SIRAH NABAWIYAH
AWAL KENABIAN SAMPAI MENJELANG HIJRAH KE MADINAH
A.
KENABIAN DAN KERASULAN MUHAMMAD SAW.
Tatkala usia beliau sudah mendekati 40 tahun dan
perenungannya terdahulu telah memperluas jurang pemikiran antara diri beluai
dan kaumnya, beliau mulai suka mengasingkan diri. Karenanya, beliau membawa
roti yang terbuat dari gandum dan bekal air menuju gua Hira' yang terletak di Jabal
Nur, yaitu sejauh hampir 2 mil dari Mekkah. Gua ini merupakan gua yang sejuk,
panjangnya 4 hasta, lebarnya 1,75 hasta dengan ukuran dzira' al-Hadid
(hasta ukuran besi). Beliau tinggal di dalam gua tersebut bulan Ramadhan,
memberi makan orang-orang miskin yang mengunjunginya, menghabiskan waktunya
dalam beribadah dan berfikir mengenai pemandangan alam di sekitarnya dan
kekuasaan yang menciptakan sedemikian sempurna di balik itu. Beliau tidak bisa
tenang melihat kondisi kaumnya yang masih terbelenggu oleh keyakinan syirik
yang usang dan gambaran tentangnya yang demikian rapuh, akan tetapi beliau
tidak memiliki jalan yang terang, manhaj yang jelas ataupun jalan yang harus
dituju, yang berkenan dengan hatinya dan disetujuinya.[1]
Pilihan mengasingkan diri ('uzlah) yang
diambil oleh beliau Shallallahu 'alaihi wasallam ini merupakan bagian
dari tadbir (skenario) Allah terhadapnya. Juga, agar terputusnya kontak
dengan kesibukan-kesibukan duniawi, goncangan kehidupan dan ambisi-ambisi kecil
manusia yang mengusik kehidupan menjadi sebagai suatu perubahan, untuk kemudian
mempersiapkan diri menghadapi urusan besar yang sudah menantinya sehingga siap
mengemban amanah yang agung, merubah wajah bumi dan meluruskan garis sejarah. 'Uzlah
yang sudah diatur oleh Allah ini terjadi tiga tahun sebelum beliau diangkat
menjadi rasul. Beliau mengambil jalan 'uzlah ini selama sebulan dengan
semangat hidup yang penuh kebebasan dan merenungi keghaiban yang tersembunyi
dibalik kehidupan tersebut hingga tiba waktunya untuk berinteraksi dengan
kehidupannya saat Allah memperkenankannya.[2]
Tatkala usia beliau mencapai genap empat puluh
tahun, tanda-tanda nubuwwah (kenabian) sudah tampak dan mengemuka,
diantaranya; adanya sebuah batu di Mekkah yang mengucapkan salam kepada beliau.
Sebagaimana diriwayatkan oleh Muslim dari Abu Bakar bin Abi Syaibah dari Yahya bin Bakir
dari Ibrahim bin Tuhman dari Samak bin Harb dari Jabir bin Samrah berkata,
Rasulullah saw. bersabda:
إِنِّى لَأَعْرَفُ حَجَرًا بِمَكَّةَ كَانَ يُسَلِّمُ عَلَيَّ قَبْلَ أَنْ أَبْعَثَ
إِنِّى لَأَعْرَفُ الآنَ
“Sesungguhnya aku mengetahui sebuah batu
di Mekkah memberi salam kepadaku sebelum aku diutus, sesungguhnya sekarang aku
benar-benar mengetahuinya.”
Beliau juga tidak bermimpi kecuali sangat jelas sejelas fajar subuh yang
menyingsing. Sebagaimana diriwayatkan oleh al-Bukhari dari Yahya bin Bakir dari al-Laits dari ‘Aqil dari
Ibn Syihab dari ‘Urwah bin az-Zubair dari ‘Aisyah Ummul Mukminin berkata:
أول ما بدئ به رسول الله صلى الله عليه و سلم من الوحي
الرؤيا الصالحة فى النوم فكان لا يرى رؤيا إلا جاءت مثل فلق الصبح، ثم حبب إليه
الخلاء و كان يخلو بغار حراء فيتحنث فيه وهو التعبد الليالى ذوات العدد قبل أن
ينزع إلى أهله و يتزود لذلك، ثم يرجع إلى خديجة فيتزود لمثلها حتى جاءه الحق و هو
فى غار حراء
“Pertama diturunkan wahyu kepada
Rasulullah saw. adalah melalui mimpi yang benar, beliau melihat dalam mimpi
tersebut dengan sangat jelas seperti fajar subuh. Kemudian beliau suka
menyendiri di Gua Hira’ untuk bertahannuts atau beribadah beberapa malam,
setelah itu beliau kembali kepada keluarga mengambil bekal untuk kembali
beribadah. Kemudian beliau kembali kepada Khadijah untuk mengambil bekal
seperti biasa sehingga datang kepada beliau kebenaran (wahyu) sedangkan beliau
berada di Gua Hira’.”[3]
Ketika pengasingan diri (uzlah) di gua
Hira’ memasuki tahun ketiga tepatnya di bulan Ramadhan Allah mengangkatnya
sebagai nabi dengan mengutus Jibril kepadanya yang membawa beberapa ayat
al-Qur’an, yaitu surat al-‘Alaq ayat 1-5.
“Bacalah dengan (menyebut) nama
Tuhanmu yang Menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah.
Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah, yang mengajar (manusia) dengan
perantaran kalam. Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.”
Itulah wahyu pertama. Malam terjadinya peristiwa
itu kemudian dikenal sebagai “Malam penuh keagungan” (Lailah al-Qadr),
dan menurut riwayat terjadi menjelang akhir bulan Ramadhan (610). Peristiwa ini
terjadi pada hari Senin, tanggal 21 malam bulan Ramadhan dan bertepatan dengan
tanggal 10 Agustus tahun 610 M.
Imam Ibnu al-Qoyyim menjelaskan bahwa permulaan
wahyu yang diturunkan Allah swt. kepada Muhammad Ibn Abdillah tersebut adalah
perintah supaya dia membaca dengan nama Tuhannya yang telah menjadikan segala
sesuatunya. Ini adalah awal kenabiannya belum menjadi awal kerasulannya. Dia
baru diperintahkan untuk membaca saja, belum lagi diperintahkan untuk
menyampaikan kepada orang lain.[4]
Setelah beberapa lama wahyu terhenti (vakum), ada
yang mengatakan tiga tahu ada pula yang mengatakan kurang dari itu. Pendapat
yang lebih kuat adalah apa yang diriwayatkan oleh al-Baihaqi bahwa masa
terhentinya wahyu tersebut selama enam bulan.[5]
Kemudian, Allah memuliakan beliau dengan mengangkat menjadi rasul dengan
diturunkannya al-Qur’an surat al-Muddatstsir ayat 1-5:
“Hai orang yang berkemul
(berselimut), bangunlah, lalu berilah peringatan! dan Tuhanmu agungkanlah! dan
pakaianmu bersihkanlah, dan perbuatan dosa tinggalkanlah”
B. PERJUANGAN DAKWAH
1. 1. Dakwah Secara Rahasia
(Sirriyah)
Permulaan dakwah Rasulullah disampaikan kepada
kerabat dekat dan para tokoh masyarakat Quraisy seperti Abu Bakar as-Siddiq
sebagai sahabat beliau yang paling tulus. Orang yang pertama kali masuk Islam
adalah Khadijah, Zaid bin Haritsah, Ali bin Abi Thalib, Abu Bakar as-Siddiq,
Utsman bin ‘Affan, az-Zubair bin al-‘Awwam, Sa’ad bin Abi Waqqas, Abdurrahman
bin Auf, dan Thalhah bin ‘Ubaidillah. Kemudian diikuti oleh para tokoh Quraisy
seperti ‘Ubaidah bin al-Jarrah, al-Arqam bin Abu al-Arqam,[6]
dan lain-lain. Perjuangan dakwah ini
dilakukan secara rahasia (Sirriyah) yang berpusat di rumah al-Arqam bin
Abu al-Arqam. Dakwah yang bersifat individu ini berjalan selama lebih kurang
tiga tahun, kemudian turunlah perintah kepada Nabi saw., untuk menyampaikan
dakwah kepada kaumnya secara terang-terangan, dan menentang kebatilan mereka
serta menyerang berhala-berhala mereka.
2. 2. Perintah shalat
Termasuk wahyu yang pertama diturunkan adalah
perintah mendirikan shalat. Al-Harits bin Usamah meriwayatkan dari jalur Ibnu
Lahi’ah secara maushul dari Zaid bin Haritsah bahwa pada awal datangnya
wahyu, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam didatangi oleh malaikat
Jibril, lantas mengajarkan beliau tata cara berwudhu. Maka tatkala selesai
melakukannya, beliau mengambil seciduk air, lalu memercikkannya ke kemaluan
beliau.[7]
Namun perintah shalat di sini bukanlah perintah shalat lima waktu, namun ada
pendapat yang mengatakan bahwa yang telah diwajibkan itu adalah shalat sebelum
terbit dan terbenamnya matahari.
3. 3. Dakwah secara
terang-terangan
Periode Mekkah, kebijakan dakwah yang dilakukan
Nabi Muhammad adalah dengan menonjolkan kepemimpinannya, bukan kenabiannya.
Implikasinya, dakwah dengan strategi politik yang memunculkan aspek-aspek
keteladanannya dalam menyelesaikan berbagai persoalan sosial (egalitarisme)
lebih tepat dibandingkan dengan aspek kenabiannya dengan melaksanakan tabligh.[8]
Tatkala turun perintah dakwah dari Allah subhanahu
wa ta’ala secara terang-terangan dan melawan kemusyrikan, sebagaimana yang
terdapat dalam al-Qur’an surat al-Hijr ayat 94-95:
فَاصْدَعْ بِمَا تُؤْمَرُ وَأَعْرِضْ عَنِ الْمُشْرِكِيْنَ.
إِنَّا كَفَيْنَكَ الْمُسْتَهْزِءِيْنَ (الحجر: 94-95)
“Maka sampaikanlah
olehmu secara terang-terangan segala apa yang diperintahkan (kepadamu) dan
berpalinglah dari orang-orang musyrik. Sesungguhnya Kami memelihara kamu
daripada (kejahatan) orang-orang yang memperolok-olok (kamu).” (Q.S. al-Hijr: 94-95)
dan tatkala turun ayat:
وَ أَنْذِرْ عَشِيْرَتَكَ الأَقْرَبِيْنَ (الشعراء: 214)
“Dan berilah
peringatan kepada keluargamu yang terdekat.” (Q.S. asy-Syu’ara’: 214)
Rasulullah naik ke atas bukit Shafa, lalu menyeru
kepada kabilah-kabilah Quraisy. Kemudian tak berapa lama mereka pun berkumpul.
Lalu Beliau berkata, “Bagaimana menurut pendapat kalian kalau aku beritahukan
bahwa ada segerombolan pasukan kuda di lembah sana yang ingin menyerang kalian,
apakah kalian akan mempercayaiku?” Mereka menjawab, “Ya, kamu tidak pernah tahu
dari dirimu selain kejujuran.” Beliau berkata, “Sesungguhnya aku adalah pemberi
peringatan kepada kalian akan azab yang amat pedih.” Abu Lahab menanggapi, “Celakalah
engkau sepanjang hari! Apakah hanya untuk ini engkau kumpulkan kami?”
Maka ketika itu turun ayat: تَبَّتْ يَدَآ أَبِي لَهَبٍ وَ تَبَّ “Celakalah kedua
tangan Abu Lahab” (Q.S. Al-Lahab: 1). Yakni benar-benar merugi lagi gagal, amal
perbuatan dan usahanya pun tersesat.[9]
Rasulullah melakukan dakwah Islam secara
terang-terangan di tempat-tempat berkumpul dan bertemunya kaum musyrikin.
Beliau membacakan Kitabullah dan menyampaikan ajakan yang selalu disampaikan
oleh para rasul terdahulu kepada kaum mereka, “Wahai kaumku! Sembalah Allah.
Kalian tidak memiliki Tuhan selain-Nya”. Dan beliau juga memamerkan praktik
ibadahnya kepada Allah, melakukannya di halaman Ka’bah pada siang hari dan disaksikan oleh khalayak ramai. Dakwah
yang beliau lakukan tersebut mendapat sambutan baik dari mereka sehingga banyak
di antara mereka yang masuk ke dalam agama Islam.
Manakala musim haji telah datang yang dilakukan
Rasulullah adalah membututi jama’ah-jama’ah yang datang hingga sampai ke
tempat-tempat mereka, di pasar ‘Ukazh, Majinnah, dan Dzul Majaz.
Beliau mengajak mereka untuk menyembah Allah, sedangkan Abu Lahab selalu
membututi dan memotong setiap ajakan beliau dengan berbalik mengatakan kepada
mereka “Jangan kalian patuhi dia karena dia adalah seorang pembawa agama baru
lagi pendusta”. Dan kenyataannya, justru dari musim itulah perihal Rasulullah
menjadi pusat perhatian delegasi Arab dan namanya menjadi buah bibir orang di
seantero negeri Arab.
Seiring banyaknya orang yang membenarkan ajakan
Beliau, seiring dengan itu kebencian para pembesar Quraisy yang enggan menerima
dakwah Rasul juga semakin membara. Sehingga begitu banyak celaan, cobaan, dan
siksaan yang diterima oleh Nabi dan orang Islam saat itu. Di antaranya Ammar
bin Yasir dan kedua orang tuanya pernah diseret oleh orang-orang Quraisy ke al-Abthah
untuk disiksa. Bahkan kedua orang tuanya ditikam oleh Abu Jahal dengan lembing
hingga menjadi syahid. Di antara kaum muslimin yang sangat berat siksaannya
adalah Bilal, dia adalah seorang budak Habsyi yang digambarkan oleh Rasulullah
sebagai buah pertama dari kaum Habsyi. Selain itu, yang juga menerima siksaan
yang berat ialah Khabbab bin al-Arut. Siksa yang menimpa kaum muslimin ketika
itu tidak hanya dirasakan oleh kaum laki-laki, juga kaum perempuan. Alkisah
Labinah, seorang budak perempuan kepunyaan Bani Mu’min yaitu Hay Bani ‘Addi bin
Ka’b) masuk Islam, kemudian Labinah dibeli oleh Abu Bakar as-Shiddiq dan
memerdekakannya. [10]
Orang-orang Quraisy pernah beberapa kali menemui
Abu Thalib untuk menghentikan dakwah rasul. Karena Abu Thalib adalah orang yang
sangat disegani karena kedudukannya di kalangan Arab ketika itu. Lalu Abu
Thalib menemui Rasulullah dan menyampaikan apa yang diancamkan orang-orang
Quraisy terhadap dirinya kepada Rasulullah. Rasulullah saw. menjawab:
Artinya: “Wahai pamanku! Demi Allah, andaikata
mereka meletakkan matahari di tangan kananku dan bulan di tangan kiriku agar
aku meninggalkan urusan ini, niscaya aku tidak akan meninggalkannya hingga
Allah memenangkannya atau aku binasa karenanya.”
Rasulullah mengira pamannya Abu Thalib tidak lagi
akan membelanya. Dengan berlinang air mata beliau pergi meninggalkannya, lalu
pamannya memanggil beliau kembali dan berkata: “Pergilah wahai keponakanku!
Katakanlah apa yang kau suka, Demi Allah, sekali-kali aku tidak akan pernah
menyerahkanmu kepada siapapun.”
Rasulullah saw. terus berdakwah sedangkan kaum
Quraisy telah berputus asa terhadapnya dan terhadap Abu Thalib. Kemarahan
mereka turun kepada orang yang masuk Islam dari anggota suku mereka, yang tidak
ada yang bisa melindungi mereka. Setiap suku mulai menangkapi anggota mereka
yang masuk Islam dan menahan mereka. Mereka disiksa dengan pukulan (cambuk),
tidak diberi makan, tidak diberi minum, dan dijemur saat terik matahari.[11]
4. 4. Kaum muslimin Hijrah
ke Habsyi
Pada awal tahun 615 M[12]
kaum muslimin hijrah ke Habsyi. Penganiayaan dan intimidasi orang-orang Quraisy
merupakan ujian yang hebat bagi Nabi Muhammad dan pengikut-pengikutnya. Salah
satu langkah antisipatif penyelamatan, Nabi Muhammad telah memerintahkan untuk
berhijrah ke Habasyah[13]
(Habsyi) yang waktu itu dipimpin oleh Najasyi, seorang yang beragama Nasrani.[14]
Rombongan ini terdiri dari 12 orang laki-laki dan empat orang wanita, dikepalai
oleh Utsman bin Affan.[15]
Pada tahun yang sama, tepatnya di bulan Syawwal
rombongan ini kembali ke Makkah, karena berita dusta tentang peristiwa Gharaniq,
bahwa orang-orang Quraisy telah masuk Islam. Ternyata berita tersebut
berbanding terbalik, sehingga setelah di Mekkah kaum Quraisy semakin
menjadi-jadi melakukan penyiksaan terhadap kaum muslimin. Oleh karena itu,
Rasulullah kembali memerintahkan kaum muslimin untuk kembali ke Habasyah
(Habsyi). Rombongan yang kedua ini terdiri dari 83 laki-laki dan 18 atau 19
perempuan.[16]
Pada penghujung tahun keenam kenabian, lebih
tepatnya pada bulan Dzulhijjah Hamzah bin Abdul Muththalib masuk Islam.
Keislaman Hamzah pada mulanya adalah sebagai pelampiasan harga diri seseorang
yang tidak sudi keluarganya dihina, namun kemudian Allah membuatnya cinta
terhadap Islam. Dia kemudian menjadi orang yang berpegang teguh pada al-Urwatul
Wutsqa dan menjadi kebanggaan kaum Muslimin.
Tiga hari setelah keislaman Hamzah bin Abdul
Muththtalib pada tahun keenam kenabian, Umar bin al-khaththab juga masuk Islam.
Nabi saw. memang telah berdoa kepada Allah agar dia masuk Islam sebagaimana
hadits yang diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dan menshahihkannya dari Ibnu umar
dan hadits yang dikeluarkan oleh at-Thabrani dari Ibnu Mas’ud dan Anas r.a.
bahwasannya Nabi saw. bersabda:
اللَّهُمَّ أَعِزَّ اْلإِسْلاَمَ بِأَحَبِّ الرَّجُلَيْنِ
إِلَيْكَ:بِعُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ أَوْ بِأَبِيْ جَهْلٍ بْنِ هِشَامٍ
Artinya: “Ya Allah,
muliakanlah Islam ini dengan salah seorang dari dua orang yang lebih engkau
cintai, Umar bin al-Khaththab atau Jahal bin Hisyam.”
5. 5. Pemboikotan
menyeluruh
Perjanjian zhalim dan melampaui batas
Segala cara sudah ditempuh dan tidak membuahkan
hasil, kepanikan kaum musyrikin mencapai puncaknya, ditambah lagi Bani Hasyim
dan Bani Muththalib bersikeras akan menjaga Nabi saw. dan membelanya apapun
resikonya. Oleh karena itu, mereka berkumpul bermusyawarah di lembah Mahshib
kediaman Bani Kinanah, mereka bersumpah untuk tidak menikahi Bani Hasyim dan
Bani Muththalib, tidak berjual beli, tidak bergaul, dan tidak memasuki
rumah-rumah mereka maupun berbicara dengan mereka sampai mereka menyerahkan
Rasulullah saw. untuk dibunuh. Mereka mendokumentasikan hal tersebut di atas
sebuah shahifah (lembaran) yang berisi perjanjian dan sumpah “Bahwa
mereka selamanya tidak akan menerima perdamaian dari Bani Hasyim dan tidak akan
berbelas kasihan terhadap mereka kecuali mereka menyerahkannya (Rasulullah)
untuk dibunuh.”[17]
Perjanjian ini merupakan perjanjian yang zhalim dan melampaui batas.
Pemboikotan semakin menjadi-jadi, sehingga bahan
makanan dan persediaan pun habis, sementara orang-orang musyrik tidak
membiarkan bahan makan masuk ke Mekkah kecuali mereka borong semuanya. Sehingga
selama lebih kurang tiga tahun kaum muslimin menderita kekurangan bahan pangan
di celah bukit milik Abu Thalib.
Tindakan ini membuat kondisi Bani Hasyim dan Bani
Muththalib semakin tertekan dan memprihatinkan sehingga mereka terpaksa memakan
dedaunan dan kulit-kulit. Selain itu, jeritan kaum wanita dan tangis bayi-bayi
yang mengerang kelaparan pun terdengar di balik celah bukit tersebut.
Pembatalan perjanjian
Pada bulan Muharram tahun ke-10 kenabian terjadi
pembatalan terhadap shahifah dan perobekan perjanjian tersebut. Hal ini
dilakukan karena tidak semua kaum Quraisy menyetujui perjanjian tersebut, di
antara mereka ada yang pro dan ada pula yang kontra, maka pihak yang kontra ini
akhirnya berusaha untuk membatalkan shahifah tersebut. Mereka adalah
Hisyam bin Amr dari Suku Bani Amr bin Lu’ay, Zuheir bin Abi Umayyah
al-Makhzumiy, al-Muth’im bin Adi, Abul Bukhturi bin Hisyam, dan Zam’ah bin
al-Aswad bin al-Muththalib bin Asad.
Mereka menuntut agar shahifah perjanjian
itu dibatalkan dan dirobek. Kala itu Abu Jahal tidak menerima tindakan mereka
dan tidak akan membatalkan perjanjian tersebut. Di samping itu, hakikatnya shahifah
perjanjian tersebut sudah dimakan rayap-rayap yang dikirim oleh Allah
sebagaimana yang diwahyukan kepada Rasulullah.
Abu Thalib datang kepada kaum Quraisy dan
memberitahukan kepada mereka tentang apa yang diberitahukan oleh keponakannya.
Dia menyatakan, “Ini untuk membuktikan apakah dia berbohong sehingga kami akan
membiarkan kalian untuk menyelesaikan urusan dengannya. Demikian sebaliknya,
jika dia benar maka kalian harus membatalkan pemutusan rahim dan kezaliman
terhadap kami.”[18]
Setelah terjadi perundingan antara Abu Thalib dan
Abu Jahal, al-Muth’im berdiri untuk merobek shahifah tersebut. Ternyata shahifah
tersebut telah dimakan rayap, kecuali tulisan yang ada nama Allah.
6. 6. Hijrah ke Tha’if
Pada bulan Syawwal tahun ke-10 kenabian atau
tepatnya pada penghujung bulan Mei atau awal Juni tahun 619 M Rasulullah pergi
menuju kota Thaif yang letaknya sekitar 60 mil dari kota Makkah.[19]
Dengan harapan semoga Allah memberikan petunjuk kepada penduduknya untuk
memeluk agama Islam. Pada kenyataannya penduduk Tha’if justru menolak beliau
dengan penolakan yang lebih buruk. Mereka menuntut beberapa mukjizat tertentu
darinya seperti mereka meminta agar beliau dapat membelah bulan menjadi dua,
lalu beliau memohonkan kepada Allah agar memperlihatkan kepada mereka. Namun,
mereka tetap pada kekafirannya.
7. 7. Tahun kesedihan
a. Abu Thalib Wafat
Abu Thalib wafat pada bulan Rajab tahun 10
kenabian, 6 bulan setelah keluar dari syi’bnya. Ketika Abu Thalib dalam
keadaan sekarat, Rasulullah saw. mengunjunginya, sementara di waktu yang sama
di sisinya sudah berada Abu Jahal. Beliau saw. bertutur kepada pamannya, “Wahai
pamandaku! Ucapkanlah Laa ilaaha illallah, kalimat yang akan aku jadikan hujjah
untuk membelamu kelak di hadapan Allah.”
Namun Abu Jahal dan Abdullah bin Abi Umayyah
memotong, “Wahai Abu Thalib! Sudah bencikah engkau terhadap agam Abdul
Muththalib?”
Keduanya terus mendesaknya demikian, hingga
kalimat terakhir yang diucapkannya kepada mereka adalah “Aku masih tetap dalam
agam Abdul Muththalib.”
Nabi saw. berkata, “Sungguh aku akan memintakan
ampunan untukmu selama aku tidak dilarang melakukannya”, tetapi kemudian
turunlah ayat:
Artinya: Tiadalah sepatutnya bagi
Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang
musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum Kerabat (Nya), sesudah
jelas bagi mereka, bahwasanya orang-orang musyrik itu adalah penghuni neraka
jahanam. (at-Taubah:113)
Demikian pula turun ayat:
Artinya: “Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang
kamu kasihi”
Dalam Shahih al-Bukhari
dari al-Abbas bin Abdul Muththalib, dia berkata kepada Nabi saw., “Apa
balasan yang engkau berikan kepada pamanmu atas jasanya kepadamu, sesungguhnya
dahulu dialah yang melindungimu dan berkorban untukmu?” beliau bersabda, “Dia
berada di neraka yang paling ringan, andaikata bukan karenaku niscaya dia sudah
berada di neraka yang paling bawah.”
Dari Abu Sa’id al-Khudri
bahwasannya dia mendengar Nabi saw. bersabda: “Semoga saja syafa’atku
bermanfaat baginya pada Hari Kiamat, lalu dia ditempatkan di neraka paling
ringan yang (ketinggiannya) mencapai dua mata kaki (saja).”
b.
Wafatnya
Khadijah r.a
Setelah dua bulan atau tiga bulan setelah wafatnya Abu Thalib, Ummul Mukminin,
Khadijah al-Kubra r.a. pun wafat. Tepatnya pada bulan Ramadhan tahun ke 10
kenabian dalam usia 65 tahun sedangkan Rasulullah saw. ketika itu berusia 50
tahun.
Sosok
Khadijah merupakan nikmat Allah yang paling besar bagi Rasulullah saw. Selama
seperempat abad hidup bersamanya, dia senantiasa menghibur beliau di saat
beliau cemas, memberikan dorongan di saat-saat kritis, menyokong penyampaian risalah-nya,
mendampingi beliau dalam rintangan jihad yang amat pahit dan selalu membela
beliau baik dengan jiwa maupun dengan hartanya.
Dua
peristiwa sedih tersebut berlangsung dalam waktu yang relatif berdekatan,
sehingga perasaan sedih dan pilu menyayat-nyayat hati Rasulullah saw. Kemudian
cobaan terus datang secara beruntun pula dari kaumnya. Sepeninggalan Abu Thalib
mereka secara terang-terangan menyiksa dan menyakiti beliau.
C. ISRA’ MI’RAJ
Isra’ yaitu Rasulullah diperjalankan dari Masjidil
Haram ke Masjidil Aqsho yaitu Baitul Maqdis setelah menyebarkan Islam di Mekkah
kepada orang-orang Quraisy dan kabilah-kabilahnya.[20]
Mi’raj yaitu perjalanan Rasulullah dari Baitul Maqdis naik ke langit ke tujuh.
Malam itu Beliau dimi’rajkan dari Baitul
Maqdis menuju langit dunia. Di sana beliau melihat Adam, bapak manusia.
Kemudian beliau dimi’rajkan ke langit kedua, di sana beliau melihat Nabi
Yahya alaihissalam dan Isa alaihissalam. Kemudian beliau dimi’rajkan
ke langit ketiga, di sana beliau melihat nabi Yusuf alaihissalam. Kemudian
beliau dimi’rajkan ke langit keempat, di sana beliau melihat Nabi Idris alaihissalam.
Kemudian beliau dimi’rajkan ke langit kelima, di sana beliau melihat
Nabi Harun alaihissalam. Kemudian beliau dimi’rajkan ke langit
keenam, di sana beliau melihat Nabi Musa alaihissalam. Kemudian beliau dimi’rajkan
ke langit ketujuh, di sana beliau bertemu dengan Nabi Ibrahim alaihissalam. Kemudian
beliau naik ke Sidratul Muntaha, lalu al-Bait al-Ma’mur dinaikkan
untuknya. Kemudian beliau dimi’rajkan lagi menuju Allah yang Maha Agung
lagi Mahaperkasa. Kemudian Dia mewahyukan kepada hamba-Nya mewajibkan 50 waktu
shalat. Kemudian Beliau kembali hingga melewati Nabi Musa alaihissalam. Musa
lalu bertanya kepada beliau, ‘Apa yang diperintahkan kepadamu?’ Beliau
menjawab, ’50 waktu shalat’. Dia berkata, ‘Umatmu pasti tidak sanggup melakukan
itu, kembalilah kepada Rabbmu dan mintalah keringanan untuk umatmu.’ Lalu
Jibril membawa beliau kembali naik ke hadapan Allah. Lalu Allah menguranginya
menjadi 10 waktu shalat. Kemudian ketika melewati Nabi Musa, dan beliau
memberitahukan hal tersebut kepadanya. Dia berkata, ‘Kembalilah lagi kepada
Rabbmu dan mintalah keringanan!’ Beliau terus mondar-mandir antara Nabi Musa
dan Allah hingga akhirnya Allah menjadikannya 5 waktu shalat.[21]
D. BAI’AT
AL-‘AQABAH
1. Bai’at al-‘Aqabah I
Pada musim haji sesudah perang Bu’ats,
berangkatlah serombongan orang-orang Khazraj menuju Makkah untuk berhaji.
Sesampainya di Makkah mereka ditemui Rasulullah di ‘Aqabah dan pada saat itu
pula mereka mendengar dakwah beliau lalu menerimanya. Ketika tiba musim haji
tahun berikutnya, datanglah ke Makkah dua belas orang penduduk Yatsrib untuk
menemui Rasulullah di ‘Aqabah. Kemudian pada malam harinya mereka melakukan
bai’at tanda setia kepada beliau yang disebut dengan Bai’at an-Nisa’ atau
Bai’at al-Aqabah al-Ula.[22]
2. Bai’at al-‘Aqabah II
Pada tahun 622 M terjadi sumpah setia kedua (Bai’at
al-‘Aqabah al-Tsaniyah) yang berisikan pernyataan bahwa mereka tidak hanya
menerima Muhammad sebagai nabssi dan menjauhi perbuatan dosa, akan tetapi juga
sanggup berperang membela Tuhan dan rasul-Nya.[23]
Selain itu, mereka mengharapkan Nabi Muhammad hijrah ke Yatsrib, karena mereka
sangat membutuhkan seseorang yang akan menjadi pemimpin mereka dan
menyelesaikan sengketa antara suku Aus dan suku Khazraj yang telah terjadi
bertahun-tahun.
PENUTUP
Muhammad saw. Diangkat menjadi nabi dengan diturunkan
surat al-Alaq ayat 1-5, sedangkan diangkat menjadi Rasul dengan diturunkan
surat al-Muddatstsir ayat 1-5. Permulaan dakwah Rasulullah melakukan secara
sembunyi-sembunyi. Kemudian dilakukan secara terang-terangan dengan turunnya
surat al-Hijr ayat 94-95 dan surat as-Syu’ara’ ayat 214. Perjuangan dakwah
selama periode Mekkah selama lebih kurang 13 tahun.
Dakwah
periode Mekkah menghadapi tantangan yang amat berat bagi Rasulullah dan kaum
muslimin. Sehingga beliau memerintahkan kaum muslimin untuk hijrah ke daerah di
luar Mekkah seperti Habsyi dan Tha’if. Namun, tidak mengurangi penderitaan
Rasulullah dan kaum muslimin, bahkan semakin menjadi-jadi. Sehingga pada tahun
ke 13 kenabian, Rasulullah memerintahkan kaum muslimin untuk hijrah ke Madinah
(Yatsrib).
Pembaca
yang budiman, penulis menyadari bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan dan
banyak terdapat kesalahan serta kekhilafan. Penulis sangat berharap kepada
pembaca untuk memberikan kritikan dan masukan yang mendukung makalah ini.
Penulis juga menyarankan kepada pembaca untuk kembali membaca dan mengoreksi ke
buku-buku ulama tentang sirah Nabawiyah.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Al-Buthiy, Muhammad Sa’id
Ramadhan, Sirah Nabawiyah, terjemahan: Aunur Rafiq Shalih Tamhid
(Jakarta: Rabbany Press, 2009) Cet. XV
Al-Mubarakfuriy,
Shofiyurrahman, Perjalanan Hidup Rasul yang Agung Muhammad saw. dari
Kelahiran Hingga Detik-detik Terakhir, (Jakarta: Darul Haq, 2012) Cet. XIV
Al-Sheikh, Abdullah bin
Muhammad, Ringkasan Tafsir Ibnu
Katsir Jilid 8, (Bogor: Pustaka Imam Syafi’i, 2003)
An-Nadwi, Abul Hasan ‘Ali
al-Hasany, Sejarah Lengkap Nabi Muhammad saw., (Jokjakarta: Mardhiyah
Press, 2007) Cet. III
As-Shuyaniy, Muhammad, As-Shohih
min Ahadits as-Sirah an-Nabawiyah, (Riyadh: Madar al-Wathan lin Nasyr,
2011)
Fatmawati, Sejarah Peradaban Islam, (Batusangkar:
STAIN Batusangkat Press, 2010)Jilid I
Hasan, Hasan Ibrahim, Sejarah
dan Kebudayaan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2009) Cet. III
Ibnu Hisyam, as-Sirah
an-Nabawiyah, al-Juz’ ats-Tsanyi, (Beirut: Dar al-Kitab al-Araby, 1990)
Cet. III
Lapidus, Ira M., Sejarah Sosial
Ummat Islam, bagian kesatu & dua, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,
1999
Thohir, Ajid,
Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia
Islam, Melacak Akar-akar Sejarah, Sosial, Politik dan Budaya Ummat Islam, (Jakarta:
PT RajaGrafindo Persada, 2004)
[1]
Shofiyurrahman al-Mubarakfuriy, Perjalanan Hidup Rasul yang Agung Muhammad
saw. dari Kelahiran Hingga Detik-detik Terakhir, (Jakarta: Darul Haq, 2012)
Cet. XIV, hal. 81
[2]
Ibid
[3]
Muhammad as-Shuyaniy, As-Shohih
min Ahadits as-Sirah an-Nabawiyah, (Riyadh: Madar al-Wathan lin Nasyr,
2011) hal. 28
[4]
Fatmawati, Sejarah Peradaban
Islam, (Batusangkar: STAIN Batusangkat Press, 2010)Jilid I, hal. 30
[5]
Muhammad Sa’id Ramadhan al-Buthiy, Sirah
Nabawiyah, terjemahan: Aunur Rafiq Shalih Tamhid, (Jakarta: Rabbany Press,
2009) Cet. XV, hal. 60
[8]
Ajid Thohir, Perkembangan
Peradaban di Kawasan Dunia Islam,
Melacak Akar-akar Sejarah, Sosial, Politik dan Budaya Ummat Islam, (Jakarta:
PT RajaGrafindo Persada, 2004), hal. 13
[9]
Abdullah bin Muhammad
al-Sheikh, Ringkasan Tafsir Ibnu
Katsir Jilid 8, (Bogor: Pustaka Imam Syafi’I, 2003), hal. 568
[10]
Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah
dan Kebudayaan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2009) Cet. III, hal. 137
[11]
Abul Hasan ‘Ali al-Hasany an-Nadwi, Sejarah
Lengkap Nabi Muhammad saw., (Jokjakarta: Mardhiyah Press, 2007) Cet. III,
hal. 129
[12]
Ira M. Lapidus, Sejarah
Sosial Ummat Islam, bagian kesatu & dua, (Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada, 1999), hal. 36
[13]
Ketika itu Rasulullah menyaksikan para sahabatnya menderita karena siksaan
orang-orang musyrik Makkah, berkatalah beliau kepada mereka: “Kalian lebih baik
hijrah ke tanah Habsyi, karena di sana rajanya terkenal adil dan bijaksana,
tidak seorang pun ada yang teraniaya. Negeri Habsyi adalah negeri yang aman.
Berangkatlah ke sana sampai Allah memberi jalan keluar dari penderitaan yang menimpa kalian selama ini.
(Hasan Ibrahim Hasan: hal 162)
[14]
Ajid Thohir, Op. Cit. hal. 14
[15]
Shafiyurrahman, Op. Cit. hal.
122
[17]
Shafiyurrahman al-Mubarakfuriy, Op.
Cit., hal 152
[18]
Shafiyurrahman al-Mubarakfuriy, Op.
Cit, hal. 156
[19]
Op. Cit., hal. 178
[20]
Ibnu Hisyam, as-Sirah
an-Nabawiyah, al-Juz’ ats-Tsanyi, (Beirut: Dar al-Kitab al-Araby, 1990)
Cet. III, hal. 47
[21]
Shafiyurrahman, Op. Cit., hal.
197-198
[22]
Hasan Ibrahim Hasan, Op.
Cit., hal. 175-176
0 komentar:
Post a Comment