kepada Rasulullah. Ketika beliau melihat kedatangannya, beliau bersabda, “Orang ini pengkhianat.” Ketika Makraz bin Hafsh tiba di tempat beliau dan berbicara dengan beliau, maka beliau bersabda kepadanya seperti yang beliau sabdakan kepada Budail bin Warqa’ dan teman-temannya.
Orang-orang Quraisy mengutus Al-Hulais bin Alqamah atau bin Zabban kepada Rasulullah. Ketika itu, Al-Hulais bin Alqamah adalah pemimpin orang-orang Ahabisy dan warga Bani Al-Harits bin Abdu Manat bin Kinanah. Ketika Rasulullah melihat kedatangannya, beliau bersabda, “Orang ini berasal dari kaum yang beribadah. Oleh karena itu, tempatkan hewan sembelihan (onta) di depannya agar ia bisa melihatnya.” Ketika al-Hulais bin ‘Alqamah melihat hewan sembelihan (onta) berdatangan kepadanya dari samping lembah dengan memakai kalung sebagai tanda akan disembelih dan bulu-bulunya telah rusak karena terlalu lama berada di tempat ia akan disembelih, ia segera pulang kepada orang-orang Quraisy dan tidak jadi bertemu dengan Rasulullah karena hormat kepada beliau. Ia ceritakan apa yang dilihatnya kepada orang-orang Quraisy, kemudian orang-orang Quraisy berkata kepadanya, “Duduklah engkau, karena engkau orang Arab dusun yang bodoh.”
Kemudian orang-orang Quraisy mengutus Urwah bin Mas’ud Ats-Tsaqafi untuk pergi kepada Rasulullah. Urwah bin Mas’ud Ats-Tsaqafi berangkat ke tempat Rasulullah. Ketika ia tiba di tempat beliau, ia duduk di depan beliau, kemudian berkata, “Hai Muhammad, engkau kumpulkan orang banyak kemudian membawa mereka kepada keluargamu untuk membunuh mereka?”
Kemudian Rasulullah menjelaskan kepada Urwah bin Mas’ud Ats-Tsaqafi seperti yang telah beliau jelaskan kepada teman-teman Urwah bin Mas’ud Ats-Tsaqafi sebelum ini bahwa beliau datang tidak untuk perang.
4.      Utusan Rasulullah kepada orang-orang Quraisy
Rasulullah memanggil Khirasy bin Umaiyyah Al-Khuzai dan mengutusnya untuk menemui orang-orang Quraisy. Beliau menyerahkan unta beliau yang bernama Ats-Tsa’lab kepada Khirasy bin Umaiyyah dan menyuruhnya menyampaikan pesan beliau kepada tokoh-tokoh Quraisy. Ketika Khirasy bin Umaiyyah tiba di tempat orang-orang Quraisy, mereka menyembelih unta beliau yang dikendarai Khirasy bin Umaiyyah dan juga bermaksud membunuh Khirasy bin Umaiyyah namun dicegah orang-orang Ahabisy. Mereka melepas Khirasy bin Umaiyyah hingga ia tiba kembali di tempat Rasulullah saw.
Utsman bin Affan berangkat ke Makkah dan bertemu Aban bin Sa’id bin Al-Ash ketika memasuki Makkah atau hendak memasukinya. Aban bin Sa’id Al-Ash membawa Utsman bin Affan di depannya dan melindunginya hingga ia menyampaikan surat Rasulullah. Setelah itu, Utsman bin Affan menemui Abu Sufyan bin Harb dan tokoh-tokoh Quraisy, untuk menyampaikan surat Rasulullah saw. kepada mereka. Mereka berkata kepada Utsman bin Affan setelah ia selesai menyampaikan pesan Rasulullah kepada mereka, ‘Jika engkau hendak melakukan thawaf di Baitullah, silakan’. Utsman bin Affan menjawab, ‘Aku tidak akan thawaf hingga Rasulullah yang memulai thawaf.
Utsman bin Affan ditahan orang-orang Quraisy di tempat mereka, namun informasi yang sampai kepada Rasulullah saw. dan kaum muslimin ialah Utsman bin Affan dibunuh.
5.      Bai'at Ar-Ridwan
Ibnu Ishaq berkata, Abdullah bin Abu Bakar berkata kepadaku, “Ketika Rasulullah saw. mendapat informasi bahwa Utsman bin Affan r.a. dibunuh, beliau bersabda: “Kita tidak pulang hingga mengalahkan kaum tersebut.” Beliau mengajak kaum muslimin berbaiat, kemudian berlangsunglah Baiat Ar-Ridhwan di bawah pohon. Kaum muslimin berkata, “Rasulullah membaiat kaum muslimin untuk mati.” Jabir bin Abdullah berkata, “Rasulullah membaiat kita tidak untuk mati, namun untuk tidak melarikan diri.”
Di antara kaum muslimin yang hadir di peristiwa Baiat Ar-Ridhwan namun tidak ikut barbaiat ialah Al-Jadd bin Qais saudara Bani Salamah. Jabir bin Abdullah berkata, “Demi Allah, sepertinya aku lihat Al-Jadd bin Qais merapat ke perut untanya dan bersembunyi di baliknya dari penglihatan manusia. Setelah itu, ia datang kepada Rasulullah dan menjelaskan kepada beliau bahwa informasi terbunuhnya Utsman bin Affan hanyalah berita bohong semata.”
6.      Perihal al-Hudnah (Perdamaian Hudaibiyah)
Kemudian orang-orang Quraisy mengutus Suhail bin Amr saudara Bani Amir bin Luai kepada Rasulullah saw. Mereka berkata kepada Suhail bin Amr, Temuilah Muhammad, berdamailah dengannya, dan isi perda-maian ialah: Ia harus pergi dari tempat kita tahun ini. Demi Allah, orang-orang Arab tidak boleh memperbincangkan kita bahwa ia datang kepada kami dengan kekerasan.” Suhail bin Amr datang menemui Rasulullah saw. Ketika beliau melihat kedatangan Suhail bin Amr, beliau bersabda,
Orang-orang Quraisy menginginkan perdamaian ketika mereka mengutus orang ini’. Ketika Suhail bin Amr tiba di tempat Rasulullah saw., ia berbicara panjang lebar dengan beliau, tawar menawar pun terjadi dan akhirnya perdamaian pun disepakati.”
Rasulullah memanggil Ali bin Abi Thalib dan bersabda kepadanya, Tulislah ‘Bismillahir Rahmaanir Rahiim.” Suhail bin Amr berkata, “Aku tidak kenal kata-kata itu, namun tulislah bismikallahumma (dengan nama-Mu, ya Allah).” Rasulullah bersabda kepada Ali bin Abi Thalib, “Tulislah bismikallahumma.” Ali bin Abi Thalib menulisnya. Rasulullah bersabda kepada Ali bin Abi Thalib, “Tulislah ini perdamaian antara Rasulullah dengan Suhail bin Amr.” Suhail bin Amr berkata, “Kalau aku melihatmu sebagai Rasulullah, aku tidak memerangimu, namun tulislah namamu dan nama ayahmu.” Rasulullah bersabda kepada Ali bin Abi Thalib, Tulislah ini perdamaian antara Muhammad bin Abdullah dengan Suhail bin Amr.” Keduanya berdamai untuk menghentikan perang selama sepuluh tahun, masing-masing pihak memberikan keamanan selama jangka waktu tertentu, masing-masing pihak menahan diri dari pihak lainnya, barangsiapa di antara orang-orang Quiraisy datang kepada Muhammad tanpa izin pemiliknya maka ia dikembalikan kepadanya, barangsiapa di antara pengikut Muhammad pergi kepada orang-orang Quraisy maka ia tidak dikembalikan kepadanya, kita harus komitmen dengan isi perdamaian, pencurian rahasia, dan pengkhianatan tidak diperbolehkan. Barangsiapa ingin masuk ke dalam perjanjian Muhammad maka ia masuk ke dalamnya, dan barangsiapa ingin masuk ke dalam perjanjian orang-orang Quraisy maka ia masuk ke dalamnya. Orang-orang Khuza’ah berdiri dan berkata, “Kami masuk ke dalam perjanjian Muhammad.” Orang-orang Bani Bakr juga berdiri dan berkata, “Kami masuk ke dalam perjanjian orang-orang Quraisy.” Isi perdamaian lebih lanjut, Engkau (Muhammad) pulang dari tempat kami tahun ini dan tidak boleh masuk ke Makkah pada tahun ini. Tahun depan, kami keluar Makkah, kemudian engkau memasuki Makkah dengan sahabat-sahabatmu, engkau berada di sana selama tiga hari dengan membawa senjata layaknya musafir yaitu pedang di sarungnya dan tidak membawa senjata lainnya.
Ketika Rasulullah saw. menulis teks perdamaian dengan Suhail bin Amr, tiba-tiba Abu Jandal bin Suhail bin Amr datang kepada beliau dengan melompat dan memegang pedang. Sebenarnya ketika para sahabat keluar dari Madinah dengan tujuan Makkah, mereka tidak meragukan terjadinya penaklukkan Makkah, karena mimpi Rasulullah saw. Jadi, wajar ketika mereka menyaksikan perdamaian, sikap mengalah, dan apa yang dirasakan Rasulullah saw. Maka mereka sangat terpukul hingga keragu-raguan nyaris masuk ke hati mereka. Ketika Suhail bin Amr melihat Abu Jandal, ia berdiri, memukulnya, dan mencengkeram leher bajunya, kemudian berkata, “Hai Muhammad, permasalahan di antara kita telah selesai sebelum orang ini (Abu Jandal) datang kepadamu.” Rasulullah saw. bersabda, “Engkau berkata benar.”
Suhail bin Amr mencengkeram leher baju Abu Jandal dan menyeretnya untuk dibawa kepada orang-orang Quraisy. Abu Jandal berteriak dengan suara terkerasnya, “Hai seluruh kaum muslimin, apakah aku dibiarkan dibawa kepada kaum musyrikin kemudian mereka menyiksaku karena agamaku?” Kaum muslimin semakin sedih dengan kejadian yang dialami Abu Jandal.
Rasulullah bersabda, Hai Abu Jandal, bersabarlah dan berharaplah akan pahala di sisi Allah, karena sesungguhnya Allah akan memberikan jalan keluar bagimu dan bagi orang-orang lemah sepertimu. Sungguh, kita telah meneken perjanjian dengan kaum tersebut. Kita berikan perjanjian kepada mereka sedang mereka memberikan janji Allah kepada kita, dan kita tidak mengkhianati mereka.”
Setelah teks perdamaian ditulis, perdamaian tersebut disaksikan sejumlah orang dari kaum muslimin dan kaum musyrikin. Para saksi tersebut adalah Abu Bakar, Umar bin Khaththab, Abdurrahman bin Auf, Abdullah bin Suhail bin Amr, Sa’ad bin Abu Waqqash, Mahmud bin Maslamah, Mikraz bin Hafsh yang masih musyrik ketika itu, dan Ali bin Abi Thalib yang menulis teks perdamaian tersebut.”
Setelah menyelesaikan perdamaian, Rasulullah saw. berjalan ke arah hewan sembelihannya kemudian menyembelihnya, duduk, dan mencukur rambutnya. Ketika kaum muslimin melihat beliau menyembelih hewan sembelihan dan mencukur rambut, mereka pun menyembelih hewan sembelihan (unta) dan mencukur rambut mereka.
Kemudian, Rasulullah saw. pulang dari tempat tersebut. Ketika beliau berada di antara Makkah dan Madinah, turunlah surat Al-Fath kepada beliau. Allah SWT., berfirman:

Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu kemenangan yang nyata. Supaya Allah memberi ampunan kepadamu terhadap dosamu yang telah lalu dan yang akan datang serta menyempurna-kan nikmatNya kepadamu dan memimpin kamu ke jalan yang lurus.” (Al-Fath: 1-2)

Setelah itu, Allah SWT., berfirman,

“Sesungguhnya Allah akan membuktikan kepada RasulNya tentang kebenaran mimpinya dengan sebenarnya (yaitu) bahwa sesungguh-nya kalian pasti akan memasuki Masjidil Haram, insya Allah dalam keadaan aman, dengan mencukur rambut kepala dan menggunting-nya, sedang kalian tidak merasa takut. Maka Allah mengetahui apa yang tidak kalian ketahui.” (Al-Fath: 27)

Yakni kebenaran mimpi Rasulullah saw. bahwa beliau akan masuk ke dalam kota Makkah dalam keadaan aman tanpa diliputi rasa takut, dengan mencukur rambut kepala mereka atau mengguntingnya tanpa diliputi rasa takut. Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang tidak mereka ketahui.
Kemenangan yang dekat yang dimaksud pada ayat di atas adalah Perdamaian Al-Hudaibiyah. Az-Zuhri berkata lagi, “Sebelum penaklukan Makkah, tidak ada penaklukan yang lebih agung daripada Perdamaian Al-Hudaibiyah. Perdamaian Al-Hudaibiyah dinamakan perang karena kedua belah pihak bertemu di sana. Ketika gencatan senjata terjadi, perang dihentikan, masing-masing pihak memberikan jaminan keamanan kepada pihak lain, dan mereka bertemu, mereka mengadakan pembicaraan, perdebatan, dan tidak ada seorang pun yang membicarakan Islam melainkan ia masuk ke dalamnya. Dalam jangka waktu dua tahun tersebut, telah masuk Islam orang-orang yang jumlahnya sama dengan jumlah orang-orang yang masuk Islam sebelumnya atau bahkan lebih banyak.
PENUTUP
Tahun keenam Hijriyah merupakan tahun terjadinya peristiwa yang terkenal yang menfitnah keluarga Rasulullah saw. Yaitu yang disebut Khabar al-Ifki. Peristiwa-peristiwa besar yang terjadi pada masa ini yaitu Perang Bani Lihyan, Perang Dzi Qard, Perang Bani al-Musthaliq, dan Perjanjian Hudaibiyah.
DAFTAR KEPUSTAKAAN

Al-Mubarakfuriy, Shofiyurrahman, Perjalanan Hidup Rasul yang Agung Muhammad saw. dari Kelahiran Hingga Detik-detik Terakhir, (Jakarta: Darul Haq, 2012) Cet. XIV
Hasan, Hasan Ibrahim, Sejarah dan Kebudayaan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2009) Cet. III
Ibnu Hisyam, Tahqiq As-Sirah an-Nabawiyah li Ibni Hisyam, Ditahqiq oleh: Umar Abd as-Salam Tadmuriy,, (Beirut: Dar al-Kitab al-Araby, 1990) Juz III
Ibnu Ishaq, As-Sirah an-Nabawiyah, Muhaqqiq: Ahmad Farid al-Mazidiy, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2004) Juz II
Ibnu Katsir, Abu al-Fida’ Ismail, As-Sirah an-Nabawiyah, Ditahqiq oleh: Musthafa Abdul Wahid, (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1976), Juz III





[1] Shofiyurrahman al-Mubarakfuriy, Perjalanan Hidup Rasul yang Agung Muhammad saw. dari Kelahiran Hingga Detik-detik Terakhir, (Jakarta: Darul Haq, 2012) Cet. XIV, hal. 474
[2] Ibnu Hisyam, Tahqiq As-Sirah an-Nabawiyah li Ibni Hisyam, Ditahqiq oleh: Umar Abd as-Salam Tadmuriy,, (Beirut: Dar al-Kitab al-Araby, 1990) Juz III, hal. 225
[3] Ibnu Ishaq, As-Sirah an-Nabawiyah, Muhaqqiq: Ahmad Farid al-Mazidiy, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2004) Juz II, hal. 435
[4] Ibnu Hisyam, as-Sirah an-Nabawiyah li Ibn Hisyam, (Beirut: Dar Ibn Hazm, 2009) Cet. II, hal. 486. Lihat juga al-Baihaqi dalam Dalail an-Nubuwah (4/186,187)
 [5] Abu al-Fida’ Ismail Ibn Katsir, As-Sirah an-Nabawiyah, Ditahqiq oleh: Musthafa Abdul Wahid, (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1976), Juz III, hal. 286
[6] Ibn Ishaq, Op. Cit. Hal. 439
[7] Ibnu Hisyam, Op. Cit. Hal. 490
[8] Ibnu Ishaq, Op. Cit. Hal. 440. Lihat juga al-Baihaqiy dalam ad-Dalail (4/46,52,53)
[9] Ibnu Ishaq, Op.Cit. hal. 441
[10] Ibnu Hisyam. Op. Cit. Hal. 491
[11] Ibid
[12] Ibid
[13] Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah dan Kebudayaan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2009) Cet. III, hal. 238
[14] Ibnu Ishaq, Ibid
[15] Ibnu Hisyam. Op. Cit. hal. 493-498
Share on Google Plus

About Unknown

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.
    Blogger Comment

0 komentar:

Post a Comment