SIRAH NABAWIYAH: AWAL KENABIAN SAMPAI MENJELANG HIJRAH KE MADINAH

SIRAH NABAWIYAH
AWAL KENABIAN SAMPAI MENJELANG HIJRAH KE MADINAH

A.    KENABIAN DAN KERASULAN MUHAMMAD SAW.
Tatkala usia beliau sudah mendekati 40 tahun dan perenungannya terdahulu telah memperluas jurang pemikiran antara diri beluai dan kaumnya, beliau mulai suka mengasingkan diri. Karenanya, beliau membawa roti yang terbuat dari gandum dan bekal air menuju gua Hira' yang terletak di Jabal Nur, yaitu sejauh hampir 2 mil dari Mekkah. Gua ini merupakan gua yang sejuk, panjangnya 4 hasta, lebarnya 1,75 hasta dengan ukuran dzira' al-Hadid (hasta ukuran besi). Beliau tinggal di dalam gua tersebut bulan Ramadhan, memberi makan orang-orang miskin yang mengunjunginya, menghabiskan waktunya dalam beribadah dan berfikir mengenai pemandangan alam di sekitarnya dan kekuasaan yang menciptakan sedemikian sempurna di balik itu. Beliau tidak bisa tenang melihat kondisi kaumnya yang masih terbelenggu oleh keyakinan syirik yang usang dan gambaran tentangnya yang demikian rapuh, akan tetapi beliau tidak memiliki jalan yang terang, manhaj yang jelas ataupun jalan yang harus dituju, yang berkenan dengan hatinya dan disetujuinya.[1]
Pilihan mengasingkan diri ('uzlah) yang diambil oleh beliau Shallallahu 'alaihi wasallam ini merupakan bagian dari tadbir (skenario) Allah terhadapnya. Juga, agar terputusnya kontak dengan kesibukan-kesibukan duniawi, goncangan kehidupan dan ambisi-ambisi kecil manusia yang mengusik kehidupan menjadi sebagai suatu perubahan, untuk kemudian mempersiapkan diri menghadapi urusan besar yang sudah menantinya sehingga siap mengemban amanah yang agung, merubah wajah bumi dan meluruskan garis sejarah. 'Uzlah yang sudah diatur oleh Allah ini terjadi tiga tahun sebelum beliau diangkat menjadi rasul. Beliau mengambil jalan 'uzlah ini selama sebulan dengan semangat hidup yang penuh kebebasan dan merenungi keghaiban yang tersembunyi dibalik kehidupan tersebut hingga tiba waktunya untuk berinteraksi dengan kehidupannya saat Allah memperkenankannya.[2]
Tatkala usia beliau mencapai genap empat puluh tahun, tanda-tanda nubuwwah (kenabian) sudah tampak dan mengemuka, diantaranya; adanya sebuah batu di Mekkah yang mengucapkan salam kepada beliau. Sebagaimana diriwayatkan oleh Muslim dari  Abu Bakar bin Abi Syaibah dari Yahya bin Bakir dari Ibrahim bin Tuhman dari Samak bin Harb dari Jabir bin Samrah berkata, Rasulullah saw. bersabda:
إِنِّى لَأَعْرَفُ حَجَرًا بِمَكَّةَ كَانَ يُسَلِّمُ عَلَيَّ قَبْلَ أَنْ أَبْعَثَ إِنِّى لَأَعْرَفُ الآنَ
“Sesungguhnya aku mengetahui sebuah batu di Mekkah memberi salam kepadaku sebelum aku diutus, sesungguhnya sekarang aku benar-benar mengetahuinya.”

Beliau juga tidak bermimpi kecuali sangat jelas sejelas fajar subuh yang menyingsing. Sebagaimana diriwayatkan oleh al-Bukhari dari  Yahya bin Bakir dari al-Laits dari ‘Aqil dari Ibn Syihab dari ‘Urwah bin az-Zubair dari ‘Aisyah Ummul Mukminin berkata:
أول ما بدئ به رسول الله صلى الله عليه و سلم من الوحي الرؤيا الصالحة فى النوم فكان لا يرى رؤيا إلا جاءت مثل فلق الصبح، ثم حبب إليه الخلاء و كان يخلو بغار حراء فيتحنث فيه وهو التعبد الليالى ذوات العدد قبل أن ينزع إلى أهله و يتزود لذلك، ثم يرجع إلى خديجة فيتزود لمثلها حتى جاءه الحق و هو فى غار حراء
“Pertama diturunkan wahyu kepada Rasulullah saw. adalah melalui mimpi yang benar, beliau melihat dalam mimpi tersebut dengan sangat jelas seperti fajar subuh. Kemudian beliau suka menyendiri di Gua Hira’ untuk bertahannuts atau beribadah beberapa malam, setelah itu beliau kembali kepada keluarga mengambil bekal untuk kembali beribadah. Kemudian beliau kembali kepada Khadijah untuk mengambil bekal seperti biasa sehingga datang kepada beliau kebenaran (wahyu) sedangkan beliau berada di Gua Hira’.”[3]
Ketika pengasingan diri (uzlah) di gua Hira’ memasuki tahun ketiga tepatnya di bulan Ramadhan Allah mengangkatnya sebagai nabi dengan mengutus Jibril kepadanya yang membawa beberapa ayat al-Qur’an, yaitu surat al-‘Alaq ayat 1-5.
“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah, yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam. Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.”

Itulah wahyu pertama. Malam terjadinya peristiwa itu kemudian dikenal sebagai “Malam penuh keagungan” (Lailah al-Qadr), dan menurut riwayat terjadi menjelang akhir bulan Ramadhan (610). Peristiwa ini terjadi pada hari Senin, tanggal 21 malam bulan Ramadhan dan bertepatan dengan tanggal 10 Agustus tahun 610 M.
Imam Ibnu al-Qoyyim menjelaskan bahwa permulaan wahyu yang diturunkan Allah swt. kepada Muhammad Ibn Abdillah tersebut adalah perintah supaya dia membaca dengan nama Tuhannya yang telah menjadikan segala sesuatunya. Ini adalah awal kenabiannya belum menjadi awal kerasulannya. Dia baru diperintahkan untuk membaca saja, belum lagi diperintahkan untuk menyampaikan kepada orang lain.[4]
Setelah beberapa lama wahyu terhenti (vakum), ada yang mengatakan tiga tahu ada pula yang mengatakan kurang dari itu. Pendapat yang lebih kuat adalah apa yang diriwayatkan oleh al-Baihaqi bahwa masa terhentinya wahyu tersebut selama enam bulan.[5] Kemudian, Allah memuliakan beliau dengan mengangkat menjadi rasul dengan diturunkannya al-Qur’an surat al-Muddatstsir ayat 1-5:

“Hai orang yang berkemul (berselimut), bangunlah, lalu berilah peringatan! dan Tuhanmu agungkanlah! dan pakaianmu bersihkanlah, dan perbuatan dosa tinggalkanlah”

B.     PERJUANGAN DAKWAH
1.      1. Dakwah Secara Rahasia (Sirriyah)
Permulaan dakwah Rasulullah disampaikan kepada kerabat dekat dan para tokoh masyarakat Quraisy seperti Abu Bakar as-Siddiq sebagai sahabat beliau yang paling tulus. Orang yang pertama kali masuk Islam adalah Khadijah, Zaid bin Haritsah, Ali bin Abi Thalib, Abu Bakar as-Siddiq, Utsman bin ‘Affan, az-Zubair bin al-‘Awwam, Sa’ad bin Abi Waqqas, Abdurrahman bin Auf, dan Thalhah bin ‘Ubaidillah. Kemudian diikuti oleh para tokoh Quraisy seperti ‘Ubaidah bin al-Jarrah, al-Arqam bin Abu al-Arqam,[6] dan lain-lain.  Perjuangan dakwah ini dilakukan secara rahasia (Sirriyah) yang berpusat di rumah al-Arqam bin Abu al-Arqam. Dakwah yang bersifat individu ini berjalan selama lebih kurang tiga tahun, kemudian turunlah perintah kepada Nabi saw., untuk menyampaikan dakwah kepada kaumnya secara terang-terangan, dan menentang kebatilan mereka serta menyerang berhala-berhala mereka.
2.      2. Perintah shalat
Termasuk wahyu yang pertama diturunkan adalah perintah mendirikan shalat. Al-Harits bin Usamah meriwayatkan dari jalur Ibnu Lahi’ah secara maushul dari Zaid bin Haritsah bahwa pada awal datangnya wahyu, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam didatangi oleh malaikat Jibril, lantas mengajarkan beliau tata cara berwudhu. Maka tatkala selesai melakukannya, beliau mengambil seciduk air, lalu memercikkannya ke kemaluan beliau.[7] Namun perintah shalat di sini bukanlah perintah shalat lima waktu, namun ada pendapat yang mengatakan bahwa yang telah diwajibkan itu adalah shalat sebelum terbit dan terbenamnya matahari.

3.      3. Dakwah secara terang-terangan
Periode Mekkah, kebijakan dakwah yang dilakukan Nabi Muhammad adalah dengan menonjolkan kepemimpinannya, bukan kenabiannya. Implikasinya, dakwah dengan strategi politik yang memunculkan aspek-aspek keteladanannya dalam menyelesaikan berbagai persoalan sosial (egalitarisme) lebih tepat dibandingkan dengan aspek kenabiannya dengan melaksanakan tabligh.[8]
Tatkala turun perintah dakwah dari Allah subhanahu wa ta’ala secara terang-terangan dan melawan kemusyrikan, sebagaimana yang terdapat dalam al-Qur’an surat al-Hijr ayat 94-95:
فَاصْدَعْ بِمَا تُؤْمَرُ وَأَعْرِضْ عَنِ الْمُشْرِكِيْنَ. إِنَّا كَفَيْنَكَ الْمُسْتَهْزِءِيْنَ (الحجر: 94-95)
“Maka sampaikanlah olehmu secara terang-terangan segala apa yang diperintahkan (kepadamu) dan berpalinglah dari orang-orang musyrik. Sesungguhnya Kami memelihara kamu daripada (kejahatan) orang-orang yang memperolok-olok (kamu).” (Q.S. al-Hijr: 94-95)

dan tatkala turun ayat:
وَ أَنْذِرْ عَشِيْرَتَكَ الأَقْرَبِيْنَ (الشعراء: 214)
“Dan berilah peringatan kepada keluargamu yang terdekat.” (Q.S. asy-Syu’ara’: 214)

Rasulullah naik ke atas bukit Shafa, lalu menyeru kepada kabilah-kabilah Quraisy. Kemudian tak berapa lama mereka pun berkumpul. Lalu Beliau berkata, “Bagaimana menurut pendapat kalian kalau aku beritahukan bahwa ada segerombolan pasukan kuda di lembah sana yang ingin menyerang kalian, apakah kalian akan mempercayaiku?” Mereka menjawab, “Ya, kamu tidak pernah tahu dari dirimu selain kejujuran.” Beliau berkata, “Sesungguhnya aku adalah pemberi peringatan kepada kalian akan azab yang amat pedih.” Abu Lahab menanggapi, “Celakalah engkau sepanjang hari! Apakah hanya untuk ini engkau kumpulkan kami?”
Maka ketika itu turun ayat: تَبَّتْ يَدَآ أَبِي لَهَبٍ وَ تَبَّ “Celakalah kedua tangan Abu Lahab” (Q.S. Al-Lahab: 1). Yakni benar-benar merugi lagi gagal, amal perbuatan dan usahanya pun tersesat.[9]
Rasulullah melakukan dakwah Islam secara terang-terangan di tempat-tempat berkumpul dan bertemunya kaum musyrikin. Beliau membacakan Kitabullah dan menyampaikan ajakan yang selalu disampaikan oleh para rasul terdahulu kepada kaum mereka, “Wahai kaumku! Sembalah Allah. Kalian tidak memiliki Tuhan selain-Nya”. Dan beliau juga memamerkan praktik ibadahnya kepada Allah, melakukannya di halaman Ka’bah pada siang hari  dan disaksikan oleh khalayak ramai. Dakwah yang beliau lakukan tersebut mendapat sambutan baik dari mereka sehingga banyak di antara mereka yang masuk ke dalam agama Islam.
Manakala musim haji telah datang yang dilakukan Rasulullah adalah membututi jama’ah-jama’ah yang datang hingga sampai ke tempat-tempat mereka, di pasar ‘Ukazh, Majinnah, dan Dzul Majaz. Beliau mengajak mereka untuk menyembah Allah, sedangkan Abu Lahab selalu membututi dan memotong setiap ajakan beliau dengan berbalik mengatakan kepada mereka “Jangan kalian patuhi dia karena dia adalah seorang pembawa agama baru lagi pendusta”. Dan kenyataannya, justru dari musim itulah perihal Rasulullah menjadi pusat perhatian delegasi Arab dan namanya menjadi buah bibir orang di seantero negeri Arab.
Seiring banyaknya orang yang membenarkan ajakan Beliau, seiring dengan itu kebencian para pembesar Quraisy yang enggan menerima dakwah Rasul juga semakin membara. Sehingga begitu banyak celaan, cobaan, dan siksaan yang diterima oleh Nabi dan orang Islam saat itu. Di antaranya Ammar bin Yasir dan kedua orang tuanya pernah diseret oleh orang-orang Quraisy ke al-Abthah untuk disiksa. Bahkan kedua orang tuanya ditikam oleh Abu Jahal dengan lembing hingga menjadi syahid. Di antara kaum muslimin yang sangat berat siksaannya adalah Bilal, dia adalah seorang budak Habsyi yang digambarkan oleh Rasulullah sebagai buah pertama dari kaum Habsyi. Selain itu, yang juga menerima siksaan yang berat ialah Khabbab bin al-Arut. Siksa yang menimpa kaum muslimin ketika itu tidak hanya dirasakan oleh kaum laki-laki, juga kaum perempuan. Alkisah Labinah, seorang budak perempuan kepunyaan Bani Mu’min yaitu Hay Bani ‘Addi bin Ka’b) masuk Islam, kemudian Labinah dibeli oleh Abu Bakar as-Shiddiq dan memerdekakannya. [10]
Orang-orang Quraisy pernah beberapa kali menemui Abu Thalib untuk menghentikan dakwah rasul. Karena Abu Thalib adalah orang yang sangat disegani karena kedudukannya di kalangan Arab ketika itu. Lalu Abu Thalib menemui Rasulullah dan menyampaikan apa yang diancamkan orang-orang Quraisy terhadap dirinya kepada Rasulullah. Rasulullah saw. menjawab:
Artinya:   “Wahai pamanku! Demi Allah, andaikata mereka meletakkan matahari di tangan kananku dan bulan di tangan kiriku agar aku meninggalkan urusan ini, niscaya aku tidak akan meninggalkannya hingga Allah memenangkannya atau aku binasa karenanya.”
Rasulullah mengira pamannya Abu Thalib tidak lagi akan membelanya. Dengan berlinang air mata beliau pergi meninggalkannya, lalu pamannya memanggil beliau kembali dan berkata: “Pergilah wahai keponakanku! Katakanlah apa yang kau suka, Demi Allah, sekali-kali aku tidak akan pernah menyerahkanmu kepada siapapun.”
Rasulullah saw. terus berdakwah sedangkan kaum Quraisy telah berputus asa terhadapnya dan terhadap Abu Thalib. Kemarahan mereka turun kepada orang yang masuk Islam dari anggota suku mereka, yang tidak ada yang bisa melindungi mereka. Setiap suku mulai menangkapi anggota mereka yang masuk Islam dan menahan mereka. Mereka disiksa dengan pukulan (cambuk), tidak diberi makan, tidak diberi minum, dan dijemur saat terik matahari.[11]
4.      4. Kaum muslimin Hijrah ke Habsyi
Pada awal tahun 615 M[12] kaum muslimin hijrah ke Habsyi. Penganiayaan dan intimidasi orang-orang Quraisy merupakan ujian yang hebat bagi Nabi Muhammad dan pengikut-pengikutnya. Salah satu langkah antisipatif penyelamatan, Nabi Muhammad telah memerintahkan untuk berhijrah ke Habasyah[13] (Habsyi) yang waktu itu dipimpin oleh Najasyi, seorang yang beragama Nasrani.[14] Rombongan ini terdiri dari 12 orang laki-laki dan empat orang wanita, dikepalai oleh Utsman bin Affan.[15]
Pada tahun yang sama, tepatnya di bulan Syawwal rombongan ini kembali ke Makkah, karena berita dusta tentang peristiwa Gharaniq, bahwa orang-orang Quraisy telah masuk Islam. Ternyata berita tersebut berbanding terbalik, sehingga setelah di Mekkah kaum Quraisy semakin menjadi-jadi melakukan penyiksaan terhadap kaum muslimin. Oleh karena itu, Rasulullah kembali memerintahkan kaum muslimin untuk kembali ke Habasyah (Habsyi). Rombongan yang kedua ini terdiri dari 83 laki-laki dan 18 atau 19 perempuan.[16]
Pada penghujung tahun keenam kenabian, lebih tepatnya pada bulan Dzulhijjah Hamzah bin Abdul Muththalib masuk Islam. Keislaman Hamzah pada mulanya adalah sebagai pelampiasan harga diri seseorang yang tidak sudi keluarganya dihina, namun kemudian Allah membuatnya cinta terhadap Islam. Dia kemudian menjadi orang yang berpegang teguh pada al-Urwatul Wutsqa dan menjadi kebanggaan kaum Muslimin.
Tiga hari setelah keislaman Hamzah bin Abdul Muththtalib pada tahun keenam kenabian, Umar bin al-khaththab juga masuk Islam. Nabi saw. memang telah berdoa kepada Allah agar dia masuk Islam sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dan menshahihkannya dari Ibnu umar dan hadits yang dikeluarkan oleh at-Thabrani dari Ibnu Mas’ud dan Anas r.a. bahwasannya Nabi saw. bersabda:
اللَّهُمَّ أَعِزَّ اْلإِسْلاَمَ بِأَحَبِّ الرَّجُلَيْنِ إِلَيْكَ:بِعُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ أَوْ بِأَبِيْ جَهْلٍ بْنِ هِشَامٍ
Artinya: “Ya Allah, muliakanlah Islam ini dengan salah seorang dari dua orang yang lebih engkau cintai, Umar bin al-Khaththab atau Jahal bin Hisyam.”
 
5.      5. Pemboikotan menyeluruh
            Perjanjian zhalim dan melampaui batas
Segala cara sudah ditempuh dan tidak membuahkan hasil, kepanikan kaum musyrikin mencapai puncaknya, ditambah lagi Bani Hasyim dan Bani Muththalib bersikeras akan menjaga Nabi saw. dan membelanya apapun resikonya. Oleh karena itu, mereka berkumpul bermusyawarah di lembah Mahshib kediaman Bani Kinanah, mereka bersumpah untuk tidak menikahi Bani Hasyim dan Bani Muththalib, tidak berjual beli, tidak bergaul, dan tidak memasuki rumah-rumah mereka maupun berbicara dengan mereka sampai mereka menyerahkan Rasulullah saw. untuk dibunuh. Mereka mendokumentasikan hal tersebut di atas sebuah shahifah (lembaran) yang berisi perjanjian dan sumpah “Bahwa mereka selamanya tidak akan menerima perdamaian dari Bani Hasyim dan tidak akan berbelas kasihan terhadap mereka kecuali mereka menyerahkannya (Rasulullah) untuk dibunuh.”[17] Perjanjian ini merupakan perjanjian yang zhalim dan melampaui batas.
Pemboikotan semakin menjadi-jadi, sehingga bahan makanan dan persediaan pun habis, sementara orang-orang musyrik tidak membiarkan bahan makan masuk ke Mekkah kecuali mereka borong semuanya. Sehingga selama lebih kurang tiga tahun kaum muslimin menderita kekurangan bahan pangan di celah bukit milik Abu Thalib.
Tindakan ini membuat kondisi Bani Hasyim dan Bani Muththalib semakin tertekan dan memprihatinkan sehingga mereka terpaksa memakan dedaunan dan kulit-kulit. Selain itu, jeritan kaum wanita dan tangis bayi-bayi yang mengerang kelaparan pun terdengar di balik celah bukit tersebut.
            Pembatalan perjanjian
Pada bulan Muharram tahun ke-10 kenabian terjadi pembatalan terhadap shahifah dan perobekan perjanjian tersebut. Hal ini dilakukan karena tidak semua kaum Quraisy menyetujui perjanjian tersebut, di antara mereka ada yang pro dan ada pula yang kontra, maka pihak yang kontra ini akhirnya berusaha untuk membatalkan shahifah tersebut. Mereka adalah Hisyam bin Amr dari Suku Bani Amr bin Lu’ay, Zuheir bin Abi Umayyah al-Makhzumiy, al-Muth’im bin Adi, Abul Bukhturi bin Hisyam, dan Zam’ah bin al-Aswad bin al-Muththalib bin Asad.
Mereka menuntut agar shahifah perjanjian itu dibatalkan dan dirobek. Kala itu Abu Jahal tidak menerima tindakan mereka dan tidak akan membatalkan perjanjian tersebut. Di samping itu, hakikatnya shahifah perjanjian tersebut sudah dimakan rayap-rayap yang dikirim oleh Allah sebagaimana yang diwahyukan kepada Rasulullah.
Abu Thalib datang kepada kaum Quraisy dan memberitahukan kepada mereka tentang apa yang diberitahukan oleh keponakannya. Dia menyatakan, “Ini untuk membuktikan apakah dia berbohong sehingga kami akan membiarkan kalian untuk menyelesaikan urusan dengannya. Demikian sebaliknya, jika dia benar maka kalian harus membatalkan pemutusan rahim dan kezaliman terhadap kami.”[18]
Setelah terjadi perundingan antara Abu Thalib dan Abu Jahal, al-Muth’im berdiri untuk merobek shahifah tersebut. Ternyata shahifah tersebut telah dimakan rayap, kecuali tulisan yang ada nama Allah.
6.    6. Hijrah ke Tha’if
Pada bulan Syawwal tahun ke-10 kenabian atau tepatnya pada penghujung bulan Mei atau awal Juni tahun 619 M Rasulullah pergi menuju kota Thaif yang letaknya sekitar 60 mil dari kota Makkah.[19] Dengan harapan semoga Allah memberikan petunjuk kepada penduduknya untuk memeluk agama Islam. Pada kenyataannya penduduk Tha’if justru menolak beliau dengan penolakan yang lebih buruk. Mereka menuntut beberapa mukjizat tertentu darinya seperti mereka meminta agar beliau dapat membelah bulan menjadi dua, lalu beliau memohonkan kepada Allah agar memperlihatkan kepada mereka. Namun, mereka tetap pada kekafirannya.
7.    7.  Tahun kesedihan
a.       Abu Thalib Wafat
Abu Thalib wafat pada bulan Rajab tahun 10 kenabian, 6 bulan setelah keluar dari syi’bnya. Ketika Abu Thalib dalam keadaan sekarat, Rasulullah saw. mengunjunginya, sementara di waktu yang sama di sisinya sudah berada Abu Jahal. Beliau saw. bertutur kepada pamannya, “Wahai pamandaku! Ucapkanlah Laa ilaaha illallah, kalimat yang akan aku jadikan hujjah untuk membelamu kelak di hadapan Allah.”
Namun Abu Jahal dan Abdullah bin Abi Umayyah memotong, “Wahai Abu Thalib! Sudah bencikah engkau terhadap agam Abdul Muththalib?”
Keduanya terus mendesaknya demikian, hingga kalimat terakhir yang diucapkannya kepada mereka adalah “Aku masih tetap dalam agam Abdul Muththalib.”
Nabi saw. berkata, “Sungguh aku akan memintakan ampunan untukmu selama aku tidak dilarang melakukannya”, tetapi kemudian turunlah ayat:

Artinya: Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum Kerabat (Nya), sesudah jelas bagi mereka, bahwasanya orang-orang musyrik itu adalah penghuni neraka jahanam. (at-Taubah:113)

Demikian pula turun ayat:
 
Artinya: Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi”

Dalam Shahih al-Bukhari dari al-Abbas bin Abdul Muththalib, dia berkata kepada Nabi saw., “Apa balasan yang engkau berikan kepada pamanmu atas jasanya kepadamu, sesungguhnya dahulu dialah yang melindungimu dan berkorban untukmu?” beliau bersabda, “Dia berada di neraka yang paling ringan, andaikata bukan karenaku niscaya dia sudah berada di neraka yang paling bawah.”
Dari Abu Sa’id al-Khudri bahwasannya dia mendengar Nabi saw. bersabda: “Semoga saja syafa’atku bermanfaat baginya pada Hari Kiamat, lalu dia ditempatkan di neraka paling ringan yang (ketinggiannya) mencapai dua mata kaki (saja).”
b.      Wafatnya Khadijah r.a
Setelah dua bulan atau tiga bulan setelah wafatnya Abu Thalib, Ummul Mukminin, Khadijah al-Kubra r.a. pun wafat. Tepatnya pada bulan Ramadhan tahun ke 10 kenabian dalam usia 65 tahun sedangkan Rasulullah saw. ketika itu berusia 50 tahun.
Sosok Khadijah merupakan nikmat Allah yang paling besar bagi Rasulullah saw. Selama seperempat abad hidup bersamanya, dia senantiasa menghibur beliau di saat beliau cemas, memberikan dorongan di saat-saat kritis, menyokong penyampaian risalah-nya, mendampingi beliau dalam rintangan jihad yang amat pahit dan selalu membela beliau baik dengan jiwa maupun dengan hartanya.
Dua peristiwa sedih tersebut berlangsung dalam waktu yang relatif berdekatan, sehingga perasaan sedih dan pilu menyayat-nyayat hati Rasulullah saw. Kemudian cobaan terus datang secara beruntun pula dari kaumnya. Sepeninggalan Abu Thalib mereka secara terang-terangan menyiksa dan menyakiti beliau.

C.    ISRA’ MI’RAJ
Isra’ yaitu Rasulullah diperjalankan dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsho yaitu Baitul Maqdis setelah menyebarkan Islam di Mekkah kepada orang-orang Quraisy dan kabilah-kabilahnya.[20] Mi’raj yaitu perjalanan Rasulullah dari Baitul Maqdis naik ke langit ke tujuh.
Malam itu Beliau dimi’rajkan dari Baitul Maqdis menuju langit dunia. Di sana beliau melihat Adam, bapak manusia. Kemudian beliau dimi’rajkan ke langit kedua, di sana beliau melihat Nabi Yahya alaihissalam dan Isa alaihissalam. Kemudian beliau dimi’rajkan ke langit ketiga, di sana beliau melihat nabi Yusuf alaihissalam. Kemudian beliau dimi’rajkan ke langit keempat, di sana beliau melihat Nabi Idris alaihissalam. Kemudian beliau dimi’rajkan ke langit kelima, di sana beliau melihat Nabi Harun alaihissalam. Kemudian beliau dimi’rajkan ke langit keenam, di sana beliau melihat Nabi Musa alaihissalam. Kemudian beliau dimi’rajkan ke langit ketujuh, di sana beliau bertemu dengan Nabi Ibrahim alaihissalam. Kemudian beliau naik ke Sidratul Muntaha, lalu al-Bait al-Ma’mur dinaikkan untuknya. Kemudian beliau dimi’rajkan lagi menuju Allah yang Maha Agung lagi Mahaperkasa. Kemudian Dia mewahyukan kepada hamba-Nya mewajibkan 50 waktu shalat. Kemudian Beliau kembali hingga melewati Nabi Musa alaihissalam. Musa lalu bertanya kepada beliau, ‘Apa yang diperintahkan kepadamu?’ Beliau menjawab, ’50 waktu shalat’. Dia berkata, ‘Umatmu pasti tidak sanggup melakukan itu, kembalilah kepada Rabbmu dan mintalah keringanan untuk umatmu.’ Lalu Jibril membawa beliau kembali naik ke hadapan Allah. Lalu Allah menguranginya menjadi 10 waktu shalat. Kemudian ketika melewati Nabi Musa, dan beliau memberitahukan hal tersebut kepadanya. Dia berkata, ‘Kembalilah lagi kepada Rabbmu dan mintalah keringanan!’ Beliau terus mondar-mandir antara Nabi Musa dan Allah hingga akhirnya Allah menjadikannya 5 waktu shalat.[21]

D.    BAI’AT AL-‘AQABAH
1.      Bai’at al-‘Aqabah I
Pada musim haji sesudah perang Bu’ats, berangkatlah serombongan orang-orang Khazraj menuju Makkah untuk berhaji. Sesampainya di Makkah mereka ditemui Rasulullah di ‘Aqabah dan pada saat itu pula mereka mendengar dakwah beliau lalu menerimanya. Ketika tiba musim haji tahun berikutnya, datanglah ke Makkah dua belas orang penduduk Yatsrib untuk menemui Rasulullah di ‘Aqabah. Kemudian pada malam harinya mereka melakukan bai’at tanda setia kepada beliau yang disebut dengan Bai’at an-Nisa’ atau Bai’at al-Aqabah al-Ula.[22]

2.      Bai’at al-‘Aqabah II
Pada tahun 622 M terjadi sumpah setia kedua (Bai’at al-‘Aqabah al-Tsaniyah) yang berisikan pernyataan bahwa mereka tidak hanya menerima Muhammad sebagai nabssi dan menjauhi perbuatan dosa, akan tetapi juga sanggup berperang membela Tuhan dan rasul-Nya.[23] Selain itu, mereka mengharapkan Nabi Muhammad hijrah ke Yatsrib, karena mereka sangat membutuhkan seseorang yang akan menjadi pemimpin mereka dan menyelesaikan sengketa antara suku Aus dan suku Khazraj yang telah terjadi bertahun-tahun.

PENUTUP
Muhammad saw. Diangkat menjadi nabi dengan diturunkan surat al-Alaq ayat 1-5, sedangkan diangkat menjadi Rasul dengan diturunkan surat al-Muddatstsir ayat 1-5. Permulaan dakwah Rasulullah melakukan secara sembunyi-sembunyi. Kemudian dilakukan secara terang-terangan dengan turunnya surat al-Hijr ayat 94-95 dan surat as-Syu’ara’ ayat 214. Perjuangan dakwah selama periode Mekkah selama lebih kurang 13 tahun.
Dakwah periode Mekkah menghadapi tantangan yang amat berat bagi Rasulullah dan kaum muslimin. Sehingga beliau memerintahkan kaum muslimin untuk hijrah ke daerah di luar Mekkah seperti Habsyi dan Tha’if. Namun, tidak mengurangi penderitaan Rasulullah dan kaum muslimin, bahkan semakin menjadi-jadi. Sehingga pada tahun ke 13 kenabian, Rasulullah memerintahkan kaum muslimin untuk hijrah ke Madinah (Yatsrib).
Pembaca yang budiman, penulis menyadari bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan dan banyak terdapat kesalahan serta kekhilafan. Penulis sangat berharap kepada pembaca untuk memberikan kritikan dan masukan yang mendukung makalah ini. Penulis juga menyarankan kepada pembaca untuk kembali membaca dan mengoreksi ke buku-buku ulama tentang sirah Nabawiyah.

DAFTAR KEPUSTAKAAN
Al-Buthiy, Muhammad Sa’id Ramadhan, Sirah Nabawiyah, terjemahan: Aunur Rafiq Shalih Tamhid
(Jakarta: Rabbany Press, 2009) Cet. XV
Al-Mubarakfuriy, Shofiyurrahman, Perjalanan Hidup Rasul yang Agung Muhammad saw. dari Kelahiran Hingga Detik-detik Terakhir, (Jakarta: Darul Haq, 2012) Cet. XIV
Al-Sheikh, Abdullah bin Muhammad, Ringkasan  Tafsir Ibnu Katsir Jilid 8, (Bogor: Pustaka Imam Syafi’i, 2003)
An-Nadwi, Abul Hasan ‘Ali al-Hasany, Sejarah Lengkap Nabi Muhammad saw., (Jokjakarta: Mardhiyah Press, 2007) Cet. III
As-Shuyaniy, Muhammad, As-Shohih min Ahadits as-Sirah an-Nabawiyah, (Riyadh: Madar al-Wathan lin Nasyr, 2011)
 Fatmawati, Sejarah Peradaban Islam, (Batusangkar: STAIN Batusangkat Press, 2010)Jilid I
Hasan, Hasan Ibrahim, Sejarah dan Kebudayaan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2009) Cet. III
Ibnu Hisyam, as-Sirah an-Nabawiyah, al-Juz’ ats-Tsanyi, (Beirut: Dar al-Kitab al-Araby, 1990) Cet. III
Lapidus, Ira M., Sejarah Sosial Ummat Islam, bagian kesatu & dua, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1999
Thohir, Ajid, Perkembangan Peradaban  di Kawasan Dunia Islam, Melacak Akar-akar Sejarah, Sosial, Politik dan Budaya Ummat Islam, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2004)





[1] Shofiyurrahman al-Mubarakfuriy, Perjalanan Hidup Rasul yang Agung Muhammad saw. dari Kelahiran Hingga Detik-detik Terakhir, (Jakarta: Darul Haq, 2012) Cet. XIV, hal. 81
[2] Ibid
[3] Muhammad as-Shuyaniy, As-Shohih min Ahadits as-Sirah an-Nabawiyah, (Riyadh: Madar al-Wathan lin Nasyr, 2011) hal. 28
[4] Fatmawati, Sejarah Peradaban Islam, (Batusangkar: STAIN Batusangkat Press, 2010)Jilid I, hal. 30
[5] Muhammad Sa’id Ramadhan al-Buthiy, Sirah Nabawiyah, terjemahan: Aunur Rafiq Shalih Tamhid, (Jakarta: Rabbany Press, 2009) Cet. XV, hal. 60
[6] Shafiyurrahman al-Mubarakfuriy, Op. Cit., hal 93
[7] Ibid., hal. 94-95
[8] Ajid Thohir, Perkembangan Peradaban  di Kawasan Dunia Islam, Melacak Akar-akar Sejarah, Sosial, Politik dan Budaya Ummat Islam, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2004), hal. 13
[9] Abdullah bin Muhammad al-Sheikh, Ringkasan  Tafsir Ibnu Katsir Jilid 8, (Bogor: Pustaka Imam Syafi’I, 2003), hal. 568
[10] Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah dan Kebudayaan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2009) Cet. III, hal. 137
[11] Abul Hasan ‘Ali al-Hasany an-Nadwi, Sejarah Lengkap Nabi Muhammad saw., (Jokjakarta: Mardhiyah Press, 2007) Cet. III, hal. 129
[12] Ira M. Lapidus, Sejarah Sosial Ummat Islam, bagian kesatu & dua, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1999), hal. 36
[13] Ketika itu Rasulullah menyaksikan para sahabatnya menderita karena siksaan orang-orang musyrik Makkah, berkatalah beliau kepada mereka: “Kalian lebih baik hijrah ke tanah Habsyi, karena di sana rajanya terkenal adil dan bijaksana, tidak seorang pun ada yang teraniaya. Negeri Habsyi adalah negeri yang aman. Berangkatlah ke sana sampai Allah memberi jalan keluar dari penderitaan yang menimpa kalian selama ini. (Hasan Ibrahim Hasan: hal 162)
[14] Ajid Thohir, Op. Cit. hal. 14
[15] Shafiyurrahman, Op. Cit. hal. 122
[16] Op. Cit., hal. 125
[17] Shafiyurrahman al-Mubarakfuriy, Op. Cit., hal 152
[18] Shafiyurrahman al-Mubarakfuriy, Op. Cit, hal. 156
[19] Op. Cit., hal. 178
[20] Ibnu Hisyam, as-Sirah an-Nabawiyah, al-Juz’ ats-Tsanyi, (Beirut: Dar al-Kitab al-Araby, 1990) Cet. III, hal. 47
[21] Shafiyurrahman, Op. Cit., hal. 197-198
[22] Hasan Ibrahim Hasan, Op. Cit., hal. 175-176
[23] Maidir Harun dan Firdaus, Op. Cit., hal. 28

Share on Google Plus

About Unknown

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.
    Blogger Comment

0 komentar:

Post a Comment