SEJARAH PERADABAN ISLAM PERIODE NABI MUHAMMAD SAW.

MAKALAH
STUDI SEJARAH PERADABAN ISLAM

TENTANG
SEJARAH PERADABAN ISLAM PERIODE NABI MUHAMMAD SHALLALLAHU ALAIHI WA SALLAM
images 
DISUSUN OLEH:
PAUSIL     : 088142085

DOSEN PEMBIMBING:
Dr. AHMAD TAUFIK HIDAYAT, M.Ag

PRODI PENDIDIKAN BAHASA ARAB
PASCASARJANA INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
IAIN IMAM BONJOL PADANG
2014/2015

BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Kebudayaan Islam periode Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam terbagi menjadi dua periode, yakni periode Mekkah dan periode Madinah. Periode Mekkah dimulai dengan diangkatnya beliau menjadi Nabi dan Rasul. Sedangkan periode Madinah dimulai sejak Hijrahnya Rasulullah dan kaum muslimin ke Madinah setelah lebih kurang 13 tahun berdakwah di Mekkah.
Periode Mekkah, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam berdakwah menegakkan tauhid dan dasar-dasar Islam. Karena kentalnya masyarakat Mekkah dengan agama nenek moyang mereka dan keengganan mereka meninggalkan sesembahan mereka. Sehingga Nabi shallallahu alaihi wa sallam banyak mendapatkan kecaman dan siksaan selama berdakwah di Mekkah. Setelah perjuangan panjang lebih kurang 13 tahun, kemudian beliau memutuskan untuk hijrah ke Madinah. Pada periode Madinah, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam berhasil membangun dan membina masyarakat Islam yang kuat. Hal ini disebabkan karena antusiasnya masyarakat Madinah dalam memahami Islam yang diajarkan oleh Rasulullah dan para sahabat yang telah lebih dahulu masuk Islam.
Penulis dalam hal ini, Insya Allah akan membahas secara ringkas dan terbatas mengenai Sejarah Kebudayaan Islam periode Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam.
B. RUMUSAN DAN BATASAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang di atas, penulis akan merumuskan permasalahan yang akan dibahas dalam makalah ini, yakni:
  1. Arab Pra-Islam
  2. Periode Mekkah
  3. Periode Madinah
BAB II
PEMBAHASAN
SEJARAH PERADABAN ISLAM PERIODE NABI MUHAMMAD SAW.

A. ARAB PRA-ISLAM
1. Asal Usul Bangsa Arab
Para sejarawan membagi kaum-kaum Arab berdasarkan garis keturunan asal mereka menjadi tiga bagian, yaitu:
  1. Arab Ba’idah, yaitu kaum-kaum Arab kuno yang sudah punah dan tidak mungkin melacak rincian yang cukup tentang sejarah mereka, seperti ‘Ad, Tsamud, Thasm, Judais, Imlaq (bangsa Raksasa) dan lain-lainnya.
  2. Arab Aribah, yaitu kaum-kaum Arab yang berasal dari garis keturunan Ya’rib bin Yasyjub bin Qahthan, atau disebut pula Arab Qahthaniyah.
  3. Arab Musta’rabah, yaitu kaum-kaum Arab yang berasal dari garis keturunan Ismail, yang disebut pula Arab Adnaniyah.[1]
2. Politik dan Pemerintahan
Bangsa Arab sebelum Islam tidak pernah dijajah oleh bangsa asing, bahkan tidak pernah tercipta kesatuan politik di seluruh Jazirah Arab. Kerajaan-kerajaan kecil yang terdapat di Jazirah Arab bagian selatan umumnya berdaulat atas wilayah mereka yang sempit dan sebatas masyarakatnya. Mereka lebih suka hidup berkabilah-kabilah dan setiap kabilah atau suku diperintah oleh seorang syaikh, yaitu seorang yang dianggap tertua dan berani di antara anggota kabilah tersebut. Oleh karena itu, tidak ada rasa solidaritas sosial yang menyeluruh bagi semua suku Arab, bahkan hubungan kerjasama antar suku hanya didasari atas kepentingan bersama.[2]
Para penguasa di jazirah Arab bisa dibagi menjadi dua kelompok:
  1. Raja-raja bermahkota, tetapi pada hakikatnya mereka tidak memiliki independensi.
  2. Para pemimpin dan pemuka kabilah atau suku, yang memiliki kekuasaan dan hak-hak istimewa sama seperti kekuasaan para raja, mayoritas mereka memiliki independensi penuh. Namun boleh jadi sebagian mereka bersubordinasi dengan raja bermahkota.[3]
3. Sosial Kemasyarakatan
Masyarakat, baik nomadik maupun yang menetap, hidup dalam budaya kesukuan Badui. Organisasi dan identitas social berakar pada keanggotaan dalam suatu rentang komunitas yang luas. Kelompok beberapa keluarga membentuk kabilah (clan). Beberapa kelompok kabilah membentuk suku (tribe) dan dipimpin oleh seorang syaikh. Mereka sangat menekankan hubungan kesukuan, sehingga kesetiaan atau solidaritas kelompok menjadi sumber kekuatan bagi suatu kabilah atau suku. Mereka suka berperang. Karena itu, peperangan antarsuku sering sekali terjadi. Sikap ini tampaknya telah menjadi tabiat yang mendarah daging dalam diri orang Arab. Dalam masyarakat yang suka berperang tersebut, nilai wanita menjadi sangat rendah.[4] Bahkan apabila mereka melahirkan anak perempuan, mereka merasa sangat malu dan hina atau mereka kubur hidup-hidup. Sebagaimana yang terdapat dalam Firman Allah swt.:
Artinya: Padahal apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan (kelahiran) anak perempuan, wajahnya menjadi hitam (merah padam), dan dia sangat marah. Dia bersembunyi dari orang banyak, disebabkan kabar buruk yang disampaikan kepadanya. Apakah dia akan memeliharanya dengan (menanggung) kehinaan atau akan membenamkannya ke dalam tanah (hidup-hidup)? Ingatlah alangkah buruknya (putusan) yang mereka tetapkan itu.
Kalaupun anak perempuan itu dibiarkan hidup, maka akan dibiarkan dalam keadaan hina, tidak diberi warisan juga tidak diperhatikan, dan lebih cenderung mengutamakan anak laki-laki daripada anak perempuan.[5]
4. Ekonomi dan perdagangan
Terikat oleh keadaan geografis alam yang tandus, kering, dan gersang, maka pada umumnya kehidupan orang Arab sebelum Islam bersumber dari kegiatan perdagangan dan peternakan. Maka terkenallah beberapa kota di Hijaz sebagai pusat perdagangan, seperti Makkah, Madinah, Yaman, dan lain-lain.[6]
5. Moral dan agama
Kondisi akhlak dan moral masyarakat saat itu sangat merosot dan jauh dari norma-norma. Seringnya terjadi penindasan dan kekerasan, yang kuat menindas yang lemah, yang kaya menghisap yang miskin, yang pandai memeras yang bodoh, dan berkembangnya perbudakan.
Penduduk Arab menganut agama yang bermacam-macam, antara lain yang terkenal adalah penyembahan terhadap berhala atau paganisme. Menurut Syalabi penyembahan berhala itu pada mulanya ialah ketika orang-orang Arab itu pergi keluar kota Makkah, mereka selalu membawa batu yang diambil dari sekitar Ka’bah. Mereka mensucikan batu dan menyembahnya di mana mereka berada. Lama-lama dibuatlah patung yang disembah dan mereka berkeliling mengitarinya (tawaf), dan di saat-saat tertentu mereka masih mengunjungi Ka’bah. Kemudian mereka memindahkan patung-patung mereka di sekitar Ka’bah yang jumlahnya mencapai 360 buah. Di samping itu ada patung-patung besar yang ada di luar Makkah, yang terkenal ialah Manah/Manata di dekat Yasrib atau Madinah, al-Latta di Thaif, dan al-Uzza di Hijaz. Hubal ialah patung yang terbesar yang terbuat dari batu akik yang berbentuk manusia yang diletakkan dalam Ka’bah. Mereka percaya bahwa menyembah berhala-berhala itu bukan menyembah kepada wujud berhala itu tetapi hal tersebut dimaksudkan sebagai perantara untuk menyembah Tuhan.[7] Sebagaimana diterangkan di dalam al-Qur’an:
Artinya: “…Kami tidak menyembah mereka melainkan (berharap) agar mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya…”
Qatadah, as-Suddi, Malik Dari Zaid bin Aslam dan Ibnu Zaid berkata: “Melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya’, yaitu agar mereka memberikan syafa’at kepada kami dan mendekatkan kedudukan kami kepada-Nya.” Untuk itu dulu pada masa jahiliyah mereka mengucapkan talbiyah mereka di waktu haji: “Aku penuhi panggilan-Mu, tidak ada sekutu bagi-Mu kecuali sekutu yang Engkau miliki, Engkau memilikinya sedang ia tidak memiliki. Syubhat inilah yang dipegang teguh oleh kaum musyrikin sejak masa lalu dan masa berikutnya.[8]
6. Kesenian
Sekitar kota Mekkah banyak terdapat pasar-pasar kesenian. Pasar-pasar tersebut dijadikan pusat keramaian bagi penyair-penyair Arab. Di antaranya yang terkenal yaitu ‘Ukaz dan Zul Majaz. Di sini penyair-penyair membacakan syair-syairnya dan biasanya dipertandingkan di antara mereka. Bagi yang terbaik mendapat mu’alaqat sebagai tanda penghargaan. Mu’alaqat semacam piagam berisikan syair sang juara yang ditulis dengan tinta emas dan digantungkan di dinding Ka’bah.[9]
7. Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
Di kalangan bangsa Arab sebelum Islam berkembang ilmu nujum, ilmu falaq dan sebagainya. Ilmu falaq amat berguna bagi mereka untuk menentukan cuaca. Ilmu arsitek/bangunan hanya berguna/berkembang pada umumnya di Yaman.[10]

B. PERIODE MEKKAH
1. Masa kelahiran Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam
Sayyidul Mursalin dilahirkan di tengah kabilah bani Hasyim di Mekkah pada hari Senin 9 Rabi’ul Awal saat tragedi pasukan bergajah, bertepatan pada tanggal 20 atau 22 April 571 M.[11] Menurut Caussin De Parceval dalam essai sur l’ Histoire des Arabes menyatakan bahwa Muhammad dilahirkan pada bulan Agustus 570 M. Tetapi pada umumnya mengatakan bahwa dia dilahirkan pada tanggal 12 Rabi’ul Awal.[12]
Abdul Muthallib, kakek Nabi Muhammad ketika mendengar kabar kelahiran cucunya, beliau langsung mendatanginya dan menggendongnya mengelilingi Ka’bah sebanyak tujuh kali, dan ia berkata: “Wahai cucuku yang diberkati Allah, aku akan menamaimu Muhammad. Kelahiran ini diiringi dengan kesucian dan kemenangan bagi Rumah Suci, semoga berkah selalu baginya!”[13]
Beliau lahir dalam keadaan yatim, karena ayahnya Abdullah meninggal dunia ketika Muhammad masih dalam kandungan ibunya Aminah. Muhammad kemudian diserahkan kepada ibu pengasuh Halimah Sa’diyah, yang sebelumnya disusui oleh budak perempuan Abu Jahal yaitu Tsuwaibah.[14] Selama itu beliau saw. banyak membawa keberkahan terhadap keluarga Halimah as-Sa’diyah. Lebih kurang empat sampai lima tahun beliau tinggal di perkampungan kabilah Bani Sa’ad, hingga terjadinya peristiwa dibelahnya dada beliau. Dalam peristiwa tersebut Jibril membelah jantungnya dan mengeluarkan segumpal darah yang merupakan bagian setan, sehingga bila tetap ada niscaya ia dapat memperdayai Muhammad. Kemudian jantubg tersebut dicuci denga air zamzam dan dikembalikan ke tempatnya semula. Setelah itu, kurang lebih dua tahun dia berada dalam asuhan ibu kandungnya. Ketika berusia enam tahun, dia menjadi yatim piatu.
Setelah Aminah meninggal, Abdul Muthalib megambil alih tanggung jawab merawat Muhammad. Namun, dua tahun kemudian Abdul Muthalib meninggal dunia karena renta. Tanggung jawab selanjutnya beralih kepada pamannya, Abu Thalib.
Dalam usia muda, Muhammad hidup sebagai pengembala kambing keluarganya dan keluarga penduduk Mekkah. Melalui kegiatan pengembalaan ini dia menemukan tempat untuk berpikir dan merenung.
Nabi Muhammad ikut untuk pertama kali dalam kafilah dagang ke Syria (Syam) dalam usia baru 12 tahun. Kafilah itu dipimpin oleh Abu Thalib. Dalam perjalanan ini, di Bushra, sebelah selatan Syria, ia bertemu dengan seorang pendeta Kristen bernama Buhairah. Pendeta ini melihat tanda-tanda kenabian pada Muhammad sesuai dengan petunjuk cerita-cerita Kristen. Sebagian sumber menceritakan bahwa pendeta itu menasehati Abu Thalib agar jangan terlalu jauh memasuki daerah Syria, sebab dikhawatirkan orang-orang Yahudi mengetahui tanda-tanda itu akan berbuat jahat terhadapnya.
Pada usia yang kedua puluh lima, Muhammad berangkat ke Syria membawa barang dagangan saudagar wanita kaya raya yang telah lama menjanda, Khadijah yang kemudian menjadi istrinya. Ketika itu Muhammad berusia 25 tahun dan Khadijah 40 tahun.
Peristiwa penting yang memperlihatkan kebijaksanaan Muhammad terjadi pada saat usianya 35 tahun. Waktu itu bangunan Ka’bah rusak berat. Ketika terjadi perselisihan mengangkat dan meletakkan hajar aswad di tempatnya semula, karena setiap suku merasa berhak malakukannya. Kemudian para pemimpin Qurays sepakat bahwa orang yang pertama masuk ke Ka’bah melalui pintu Shafa, akan dijadikan hakim untuk memutuskan perkara ini. Ternyata Muhammad yang pertama kali masuk dan yang dipercaya menjadi hakim. Ia membentangkan kain dan meletakkan hajar aswad di tengah-tengah, lalu meminta seluruh kepala suku memegang tepi kain itu dan mengangkatnya bersama-sama. Setelah sampai pada ketinggian tertentu Muhammad meletakkan batu itu pada tempatnya semula.
2. Masa Kenabian dan Kerasulan Muhammad shallallahu alaihi wa sallam
Tatkala usia beliau mendekati 40 tahun, beliau mulai suka mengasingkan diri. Ketika pengasingan diri (uzlah) di gua Hira’ memasuki tahun ketiga tepatnya di bulan Ramadhan Allah mengangkatnya sebagai nabi dengan mengutus Jibril kepadanya yang membawa beberapa ayat al-Qur’an, yaitu surat al-‘Alaq ayat 1-5. Itulah wahyu pertama. Malam terjadinya peristiwa itu kemudian dikenal sebagai “Malam penuh keagungan” (Lailah al-Qadr), dan menurut riwayat terjadi menjelang akhir bulan Ramadhan (610).[15] Kemudian, Allah memuliakan beliau dengan mengangkat menjadi rasul dengan diturunkannya al-Qur’an surat al-Mudatsir ayat 1-5, sebelumnya wahyu tidak diturunkan (vakum) beberapa hari setelah wahyu pertama.
a. Perjuangan Dakwah
Secara umum, pada periode Mekkah, kebijakan dakwah yang dilakukan Nabi Muhammad adalah dengan menonjolkan kepemimpinannya, bukan kenabiannya. Implikasinya, dakwah dengan strategi politik yang memunculkan aspek-aspek keteladanannya dalam menyelesaikan berbagai persoalan sosial (egalitarisme) lebih tepat dibandingkan dengan aspek kenabiannya dengan melaksanakan tabligh.[16]
Permulaan dakwah Rasulullah disampaikan kepada kerabat dekat dan para tokoh masyarakat Quraisy seperti Abu Bakar as-Siddiq sebagai sahabat beliau yang paling tulus. Orang yang pertama kali masuk Islam adalah Khadijah, Zaid bin Haritsah, Ali bin Abi Thalib, Abu Bakar as-Siddiq, Utsman bin ‘Affan, az-Zubair bin al-‘Awwam, Sa’ad bin Abi Waqqas, Abdurrahman bin Auf, dan Thalhah bin ‘Ubaidillah. Kemudian diikuti oleh para tokoh Quraisy seperti ‘Ubaidah bin al-Jarrah, al-Arqam bin Abu al-Arqam,[17] dan lain-lain. Perjuangan dakwah ini dilakukan secara rahasia yang berpusat di rumah al-Arqam bin Abu al-Arqam. Dakwah yang bersifat individu ini berjalan selama lebih kurang tiga tahun, kemudian turunlah perintah kepada Nabi saw., untuk menyampaikan dakwah kepada kaumnya secara terang-terangan, dan menentang kebatilan mereka serta menyerang berhala-berhala mereka.
Tatkala turun perintah dakwah dari Allah subhanahu wa ta’ala secara terang-terangan dan melawan kemusyrikan, sebagaimana yang terdapat dalam al-Qur’an surat al-Hijr ayat 94-95:
فَاصْدَعْ بِمَا تُؤْمَرُ وَأَعْرِضْ عَنِ الْمُشْرِكِيْنَ. إِنَّا كَفَيْنَكَ الْمُسْتَهْزِءِيْنَ (الحجر: 94-95)
Artinya:  Maka sampaikanlah olehmu secara terang-terangan segala apa yang diperintahkan (kepadamu) dan berpalinglah dari orang-orang musyrik. Sesungguhnya Kami memelihara kamu daripada (kejahatan) orang-orang yang memperolok-olok (kamu). (Q.S. al-Hijr: 94-95)
dan tatkala turun ayat:
وَ أَنْذِرْ عَشِيْرَتَكَ الأَقْرَبِيْنَ (الشعراء: 214)
Artinya: Dan berilah peringatan kepada keluargamu yang terdekat. (Q.S. asy-Syu’ara’: 214)
Rasulullah naik ke atas bukit Shafa, lalu menyeru kepada kabilah-kabilah Quraisy. Kemudian tak berapa lama mereka pun berkumpul. Lalu Beliau berkata, “Bagaimana menurut pendapat kalian kalau aku beritahukan bahwa ada segerombolan pasukan kuda di lembah sana yang ingin menyerang kalian, apakah kalian akan mempercayaiku?” Mereka menjawab, “Ya, kamu tidak pernah tahu dari dirimu selain kejujuran.” Beliau berkata, “Sesungguhnya aku adalah pemberi peringatan kepada kalian akan azab yang amat pedih.” Abu Lahab menanggapi, “Celakalah engkau sepanjang hari! Apakah hanya untuk ini engkau kumpulkan kami?”
Maka ketika itu turun ayat: تَبَّتْ يَدَآ أَبِي لَهَبٍ وَ تَبَّ “Celakalah kedua tangan Abu Lahab” (Q.S. Al-Lahab: 1). Yakni benar-benar merugi lagi gagal, amal perbuatan dan usahanya pun tersesat.[18]
Rasulullah melakukan dakwah Islam secara terang-terangan di tempat-tempat berkumpul dan bertemunya kaum musyrikin. Beliau membacakan Kitabullah dan menyampaikan ajakan yang selalu disampaikan oleh para rasul terdahulu kepada kaum mereka, “Wahai kaumku! Sembalah Allah. Kalian tidak memiliki Tuhan selainNya”. Dan beliau juga memamerkan praktik ibadahnya kepada Allah, melakukannya di halaman Ka’bah pada siang hari dan disaksikan oleh khalayak ramai. Dakwah yang beliau lakukan tersebut mendapat sambutan baik dari mereka sehingga banyak di antara mereka yang masuk ke dalam agama Islam.
Manakala musim haji telah datang yang dilakukan Rasulullah adalah membututi jama’ah-jama’ah yang datang hingga sampai ke tempat-tempat mereka, di pasar ‘Ukazh, Majinnah, dan Dzul Majaz. Beliau mengajak mereka untuk menyembah Allah, sedangkan Abu Lahab selalu membututi dan memotong setiap ajakan beliau dengan berbalik mengatakan kepada mereka “Jangan kalian patuhi dia karena dia adalah seorang pembawa agama baru lagi pendusta”. Dan kenyataannya, justru dari musim itulah perihal Rasulullah menjadi pusat perhatian delegasi Arab dan namanya menjadi buah bibir orang di seantero negeri Arab.
Seiring banyaknya orang yang membenarkan ajakan Beliau, seiring dengan itu kebencian para pembesar Quraisy yang enggan menerima dakwah Rasul juga semakin membara. Sehingga begitu banyak celaan, cobaan, dan siksaan yang diterima oleh Nabi dan orang Islam saat itu. Di antaranya Ammar bin Yasir dan kedua orang tuanya pernah diseret oleh orang-orang Quraisy ke al-Abthah untuk disiksa. Bahkan kedua orang tuanya ditikam oleh Abu Jahal dengan lembih hingga menjadi syahid. Di antara kaum muslimin yang sangat berat siksaannya adalah Bilal, dia adalah seorang budak Habsyi yang digambarkan oleh Rasulullah sebagai buah pertama dari kaum Habsyi. Selain itu, yang juga menerima siksaan yang berat ialah Khabbab bin al-Arut. Siksa yang menimpa kaum muslimin ketika itu tidak hanya dirasakan oleh kaum laki-laki, juga kaum perempuan. Alkisah Labinah, seorang budak perempuan kepunyaan Bani Mu’min yaitu Hay Bani ‘Addi bin Ka’b) masuk Islam, kemudian Labinah dibeli oleh Abu Bakar as-Shiddiq dan memerdekakannya. [19]
b. Dakwah di luar kota Makkah
1) Kaum muslimin Hijrah ke Habsyi
Pada awal tahun 615 M[20] kaum muslimin hijrah ke Habsyi. Penganiayaan dan intimidasi orang-orang Quraisy merupakan ujian yang hebat bagi Nabi Muhammad dan pengikut-pengikutnya. Salah satu langkah antisipatif penyelamatan, Nabi Muhammad telah memerintahkan untuk berhijrah ke Habasyah[21] (Habsyi) yang waktu itu dipimpin oleh Najasyi, seorang yang beragama Nasrani.[22] Rombongan ini terdiri dari 12 orang laki-laki dan empat orang wanita, dikepalai oleh Utsman bin Affan.[23]
Pada tahun yang sama, tepatnya di bulan Syawwal rombongan ini kembali ke Makkah, karena berita dusta tentang peristiwa Gharaniq, bahwa orang-orang Quraisy telah masuk Islam. Ternyata berita tersebut berbanding terbalik, sehingga setelah di Mekkah kaum Quraisy semakin menjadi-jadi melakukan penyiksaan terhadap kaum muslimin. Oleh karena itu, Rasulullah kembali memerintahkan kaum muslimin untuk kembali ke Habasyah (Habsyi). Rombongan yang kedua ini terdiri dari 83 laki-laki dan 18 atau 19 perempuan.[24]
2) Hijrah ke Tha’if
Pada bulan Syawwal tahun ke-10 kenabian atau tepatnya pada penghujung bulan Mei atau awal Juni tahun 619 M Rasulullah pergi menuju kota Thaif yang letaknya sekitar 60 mil dari kota Makkah.[25] Dengan harapan semoga Allah memberikan petunjuk kepada penduduknya untuk memeluk agama Islam. Pada kenyataannya penduduk Tha’if justru menolak beliau dengan penolakan yang lebih buruk. Mereka menuntut beberapa mukjizat tertentu darinya seperti mereka meminta agar beliau dapat membelah bulan menjadi dua, lalu beliau memohonkan kepada Allah agar memperlihatkan kepada mereka. Namun, mereka tetap pada kekafirannya.
3. Isra’ Mi’raj
Isra’ yaitu Rasulullah diperjalankan dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsho yaitu Baitul Maqdis setelah menyebarkan Islam di Mekkah kepada orang-orang Quraisy dan kabilah-kabilahnya.[26] Mi’raj yaitu perjalanan Rasulullah dari Baitul Maqdis naik ke langit ke tujuh.[27]
Malam itu Beliau dimi’rajkan dari Baitul Maqdis menuju langit dunia. Di sana beliau melihat Adam, bapak manusia. Kemudian beliau dimi’rajkan ke langit kedua, di sana beliau melihat Nabi Yahya alaihissalam dan Isa alaihissalam. Kemudian beliau dimi’rajkan ke langit ketiga, di sana beliau melihat nabi Yusuf alaihissalam. Kemudian beliau dimi’rajkan ke langit keempat, di sana beliau melihat Nabi Idris alaihissalam. Kemudian beliau dimi’rajkan ke langit kelima, di sana beliau melihat Nabi Harun alaihissalam. Kemudian beliau dimi’rajkan ke langit keenam, di sana beliau melihat Nabi Musa alaihissalam. Kemudian beliau dimi’rajkan ke langit ketujuh, di sana beliau bertemu dengan Nabi Ibrahim alaihissalam. Kemudian beliau naik ke Sidratul Muntaha, lalu al-Bait al-Ma’mur dinaikkan untuknya. Kemudian beliau dimi’rajkan lagi menuju Allah yang Maha Agung lagi Mahaperkasa. Kemudian Dia mewahyukan kepada hamba-Nya mewajibkan 50 waktu shalat. Kemudian Beliau kembali hingga melewati Nabi Musa alaihissalam. Musa lalu bertanya kepada beliau, ‘Apa yang diperintahkan kepadamu?’ Beliau menjawab, ’50 waktu shalat’. Dia berkata, ‘Umatmu pasti tidak sanggup melakukan itu, kembalilah kepada Rabbmu dan mintalah keringanan untuk umatmu.’ Lalu Jibril membawa beliau kembali naik ke hadapan Allah. Lalu Allah menguranginya menjadi 10 waktu shalat. Kemudian ketika melewati Nabi Musa, dan beliau memberitahukan hal tersebut kepadanya. Dia berkata, ‘Kembalilah lagi kepada Rabbmu dan mintalah keringanan!’ Beliau terus mondar-mandir antara Nabi Musa dan Allah hingga akhirnya Allah menjadikannya 5 waktu shalat.[28]
4. Bai’at al-‘Aqabah
Pada musim haji sesudah perang Bu’ats, berangkatlah serombongan orang-orang Khazraj menuju Makkah untuk berhaji. Sesampainya di Makkah mereka ditemui Rasulullah di ‘Aqabah dan pada saat itu pula mereka mendengar dakwah beliau lalu menerimanya. Ketika tiba musim haji tahun berikutnya, datanglah ke Makkah dua belas orang penduduk Yatsrib untuk menemui Rasulullah di ‘Aqabah. Kemudian pada malam harinya mereka melakukan bai’at tanda setia kepada beliau yang disebut dengan Bai’at an-Nisa’ atau Bai’at al-Aqabah al-Ula.[29]
Pada tahun 622 M terjadi sumpah setia kedua (Bai’at al-‘Aqabah al-Tsaniyah) yang berisikan pernyataan bahwa mereka tidak hanya menerima Muhammad sebagai nabi dan menjauhi perbuatan dosa, akan tetapi juga sanggup berperang membela Tuhan dan rasul-Nya.[30] Selain itu, mereka mengharapkan Nabi Muhammad hijrah ke Yatsrib, karena mereka sangat membutuhkan seseorang yang akan menjadi pemimpin mereka dan menyelesaikan sengketa antara suku Aus dan suku Khazraj yang telah terjadi bertahun-tahun.

C. PERIODE MADINAH
1. Hijrah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam
Melihat pesatnya dakwah Islam di Yatsrib dan masuknya suku Aus dan Khazraj, maka Nabi saw. memerintahkan umatnya untuk berhijrah ke kota itu secara perorangan atau kelompok kecil agar tidak diketahui oleh orang-orang Quraisy.[31] Sedangkan Nabi sendiri menyusul dan sampai di sana pada 24 September 622,[32] yang ditemani oleh Abu Bakar as-Shiddiq.
2. Membangun masyarakat Islam
Selama 13 tahun Nabi saw. telah menegakkan tauhid di Mekkah dengan penuh tantangan dan siksaan dari kaum kafir Quraisy. Selama itu belum terbentuk komunitas Islam karena jumlah yang sedikit dan penuh tekanan musuh. Maka ketika Nabi hijrah ke Madinah, barulah terbentuk masyarakat Islam.
Usaha Nabi saw. dalam membangun masyarakat Islam di Madinah yaitu:
a. Membentuk pemerintahan
Nabi Muhammad saw. di samping sebagai rasul, beliau diangkat oleh suku Auz dan Khazraj sebagai pemimpin. Usaha yang dilakukan Nabi untuk mengatur umat Islam di Madinah membentuk konstitusi yang disebut dengan Piagam Madinah, yang berisi 47 pasal diantaranya 5 poin yang terpenting yaitu:
1) Bahwa komunitas ini mempunyai kepentingan agama dan politik
2) Kemerdekaan beragama terjamin bagi semua komunitas
3) Seluruh penduduk Madinah memiliki toleransi moril dan materil serta menangkal agresi yang ditujukan kepada Madinah
4) Rasulullah adalah pemimpin tertinggi penduduk Madinah
5) Penetapan dasar politik, ekonomi, dan sosial bagi setiap komunitas.
b. Pembentukan sistem sosial kemasyarakatan
Rasulullah mempersaudarakan di antara kaum muslimin. Mereka kemudian membagikan rumah yang mereka miliki, bahkan juga istri-istri dan harta mereka. Rasulullah telah menciptakan sebuah kesatuan yang berdasarkan agama sebagai pengganti dari persatuan yang berdasarkan kabilah.[33]
c. Dakwah
Rasulullah mendirikan mesjid sebagai tempat penyelenggaraan ibadah dan pendidikan agama, juga menjadi pusat pertemuan umat Islam untuk bermusyawarah.
d. Militer
Nabi Muhammad saw. membentuk pasukan perang yang terdiri dari kaum Muhajirin dan kaum Anshar, karena sering terjadi peperangan.
e. Ekonomi dan Sumber Keuangan Negara
Rasulullah saw. memperhatikan dan mengatur perdagangan dan transaksi sesuai dengan norma-norma yang dianjurkan. Seperti bersikap adil, kesaksian yang jujur, dan tidak melakukan praktik riba. Tentang pengolahan pertanian beliau menyerahkan kepada masyarakat Madinah, karena mereka lebih ahli daripada orang-orang Mekkah.
3. Masa Peperangan
a. Perang Badar al-Kubra
Perang ini terjadi di Badar, 144,5 km sebelah barat daya Madinah pada bulan Ramadhan.[34] Besar kekuatan umat Islam sebanyak 313 orang laki-laki, sementara dari kaum kafir Quraisy berjumlah sekitar 1000 orang. Berkat pertolongan Allah kemudian dengan perjuangan umat Islam yang dipimpin oleh Nabi saw., umat Islam mampu memukul mundur pasukan kafir Quraisy.
b. Perang Uhud
Perang ini terjadi tahun 625 M[35] pada pertengahan bulan Sya’ban pada tahun kedua Hijriyah. Perang ini disebabkan oleh perasaan dendam kaum kafir Quraisy yang meluap karna kekalahannya pada perang Badar. Dalam perang ini kaum muslimin mengalami kekalahan dan tidak luput Rasulullah pun terluka dan gigi serinya tanggal.
c. Perang Ahzab (Khandaq)
Perang ini terjadi pada tahun kelima Hijriyah, disebabkan oleh rasa dendam orang-orang kafir Quraisy masih tersisa dan mereka mengira bahwa Nabi Muhammad telah kalah dan tersingkir karena perang Uhud. Perang ini dinamakan khandaq karena usulan dari Salman al-Farisi untuk menggali parit. Sebelumnya, kaum muslimin dibaikot sehingga mengalami kelaparan. Saking laparnya Rasulullah dan kaum muslimin sampai mereka meletakkan batu pada perut.
d. Perang Khaibar
Terjadi pada bulan Muharram tahun ketujuh Hijriyah, yang disebabkan oleh orang-orang Khaibar yang menjadi sarang makar, pusat konspirasi, tempat memprovokasi, sumber keonaran, dan pemicu api peperangan. Mereka menghasut bani Quraizhah melakukan pengkhianatan dan bersekutu dengan kaum Zindiq.
e. Fathul Mekkah
Perang ini terjadi pada tahun kedelapan Hijriyah yang disebabkan karena pelanggaran kaum kafir Quraisy terhadap perjanjian Hudaibiyah. Rasulullah saw. mengingatkan para sahabat bahwa Abu Sufyan akan datang ke Madinah untuk memperkuat perdamaian dan memperpanjang masanya.[36] Dalam peristiwa ini terjadi penaklukan besar-besaran yang dengannya Allah memuliakan agama, Rasul, tentara, dan kelompoknya yang terpercaya. Dengannya terselamatkanlah tanah suci dan rumah-Nya yang dia jadikan sebagai petunjukbagi alam semesta dari cengkeraman orang-orang kafir dan musyrik.[37]
4. Wafatnya Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam
Pada tanggal 28 atau 29 bulan Safar tahun 11 Hijriyah Rasulullah saw. menghadiri penguburan jenazah seorang sahabat di Baqi’. Ketika kembali, di tengah perjalanan beliau merasakan pusing dan panas mulai merambat disekujur tubuh. Nabi shalat bersama para sahabat dalam keadaan sakit selama 11 hari, sedangkan jumlah hari sakit beliau adalah 13 atau 14 hari.[38] Rasulullah saw. wafat pada saat waktu Dhuha sedang panas-panasnya, yaitu pada hari senin 12 Rabi’ul Awwal tahun 11 Hijriyah, umur beliau saat itu telah mencapai 63 tahun lebih empat hari.
Rasulullah saw. hidup tiga tahun lamanya setelah memakan kambing yang telah diracuni di Khaibar sampai beliau jatuh sakit yang mengantarkan kepada kematian. [39] Dari Aisyah r.a., dia berkata: Nabi saw bersabda pada saat sakitnya yang mengantarkan beliau pada kematian, “Wahai Aisyah, aku masih merasakan sakitnya makanan yang telah aaku makan di Khaibar. Maka inilah saatnya aku merasakan aortaku mulai berhenti disebabkan racun tersebut”.” (H.R. Bukhari)
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Adapun kesimpulan dari uraian di atas, yaitu:
  1. Keadaan masyarakat Mekkah sebelum munculnya cahaya Islam sangat jauh dari kemanusiawian. Misalnya, membunuh bayi perempuan, merendahkan kaum perempuan, maraknya perjudian, bermain perempuan, khamar, dan lain sebagainya.
  2. Masa kecil sampai masa remaja Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam merupakan teladan yang baik bagi manusi. Kehidupan yang penuh kemandirian dan ketekunan sudah selayaknya jadi figur bagi pemuda-pemuda Islam.
  3. Dakwah Islam periode Mekkah berlangsung lebih kurang 13 tahun dengan menegakkan tauhid dan dasar-dasar Islam.
  4. Dakwah Islam periode Madinah menyempurnakan perintah-perintah ibadah dan muamalah serta berperang membela agama Allah dan Rasul-Nya
  5. Rasulullah wafat tidaklah mewariskan uang Dinar dan Dirham, tetapi beliau mewariskan Ilmu. Maka siapa yang mengambil warisan Rasulullah, maka ia telah mengambil bagian yang sangat banyak.
B. KRITIK DAN SARAN
Penulis menyadari bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan. Maka penulis sangat mengharapkan kritikan yang dapat mendukung untuk lebih baiknya di masa yang akan datang. Penulis juga menyarankan kepada pembaca, agar membaca buku-buku yang berkaitan dengan Sejarah Peradaban Islam terutama periode Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan buku-buku sirah Nabawiyyah yang telah banyak ditulis oleh para ulama dan peneliti sejarah. Hanya kepada Allah kita memohon pertolongan dan perlindungan, semoga makalah ini bermanfaat bagi penulis dan pembaca sekalian.
[1] Shafiyurrahman al-Mubarakfuri, Perjalanan Hidup Rasul yang Agung Muhammad saw. dari Kelahiran Hingga Detik-Detik Terakhir, (Terjemahan dari judul asli: ar-Rahiq al-Makhtum), (Jakarta: Darul Haq, 2012), Cet. XIV hal. 2-3
[2] Ali Hasan al-Karbuthli (Maidir Harun dan Firdaus, Sejarah Peradaban Islam, (Padang: IAIN-IB Press, 2001), hal 17)
[3] Shafiyurrahman al-Mubarakfuri, Op. Cit. hal. 12
[4] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam (Dirasah Islamiyah II), (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2006) hal. 11
[5] Tafsir Ibnu Katsir (Terjemahan: M. Abdul Ghaffar dan Abdurrahim Mu’thi, Tafsir Ibnu Katsir Jilid 5, (Bogor: Pustaka Imam Syafi’I, 2003) Cet. I, hal. 73)
[6] Maidir Harun dan Firdaus, Sejarah Peradaban Islam, (Padang: IAIN-IB Press, 2001), hal 20
[7] Ali Mufrodi, Islam di Kawasan Kebudayaan Arab, (Jakarta: Logos, 1997) Cet. I, hal. 8-9
[8] Tafsir Ibnu Katsir (Terjemahan: M. Abdul Ghaffar dan Abdurrahim Mu’thi, Tafsir Ibnu Katsir Jilid 7, (Bogor: Pustaka Imam Syafi’i, 2003) Cet. I, hal. 87)
[9] Maidir Harun dan Firdaus, Op. Cit. hal 22
[10] Maidir Harun dan Firdaus, ibid
[11] Shafiyurrahman al-Mubarakfuri, ar-Rahiq al-Makhtum, Bahtsun fi as-Sirah an-Nabawiyah ‘ala Shohibiha Afdhalu ash-Sholatu wa as-Salam, (Beirut: Dar al-Fikr, 2008) Cet. I, hal 36
[12] Muhammad Husain Haekal, Sejarah Hidup Muhammad, (Jakarta: Litera AntarNusa, 1993) Cet. XVI, hal. 49
[13] Tahia al-Ismail, Tarikh Muhammad saw. Teladan Perilaku Ummat, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1996) Cet. I, hal 12
[14] Tahia al-Ismail, Op. Cit. hal. 13
[15] Philip K. Hitti, History of The Arabs; From the Earliest Times to the Present, (Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2010), Cet. II, hal. 141
[16] Ajid Thohir, Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia Islam, Melacak Akar-akar Sejarah, Sosial, Politik dan Budaya Ummat Islam, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2004), hal. 13
[17] Shafiyurrahman al-Mubarakfuri, Op. Cit., hal 93
[18] Abdullah bin Muhammad al-Sheikh, Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir Jilid 8, (Bogor: Pustaka Imam Syafi’I, 2003), hal. 568
[19] Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah dan Kebudayaan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2009) Cet. III, hal. 137
[20] Ira M. Lapidus, Sejarah Sosial Ummat Islam, bagian kesatu & dua, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1999), hal. 36
[21] Ketika itu Rasulullah menyaksikan para sahabatnya menderita karena siksaan orang-orang musyrik Makkah, berkatalah beliau kepada mereka: “Kalian lebih baik hijrah ke tanah Habsyi, karena di sana rajanya terkenal adil dan bijaksana, tidak seorang pun ada yang teraniaya. Negeri Habsyi adalah negeri yang aman. Berangkatlah ke sana sampai Allah member jalan keluar dari penderitaan yang menimpa kalian selama ini. (Hasan Ibrahim Hasan: hal 162)
[22] Ajid Thohir, Op. Cit. hal. 14
[23] Shafiyurrahman, Op. Cit. hal. 122
[24] Op. Cit., hal. 125
[25] Op. Cit., hal. 178
[26] Ibnu Hisyam, as-Sirah an-Nabawiyah, al-Juz’ ats-Tsanyi, (Beirut: Dar al-Kitab al-Araby, 1990) Cet. III, hal. 47
[27] Philip K. Hitti, Op. Cit., hal. 143
[28] Shafiyurrahman, Op. Cit., hal. 197-198
[29] Hasan Ibrahim Hasan, Op. Cit., hal. 175-176
[30] Maidir Harun dan Firdaus, Op. Cit., hal. 28
[31] Ali Mufrodi, Op. Cit., hal. 23
[32] Philip K. Hitti, Op. Cit., hal. 145
[33] Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2008) hal. 63
[34] Philip K. Hitti, Op. Cit., hal. 146
[35] Ira M. Lapidus, Op. Cit. Hal. 47
[36] Ibnu Hazam al-Andalusy, Jawami’as-Sirah an-Nabawiyah, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiah), hal. 177
[37] Ibnu Qoyyim al-Jauziyah, Zad al-Ma’ad, (Mesir: al-Mathba’ah al-Misriyyah, 1927), hal. 160
[38] Shafiyurrahman, Op. Cit., hal. 693
[39] Sa’id bin Ali bin Wahf al-Qahthani, Pesan-pesan Rasulullah Menjelang Wafat, (Jakarta: Darul Haq, 2013), hal. 131
DAFTAR KEPUSTAKAAN
 Armstrong, Karen, Muhammad Prophet for Our Time, (Bandung: Mizan, 2007) Cet. I
Al-Andalusy, Ibnu Hazm, Jawami’ as-Sirah an-Nabawiyah, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmia)
Al-Ismail, Tahia, Tarikh Muhammad Teladan Perilaku Ummat, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada 1996) Cet. I
al-Jauziyah, Ibnu Qoyyim, Zad al-Ma’ad, (Mesir: al-Mathba’ah al-Misriyyah, 1927)
al-Mubarakfuri, Shafiyurrahman, Perjalanan Hidup Rasul yang Agung Muhammad saw. dari Kelahiran Hingga Detik-Detik Terakhir, (Jakarta: Darul Haq, 2012), Cet. XIV
___________, ar-Rahiq al-Makhtum, (Beirut: Dar al-Fikr, 2008)
Al-Qahthani, Sa’id bin Ali bin Wahf, Pesan-pesan Rasulullah saw. Menjelang Wafat, (Jakarta: Darul Haq, 2013) Cet. V
al-Sheikh, Abdullah bin Muhammad, Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir Jilid 5, (Bogor: Pustaka Imam Syafi’I, 2003)
___________, Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir Jilid 7, (Bogor: Pustaka Imam Syafi’I, 2003)
___________, Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir Jilid 8, (Bogor: Pustaka Imam Syafi’I, 2003)
Haekal, Muhammad Husain, Sejarah Hidup Muhammad, (Jakarta: Litera AntarNusa, 1993) Cet. XVI
Harun, Maidir, dan Firdaus, Sejarah Peradaban Islam, (Padang: IAIN-IB Press, 2001)
Hasan, Hasan Ibrahim, Sejarah Kebudayaan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2009) Cet. III
Hitti, Philip K., History of The Arabs; From the Earliest Times to the Present, (Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2010), Cet. II
Ibnu Hisyam, as-Sirah an-Nabawiyah, al-Juz’ ats-Tsanyi, (Beirut: Dar al-Kitab al-Araby, 1990) Cet. III
Lapidus, Ira M, Sejarah Sosial Ummat Islam (Bagian kesatu & Dua), (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1999) Cet. I
Mufrodi, Ali, Islam di Kawasan Kebudayaan Arab, (Jakarta: Logos, 1997) Cet. I
Supriyadi, Dedi, Sejarah Peradaban Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2008)
Thohir, Ajid, Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia Islam (Melacak Akar-akar Sejarah, Sosial, Politik, dan Budaya Umat Islam), (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2004) Cet. I
Yatim, Badri, Sejarah Peradaban Islam (Dirasah Islamiyah II), (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2006)

Share on Google Plus

About Unknown

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.
    Blogger Comment

0 komentar:

Post a Comment