SIRAH NABAWIYAH
SIRAH
NABI MUHAMMAD SAW. TAHUN KE 6 HIJRIYAH
A.
PERTEMPURAN
BANI LIHYAN
Bani
Lihyan adalah orang-orang yang telah berbuat licik terhadap sepuluh orang
sahabat Rasulullah saw. pada tragedi ar-Raji’ dan menyebabkan kematian
mereka. Akan tetapi karena daerah mereka masuk dalam wilayah Hijaz dan
berbatasan langsung dengan Mekkah, sedangkan pertentangan yang begitu sengit
sedang berlangsung antara orang-orang Islam dan kaum Quraisy serta suku-suku Arab badui, maka Nabi
tidak melihat perlu memasuki wilayah-wilayah tersebut, dekat dengan posisi
musuh terbesar. Dan ketika pasukan gabungan mulai tidak peduli lagi, semangat
mereka sudah mengendur dan karena kondisi saat itu mereka lebih bersikap tenang
untuk beberapa waktu. Akhirnya Nabi memandang sudah saatnya untuk menuntaskan
dendam terhadap bani Lihyan atas terbunuhnya sahabat beliau pada tragedi ar-Raji’.[1]
Setelah
kembali dari bani Quraizhah Rasulullah menetap di Madinah selama bulan
Dzul-hijjah, Muharram, Shafar, Rabi’ul Awwal, dan Rabi’ul Akhir. Pada bulan
Jumadil Ula tepatnya enam bulan pasca penaklukan Bani Quraizhah, beliau keluar
dari Madinah menuju Bani Lihyan guna mencari sahabat-sahabat yang beliau kirim
ke Ar-Raji’ yaitu Khubaib bin Adi dan lain-lain. Rasulullah
memperlihatkan diri seolah-olah hendak pergi ke Syam agar bisa mencari
kelengahan Bani Lihyan. Rasulullah mengangkat Ibnu Ummi Maktum sebagai penguasa
sementara atas Madinah.[2]
Ibnu
Ishaq mengatakan: Rasulullah keluar dari Madinah berjalan melintasi Ghurab,
gunung di tepian Madinah ke arah Syam. Melintasi Makhidh lalu ke Al-Batra’
belok kiri dan keluar di Biin. Lalu melintasi Shukhairatul Yamam, berjalan
lurus menuju Al-Mahajjah dari jalan Makkah, meningkatkan tempo perjalanan
hingga turun di Ghuran yang merupakan tempat tinggal Bani Lihyan. Ghuran adalah
lembah antara Amaj dengan Usfan. menuju daerah yang bernama Sayah. Rasulullah
saw. mendapati orang-orang Bani Lihyan siap siaga dan berlindung di puncak
gunung. Ketika Rasulullah turun di Sayah dan beliau merasa gagal menipu mereka,
beliau bersabda: ‘Seandainya kita turun ke Usfan, orang-orang Makkah pasti
melihat kita hendak mendatangi mereka’. Setelah itu, Rasulullah meneruskan
perjalanan bersama dua ratus penunggang unta dari para sahabat hingga turun di
Usfan, mengutus dua penunggang kuda dari para sahabat hingga keduanya tiba di
Kurral Ghamim dan Kura’. Rasulullah sendiri memilih pulang ke Madinah.[3]
B.
PERTEMPURAN
DZI QARAD
1.
Latar
belakang terjadinya pertempuran Dzi Qarad
Rasulullah
saw. pulang ke Madinah dan hanya menetap beberapa malam. Karena tidak lama
setelah itu, Uyainah bin Hudzaifah bin Badr Al-Fazari bersama pasukan berkuda
dari Ghathafan menyerang unta-unta hamil milik baliau di Al-Ghabah. Di
Al-Ghabah terdapat seseorang dari Bani Ghifar (Ibn Abi Dzar) dan istrinya.
Uyainah bin Hishn membunuh orang tersebut dan membawa istrinya dengan meletakkannya
di unta hamil tersebut.[4]
Ibnu
Ishak berkata: ‘Ashim bin Umar bin Qatadah dan Abdullah bin Abu Bakar
meriwayatkan kepadaku, dari Abdullah bin Ka’ab bin Malik menceritakan tentang
pertempuran Dzi Qarad dalam sebagian hadis:
Artinya: “Orang
yang pertama kali mengetahui kedatangan Uyainah bin Hishn bin Hudzaifah bin
Badr Al-Fazari beserta pasukannya dan bersiap-siap untuk menghadapinya adalah
Salamah bin Amr bin Al-Akwa’ As-Sulami. Ia pergi ke Al-Ghabah pada waktu pagi
dengan membawa busur panah ditemani budak milik Thalhah bin Ubaidillah yang
menuntun kuda. Ketika Salamah bin Amr berada di atas Tsaniyyatul Wada’, ia
melihat sebagian kuda-kuda Uyainah bin Hishn. Ia mendaki Sala’ dan berteriak,
‘Duhai pagi ini’. Kemudian Salamah bin Amr menelusuri jejak Uyainah bin Hishn.
Salamah bin Amr persis seperti binatang buas. Ia terus berjalan hingga berhasil
mengejar mereka, kemudian menyerang mereka dengan anak panah. Setiap kali ia
memanah, ia berkata, Ambillah anak panah ini, akulah si Ibnu Al-Akwa’ Hari ini
hari kematian orang yang hina.” (Diriwayatkan oleh al-Baihaqi dalam ad-Dalail,
al-Bukhari, Muslim, dan Ahmad dalam al-Musnad)
Jika
pasukan berkuda Uyainah bin Hishn berlari ke arahnya, ia melarikan diri dan
menjauhi mereka. Jika ia mendapat kesempatan untuk memanah, ia memanah mereka
sambil berkata, Ambillah anak panah ini, akulah Ibnu Al-Akwa’. Hari ini hari
kematian orang yang hina. Itulah yang terjadi hingga salah seorang dari anak
buah Uyainah bin Hishn berkata, ‘Aduh sungguh buruk siang hari kita sejak
awal’.[5]
2.
Rasulullah memanggil
para penunggang kuda
Ketika
Rasulullah saw. mendapat informasi tentang teriakan Salamah bin Amr (Ibnu
al-Akwa’), beliau berseru di Madinah,
اَلْفَزْعَ اَلْفَزْعَ،
فَتَرَامَتَ الْـجُيُوْلُ إِلَى رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ
Artinya: ‘Tolong...
Tolong’. Para sahabat penunggang kuda memacu kudanya menuju Rasulullah saw.
Penunggang
kuda yang pertama kali tiba di tempat beliau adalah Al-Miqdad bin Amr. Dialah Al-Miqdad
bin Al-Aswad sekutu Bani Zuhrah. Orang kedua yang tiba di tempat beliau dari
kaum Anshar setelah Al-Miqdad bin Amr ialah Abbad bin Bisyr bin Waqasy bin
Zughbah bin Zaura’ salah seorang warga Bani Abdul Asyhal.
Ketika
para sahabat penunggang kuda berkumpul di tempat Rasulullah saw., beliau
menunjuk Sa’ad bin Zaid sebagai pemimpin pasukan. Ketika kuda-kuda kaum
muslimin berdatangan, Abu Qatadah alias Al-Harits bin Rib’i saudara Bani
Salamah membunuh Habib bin Uyainah bin Hishn dan menutupinya dengan kain
burdah. Setelah itu, Abu Qatadah pergi mengejar musuh dan pada saat yang sama
Rasulullah saw. tiba bersama kaum muslimin.
Ukkasyah
bin Mihshan mampu mengejar Aubar dan anaknya, Amr bin Aubar, yang keduanya
menaiki satu unta, kemudian Ukkasyah bin Mihshan menusuk keduanya dengan tombak
hingga tewas. Kaum muslimin berhasil membebaskan beberapa unta hamil.
Rasulullah
terus berjalan hingga menuruni gunung dari Dzu Qarad. Di sanalah, kedua belah
pihak bertemu. Rasulullah berhenti di tempat tersebut dan menetap sehari
semalam di sana. Setelah itu, Rasulullah pulang ke Madinah’.
3.
Nazar
perempuan Ghifar
Salah
seorang wanita dari Bani Ghifar datang kepada Rasulullah saw. dengan menaiki
unta. Tiba di tempat beliau, ia bercerita kepada beliau kemudian berkata,
‘Wahai Rasulullah, aku telah bernadzar kepada Allah untuk menyembelih untaku
ini jika Allah menyelamatkanku di atasnya’. Rasulullah tersenyum, kemudian
bersabda,
بئس
ما جزيتِها أن حملَكِ اللهُ عليها و نجَّاكِ بـها، ثم تنحريْنها إنه لا نذرَ فى
معصيةِ اللهِ و لا فيما و لا تملكين، إنما هي ناقة من إبلِي فارجعي إلى أهلكِ على
بركة اللهِ
“Sungguh jelek balas budimu kepadanya. Allah
membuatmu bisa menaiki unta tersebut dan menyelamatkanmu di atasnya kemudian
engkau menyembelihnya? Tidak ada nadzar dalam maksiat kepada Allah dan apa yang
tidak engkau miliki. Sesungguhnya unta ini untaku, oleh karena itu, pulanglah
kepada keluargamu dengan keberkahan Allah.”
C.
PERTEMPURAN
BANI AL-MUSTHALIQ
1.
Latar
belakang terjadinya pertempuran Bani al-Musthaliq
Rasulullah
saw. menetap di Madinah di sebagian bulan Jumadil Akhir dan Rajab. Setelah itu,
beliau menyerbu Bani Al-Mushthaliq di bulan Sya’ban tahun enam Hijriyah.[6]
Beliau mengangkat Abu Dzar al-Ghifariy sebagai penguasa sementara di Madinah.
Rasulullah
mendapat informasi bahwa Bani Al-Mushthaliq bersatu untuk menghadapi beliau dan
panglima perang mereka adalah Al-Harits bin Abu Dhirar ayah Juwairiyah binti
Al-Harits istri Rasulullah saw. Beliau mendengar rencana mereka, beliau
berangkat ke tempat mereka hingga bertemu mereka di mata air yang bernama
Al-Muraisi. Di sana, kedua belah pihak saling serang dan bertempur hingga
akhirnya Allah mengalahkan Bani Al-Mushthaliq. Beberapa orang dari mereka
tewas, dan Rasulullah saw. menguasai anak-anak, istri-istri, dan kekayaan
mereka. Allah memberikan mereka kepada Rasulullah sebagai harta fa’iy. Pada
perang tersebut, salah seorang dari kaum muslimin yaitu dari Bani Kalb bin Auf
bin Amir bin Laits bin Bakr yang bernama Hisyam bin Shubabah terbunuh. Ia
terbunuh tidak sengaja oleh seorang dari kaum Anshar yaitu kabilah Ubadah bin
Ash-Shamit karena disangka musuh. [7]
2.
Fitnah yang
terjadi antara Muhajirin dan Anshar yang diprovokasi oleh Abdullah bin Ubay bin
Salul
Manakala
Rasulullah masih berada di sekitar mata air tersebut, ada seseorang yang
mendekat untuk mengambil air. Dan bersama Umar bin Khatthab pelayannya dari
Bani Ghifar yang bernama Jahjah bin Mas’ud menuntun kudanya, lalu tiba-tiba
Jahjah dan Sinan bin Wabar Al-Juhani saling berebut ke mata air dan bertikai. Al-Juhani
berkata: Wahai Anshar! Sementara Jahjah berseru: Wahai Muhajirin!
Karena
kejadian di atas, Abdullah bin Ubay bin Salul yang ketika itu bersama beberapa
orang dari kaumnya di antaranya Zaid bin Arqam naik pitam kemudian berkata, sungguh
mereka telah melakukannya. Mereka mengalahkan dan mengungguli kita di Madinah.
Demi Allah, aku tidak mengibaratkan kita dengan orang-orang gembel Quraisy
tersebut melainkan seperti dikatakan orang-orang tua dulu, “Gemukkan anjingmu, niscaya
ia memakanmu.” Demi Allah, jika kita tiba di Madinah, orang-orang mulia di
dalamnya pasti mengusir orang-orang hina. Abdullah bin Ubay bin Salul menghadap
kepada beberapa orang dari kaumnya yang ada di tempat tersebut, kemudian
berkata kepada mereka: “Inilah yang kalian perbuat terhadap diri kalian. Kalian
tempatkan mereka di negeri kalian dan membagi harta kalian dengan mereka. Demi
Allah, jika kalian tidak memberikan kekayaan kalian kepada mereka, mereka pasti
pindah ke selain negeri kalian.
Zaid
bin Arqam mendengar dengan jelas ucapan Abdullah bin Ubay bin Salul di atas,
kemudian ia pergi ke tempat Rasulullah saw. Itu terjadi setelah Rasulullah
berhasil mengatasi musuhnya. Zaid bin Arqam melaporkan ucapan Abdullah bin Ubay
bin Salul di atas kepada Rasulullah saw. yang ketika itu ditemani Umar bin al-Khaththab.
Ketika
Abdullah bin Ubay bin Salul mendengar Zaid bin Arqam melaporkan ucapan yang
didengarnya kepada Rasulullah, ia pergi meng-hadap beliau kemudian bersumpah
dengan nama Allah dan berkata, “Aku tidak mengatakan ucapan yang dilaporkan
Zaid bin Arqam” Abdullah bin Ubay bin Salul adalah tokoh penting di kaumnya.
Salah seorang dari kaum Anshar berkata kepada Rasulullah, “Wahai Rasulullah,
bisa jadi anak muda usia tersebut (Zaid bin Arqam) bicara salah dan tidak hapal
apa yang dikatakan Abdullah bin Ubay bin Salul.” Sahabat tersebut berkata
seperti itu untuk melindungi Abdullah bin Ubay bin Salul.[8]
3.
Pertemuan
Usyaid bin Hudhair dengan Rasulullah
Dalam
perjalanan pulang ke Madinah, Rasulullah bertemu Usaid bin Hudhair. Ia
mengucapkan salam kepada beliau, dan berkata kepada beliau, “Wahai Nabi Allah,
demi Allah, sungguh engkau pulang di waktu yang tidak mengenakkan. Engkau tidak
pernah pulang pada waktu seperti sekarang sebelum ini. Rasulullah saw. bersabda
kepada Usaid bin Hudhair:
أَوَمَا
بَلَغَكَ مَا قال صاحِبُكُم؟" قال:
وَأَيُّ صاحِبٍ يَا رسولَ الله؟ قال: "عبدُ الله بن أُبُيٍّ" قال:
وما قال؟ قال: "زَعَمَ أَنَّهُ إن رَجَعَ إلى المَدِينَةِ أخرجَ الأغرُّ
مِنهَا الأذلَّ" قال: فأنتَ يا رسولَ الله، و اللهِ تُخرِجُهُ منها إن
شِئتَ، هو و اللهِ الذليل و أنت العزيز، ثم قال: يا رسولَ الله، ارفُقْ بهِ، فَوَ
اللهِ لقد جاءَنَا اللهُ بكَ، وَ إنَّ قَومَهُ لينظِمُونَ له الخرزَ
ليُتَوِّجُوهُ، فَإنَّهُ ليرَى أَنَّكَ قدِ اسْتلبْتَهُ مُلكًا
Artinya: “Apakah
engkau telah mendengar apa yang dikatakan sahabat kalian? Usaid bin Hudhair berkata, Sahabat kami yang mana, wahai Rasulullah?
Rasulullah bersabda, “Abdullah bin Ubai bin Salul.” Usaid bin Hudhair
berkata, Apa yang ia katakan? Rasulullah bersabda, “Ia menyangka bahwa jika
ia tiba di Madinah, orang mulia di dalamnya akan mengusir orang hina.”
Usaid bin Hudhair berkata, “Wahai Rasulullah, engkaulah yang akan mengusirnya
dari Madinah jika engkau mau. Demi Allah, ia hina sedang engkau mulia. Usaid
bin Hudhair berkata lagi, “Wahai Rasulullah, bersikaplah lembut kepadanya. Demi
Allah, pada saat engkau datang kepada kami, ketika itu kaumnya meminta
pertimbangan kepadanya sebagaimana seorang raja dan sekarang ia menganggapmu
telah merampas kerajaannya.”
Rasulullah
berjalan bersama kaum muslimin pada siang hari itu hingga sore, malam harinya
hingga pagi hari berikutnya hingga sinar matahari menyengat mereka. Setelah
itu, beliau bersama mereka berhenti. Tidak lama berselang, mereka mengantuk dan
tertidur. Rasulullah berhenti agar kaum muslimin melupakan pembicaraan tentang
Abdullah bin Ubay bin Salul di hari kemarin.
Rasulullah
meneruskan perjalanan bersama kaum muslimin melewati Hijaz hingga turun di atas
mata air di Hijaz yang bernama Baq’a. Ketika beliau sedang berjalan, tiba-tiba
angin kencang bertiup mengenai kaum muslimin hingga mereka sakit dan ketakutan.
Rasulullah saw. Bersabda:
لاَ تَخَافوها، فَإِنَّمَا هَبَّتْ
لِمَوْتِ عَظِيْمٍ من عُظَمَاءِ الكُفَّارِ
“Janganlah kalian takut kepada angin kencang ini.
Angin kencang ini bertiup karena kematian salah seorang tokoh orang-orang
kafir.”
Ketika
kaum muslimin tiba di Madinah, mereka mendapati Rifa’ah bin Zaid bin At-Tabut
salah seorang warga Bani Qainuqa’ yang tidak lain adalah tokoh orang-orang
Yahudi dan pelindung orang-orang munafik meninggal pada hari bertiupnya angin
kencang tersebut. [9]
4.
Abdullah bin
Abdullah bin Ubay meminta izin kepada Rasulullah untuk membunuh ayahnya
Abdullah bin Ubay bin Salul
Kemudian
turunlah surat Al-Qur’an di mana di dalamnya Allah menyebutkan tentang
orang-orang munafik yaitu Abdullah bin Ubai bin Salul dan konco-konconya.
Ketika surat tersebut turun, Rasulullah saw. memegang telinga Zaid bin Arqam
kemudian bersabda:
هذَا الَّذِي أَوفَى اللهُ بأُذُنِهِ
”Orang inilah yang mengerti janji Allah dengan
telinganya.”
Abdullah
bin Abdullah bin Ubai bin Salul mendengar permasalahan yang terjadi pada
ayahnya. Kemudian ia berkata kepada beliau, “Wahai Rasulullah, aku dengar
engkau hendak membunuh Abdullah bin Ubay bin Salul karena mendengar ucapannya.
Jika engkau memang ingin membunuhnya, perintahkan aku saja yang membunuhnya,
niscaya aku bawa kepalanya kepadamu. Rasullah saw. Bersabda:
بَلْ نَتَرَفَّقُ بِهِ وَ نُحْسِنُ
صُحْبَتَهُ مَا بَقِيَ مَعَنَا
“Kita akan bersikap lembut dan bersahabat baik
dengannya selagi ia bersama kita.”
Setelah
itu, jika Abdullah bin Ubay bin Salul mengerjakan kesalahan, Rasulullah
memerintahkan kaumnya sendiri yang mengecam, menindak, dan memarahinya.[10]
5. Miqyas bin Shubabah
Miqyas
bin Shubabah datang dari Makkah ke Madinah dengan menampilkan diri telah masuk
Islam. Ia berkata, “Wahai Rasulullah, aku datang kepadamu dalam keadaan muslim
dan bermaksud meminta diyat saudaraku. Ia dibunuh karena salah sasaran.
Rasulullah memerintahkan sahabat membayar diyat kepadanya. Miqyas bin Shubabah
tinggal di Madinah beberapa lama, kemudian membunuh pembunuh saudaranya.
Kemudian pergi ke Makkah dalam keadaan murtad.[11]
6. Korban Bani al-Mushthaliq
Korban
dari Bani Al-Mushthaliq banyak sekali. Ali bin Abi Thalib r.a. membunuh dua
orang, yaitu Malik dan putranya. Abdurrahman bin Auf r.a. membunuh salah
seorang penunggang kuda mereka yang bernama Ahmar atau Uhaimar.
Pada
perang tersebut, Rasulullah saw. mendapatkan tawanan yang banyak sekali
kemudian semua tawanan dibagi secara merata di antara kaum muslimin. Di antara
tawanan wanita ketika itu adalah Juwairiyah binti Al-Harits bin Abu Dhirar yang
akhirnya diperistri Rasulullah.
Aisyah
berkata, Informasi pun menyebar ke tengah-tengah manusia bahwa Rasulullah saw.
menikahi Juwairiyah binti Al-Harits. Mereka berkata, “Ia menjadi keluarga Rasulullah.”
Mereka kirim apa yang mereka miliki kepada beliau. Karena pernikahan tersebut,
seratus keluarga dari Bani Al-Mushthaliq dibebaskan. Aku tidak tahu ada wanita
yang lebih terhormat dan lebih berkah di kalangan kaumnya daripada Juwairiyah
binti Al-Harits.[12]
D.
KABAR AL-IFKI
(BERITA BOHONG TENTANG ‘AISYAH R.A)
Ketika
pulang dari peperangan, mereka singgah di suatu tempat, Aisyah keluar dari
sekedupnya untuk menunaikan hajat, terjatuhlah kalung yang dipinjamkan oleh
saudarinya Asma’ kepadanya. Karena itu dia kembali ke tempat itu lagi untuk
mencari kalung yang hilang tersebut. Setelah menemukan kembali kalung yang
hilang itu, namun sudah tidak ada lagi orang yang memanggil atau menjawab
seruannya. Akhirnya dia duduk di tempat singgahnya dan mengira bahwa para
pengangkut sekedupnya itu pasti merasa kehilangan dan mencarinya.
1. Aisyah r.a. menunggangi unta Shafwan bin al-Muththal
as-Sulami
Aisyah
berkata: “Demi Allah, ketika aku tidur tiba-tiba Shafwan bin Al-Muaththal
As-Sulami berjalan melewatiku. Ia sengaja berjalan di belakang kaum muslimin
karena suatu keperluan. Ia melihat bayangan hitam diriku dan datang ke tempatku
hingga berdiri di depanku. Ia pernah melihatku ketika hijab belum diwajibkan
kepada kami. Ketika ia melihatku, ia berkata, “Inna lillahi wa inna ilaihi
raaji’uun. Istri Rasulullah saw.?” Ketika itu, aku tutup diriku dengan
jilbab. Shafwan bin Al-Muaththal As-Sulami berkata lagi, ”Kenapa engkau
tertinggal?” Aku tidak menjawab pertanyaannya. Ia dekatkan untanya kepadaku
sambil berkata, “Naiklah ke atasnya.” Ia menjauh dariku dan aku pun menaiki
untanya. Setelah aku berada di atas unta, ia memegang kepala unta kemudian
berjalan cepat untuk menyusul kaum muslimin. Demi Allah, kami tidak berjumpa
dengan siapa-siapa dan kaum muslimin tidak merasa kehilangan diriku hingga esok
hari, bahkan hingga mereka tiba di Madinah. Ketika mereka istirahat di Madinah,
tiba-tiba Shafwan bin Al-Muaththal As-Sulami muncul dengan menuntun unta sedang
aku berada di atasnya. Saat itulah, para penyebar berita bohong mengucapkan
perkataan mereka. Orang-orang pun gempar. Demi Allah, aku sedikit juga tidak
mengetahui apa yang terjadi di tengah mereka.[13]
2. Aisyah r.a. jatuh sakit ketika sampai di Madinah
Aisyah
melanjutkan: “Kami tiba di Madinah dan sesudahnya aku sakit. Selama aku sakit,
aku tidak pernah mendapatkan informasi yang beredar di luar. Informasi tentang
diriku juga terdengar oleh Rasulullah saw., dan kedua orang tuaku, namun mereka
tidak menceritakan sedikit pun kepadaku. Anehnya, aku tidak lagi mendapatkan
sebagian keramahan beliau, karena jika aku sakit beliau menyayangiku dan ramah
kepadaku. Tapi itu semua tidak beliau berikan kepadaku dalam sakitku kali ini.
Ya, aku tidak mendapatkan itu semua dari beliau. Ketika itu, jika beliau masuk
ke tempatku dan di tempatku terdapat ibuku (Zainab binti Abdi Dahman, demikian
menurut Ibnu Hisyam), beliau berkata, “Bagaimana keadaanmu?” Tidak lebih dari
itu.[14]
3. Para Provokator penyebar fitnah
Orang
yang amat gencar menyebarkan berita bohong ini adalah Abdullah bin Ubay bin
Salul. Ia menyebarkannya di kalangan orang-orang Al-Khazraj bersama Misthah dan
Hamnah binti Jahsy. Hamnah binti Jahsy ikut menyebarkan berita bohong ini
karena saudara perempuannya, yaitu Zainab binti Jahsy adalah istri Rasulullah
saw. dan tidak ada satu pun dari istri-istri beliau yang menyaingi kedudukanku
di sisi beliau melainkan dia. Adapun Zainab binti Jahsy sendiri, Allah swt.
melindunginya dan tidak mengatakan kecuali yang baik-baik. Sedang Hamnah binti
Jahsy, ia ikut menyebarluaskan berita bohong ini dan melawanku karena membela
saudara perempuannya. Akibatnya, ia merugi.
4. Rasulullah menemui Ali bin Abi Thalib r.a dan Usamah
bin Zaid r.a.
Rasulullah
saw. turun dari mimbar kemudian masuk ke rumah. Beliau memanggil Ali bin Abi
Thalib r.a. dan Usamah bin Zaid r.a., kemudian bermusyawarah dengan keduanya.
Adapun Usamah bin Zaid, ia menyanjung Aisyah r.a. dan berkata baik tentang dirinya.
Usamah bin Zaid berkata, “Wahai Rasulullah, ia istrimu dan kami tidak mengetahui
padanya kecuali yang baik-baik dan engkau juga tidak mengetahui padanya kecuali
yang baik-baik saja. Ini kebohongan dan kebatilan.” Sedang Ali bin Abi Thalib,
ia berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya wanita masih banyak dan engkau
mampu mencari wanita pengganti. Tanyakan kepada budak wanita, niscaya ia akan
membenarkanmu’.
5. Rasulullah meminta pendapat Barirah
Rasulullah
saw. memanggil Barirah untuk bertanya kepadanya. Ali bin Abi Thalib pergi
kepada Barirah dan memukulnya dengan pukulan keras sambil berkata, “Berkatalah
jujur kepada Rasulullah.” Barirah berkata, “Demi Allah, aku tidak mengetahui
pada Aisyah kecuali yang baik-baik saja. Aku tidak pernah mencela sesuatu pada
Aisyah melainkan karena aku pernah membuat adonan roti kemudian aku menyuruhnya
menjaganya, namun ia tidur hingga akhirnya kambing datang dan memakan adonan
roti tersebut.”
6. Rasulullah menemui Aisyah dan keputusan Allah
terhadapnya
Rasulullah
saw. masuk ke tempat Aisyah. Ketika itu Aisyah ditemani kedua orang tuanya dan
salah seorang wanita dari kaum Anshar. Aisyah menangis dan wanita dari Anshar
tersebut juga ikut menangis. Rasulullah saw. duduk memuji Allah, menyanjung-Nya,
kemudian bersabda,
Artinya: “Hai
Aisyah, engkau telah mendengar omongan orang tentang dirimu. Oleh karena itu,
bertakwalah kepada Allah. Jika engkau telah mengerjakan kesalahan, bertaubatlah
kepada Allah, karena Allah menerima taubat hamba-hambaNya.”
Rasulullah
saw. belum beranjak dari tempat duduknya, tiba-tiba beliau pingsan. Lalu beliau
diselimuti dengan pakaiannya dan bantal dari kulit diletakkan di bawah
kepalanya. Kemudian Rasulullah duduk kembali dan keringat mengucur dari badan
beliau seperti biji intan berlian di musim hujan. Beliau mengusap keringat dari
keningnya, kemudian bersabda:
أَبْشِرِي يَا عائِشَةُ، فَقَدْ
أَنْزَلَ اللهُ بَرَاءَتَكِ
“Bergembiralah engkau hai Aisyah, karena Allah telah
menurunkan ayat tentang kesucian dirimu.”
Aisyah
berkata, “alhamdulillah” sedang beliau keluar menemui manusia,
berkhutbah kepada mereka, dan membacakan kepada mereka ayat Al-Qur’an tentang
kasus yang diturunkan Allah kepada beliau. Setelah itu, beliau memerintahkan
untuk memanggil Misthah bin Utsatsah, Hasan bin Tsabit, dan Hamnah binti Jahsy
yang semuanya ikut menyebarluaskan berita bohong tentang Aisyah, kemudian mereka
dikenakan hukuman had.
Abu
Ishaq bin Yasar berkata dari beberapa orang dari Bani An-Najjar yang berkata
bahwa Abu Ayyub bin Khalid bin Zaid ditanya istrinya, Ummu Ayyub: “Hai Abu
Ayyub, apakah engkau tidak mendengar apa yang dikatakan manusia tentang
Aisyah?” Abu Ayyub bin Khalid bin Zaid menjawab, “Ya, aku mendengarnya dan itu
tidak benar. Apakah engkau juga ikut menyebarkannya, hai Ummu Ayyub?” Ummu
Ayyub menjawab, “Tidak, demi Allah, aku tidak akan pernah melakukan hal itu.”
Abu Ayyub bin Khalid bin Zaid berkata, “Demi Allah, Aisyah jauh lebih baik
daripadamu.” Ummu Ayyub berkata, “Ketika Al-Qur’an turun, ia menyebutkan
orang-orang berdosa yang mengatakan perkataan orang-orang yang menyebarluaskan
berita bohong.” Allah swt. Berfirman:
“Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong itu adalah dari
golongan kalian juga. Janganlah kalian kira bahwa berita bohong itu buruk bagi
kalian bahkan ia baik bagi kalian. Tiap-tiap seseorang dari mereka mendapat
balasan dari dosa yang dikerjakannya. Dan siapa di antara mereka yang mengambil
bagian yang terbesar dalam pentiaran berita bohong itu baginya adzab yang
besar’. (An-Nuur: 11)
Pelaku
yang menyebarluaskan berita bohong tersebut adalah Hassan bin Tsabit dan
sahabat-sahabatnya. Kemudian Allah swt. berfirman,
“Mengapa di waktu kalian mendengar berita bohong itu
orang-orang mukminin dan mukminat tidak bersangka baik terhadap diri mereka
sendiri dan (mengapa tidak) berkata, ‘Ini adalah suatu berita bohong yang
nyata.” (An-Nuur: 12)
Maksudnya,
kenapa mereka tidak berkata seperti perkataan Abu Ayyub dan istrinya? Kemudian
Allah swt. berfirman:
“(Ingatlah) di waktu kalian menerima berita bohong itu
dari mulut ke mulut dan kalian katakan dengan mulut kalian apa yang tidak
kalian ketahui sedikit juga, dan kalian menganggapnya suatu yang ringan saja,
padahal dia pada sisi Allah adalah besar.”
(An-Nuur: 15)
Ketika
ayat di atas turun untuk Aisyah dan orang-orang yang telah mengatakan sesuatu
tentang Aisyah, Abu Bakar yang sebelumnya menafkahi Misthah karena masih kerabat
dan ia miskin, berkata: “Demi Allah, aku tidak akan memberi sesuatu apa pun
kepada Misthah dan tidak memberinya manfaat apa pun selama-lamanya setelah ia
berkata sesuatu tentang Aisyah dan memasukkan sesuatu kepada kita.” Kemudian
Allah swt. menurunkan ayat tentang ucapan Abu Bakar tersebut:
“Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan
dan kelapangan di antara kalian bersumpah bahwa mereka (tidak) akan memberi
(bantuan) kepada kaum kerabat, orang-orang yang miskin dan orang-orang yang
berhijrah pada jalan Allah, dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada.
Apakah kalian tidak ingin Allah mengampuni kalian?. Dan Allah Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang.” (An-Nuur: 22)
Abu
Bakar berkata, “Ya, aku ingin Allah mengampuniku.” Usai berkata seperti itu, ia
kembali menafkahi Misthah seperti sebelumnya ia berkata, “Demi Allah, aku tidak
akan menghentikan nafkah kepadanya selama-lamanya.”
Sungguh
Hassan telah merasakan hukuman cambuk karena ia layak mendapatkannya. Juga
Hamnah dan Mitshah. Ketika mereka berkata kotor terhadap istri Nabi. Mereka
berkata atas dasar sangkaan belaka terhadap istri nabi. Mereka mendapatkan murka
Pemilik Arasy yang mulia. Kemudian mereka sedih karena mereka menyakiti
Rasulullah. Kemudian mereka diliputi dengan kehinaan abadi seperti sorban di
kepala mereka. Hasil panen disiramkan kepada mereka seperti hujan deras dari
awan yang menghujani.[15]
E.
PERJANJIAN
HUDAIBIYAH
Kemudian
Rasulullah menetap di Madinah selama bulan Ramadhan dan Syawal. Pada bulan
Dzulqa’dah, beliau keluar dari Madinah untuk berumrah dan tidak menginginkan
perang.
1. Seruan Rasulullah kepada manusia untuk melakukan Umrah
Rasulullah
mengajak orang-orang Arab dan orang-orang Badui yang ada di sekitar beliau
untuk pergi bersama beliau, karena khawatir orang-orang Quraisy memerangi atau
melarang beliau mengunjungi Baitullah. Banyak sekali orang-orang Badui yang
menolak ajakan beliau. Kendati begitu, beliau tetap berangkat bersama para
sahabat dari kaum Muhajirin, para sahabat dari kaum Anshar, dan orang-orang
Arab lainnya. Beliau membawa hewan sembelihan (onta) dan berpakaian ihram untuk
umrah agar manusia merasa aman dan mengetahui beliau keluar untuk mengunjungi
Baitullah dan mengagungkannya.
2. Rasulullah mengambil jalan lain dari jalan yang biasa
dilalui orang-orang Quraisy
Rasulullah
berjalan dan ketika tiba di ‘Usfan (sebuah tempat lebih kurang dua marhalah
sebelum masuk kota Makkah), beliau bertemu Bisyr bin Sufyan al-Ka’bi. Bisyr bin
Sufyan berkata kepada Rasulullah saw., “Wahai Rasulullah, orang-orang Quraisy
mendengar keberangkatanmu, untuk itu mereka keluar dengan membawa unta-unta
betina yang baru melahirkan anaknya yang teteknya penuh dengan susu lalu
berhenti di Dzu Thuwa (Nama sebuah tempat dekat Makkah). Mereka bersumpah
kepada Allah bahwa engkau tidak boleh masuk ke tempat mereka untuk
selama-lamanya. Inilah Khalid bin Walid dengan pasukan berkudanya, mereka
mengutusnya ke Kuraul Ghamim. Rasulullah saw. Bersabda:
“Celakalah orang-orang Quraisy, sungguh mereka telah dikuasai nafsu
berperang. Apa salahnya kalau mereka tidak menghalang-halangiku berhubungan
dengan orang-orang Arab. Jika orang-orang Arab tersebut mengalahkanku, itulah
yang mereka harapkan. Jika Allah memenangkanku atas mereka, maka mereka masuk
Islam. Jika mereka tidak masuk Islam, mereka berperang, toh mereka mempunyai
kekuatan. Demi Allah, orang-orang Quraisy jangan salah sangka, sesungguhnya aku
tidak pernah berhenti memperjuangkan apa yang aku bawa dari Allah hingga Dia
memenangkannya atau aku mati karenanya’. Beliau bersabda lagi, ‘Siapa yang bisa
berjalan dengan kita di jalan lain yang tidak mereka lalui?”
Seseorang
dari Bani Aslam berkata, “Aku, wahai Rasulullah.” Orang tersebut berjalan
bersama kaum muslimin melewati jalan yang penuh dengan pohon hingga sulit
dilalui di antara jalan-jalan menuju gunung. Ketika mereka keluar dari jalan
tersebut dalam keadaan lelah dan tiba di tanah datar di ujung lembah, Rasulullah
bersabda: “Katakanlah, Kami meminta ampunan kepada Allah dan bertaubat
kepadaNya.” Mereka mengucapkan perkataan tersebut. Rasulullah bersabda
lagi, “Demi Allah, itulah perkatan yang dulu ditawarkan kepada Bani Israel,
namun mereka tidak mau mengucapkannya.”
Maka
Rasulullah memberi instruksi kepada kaum muslimin dengan bersabda, “Hendaklah
kalian mengambil jalan arah kanan melewati Al-Hamdhu, jalan yang tembus ke
Tsaniyyatul Mirar, tempat pemberhentian di al-Hudaibiyah, dari arah bawah
Makkah.”
Rombongan
pun berjalan melewati jalan tersebut. Ketika pasukan berkuda Quraisy melihat
kepulan debu dari jalan yang berlainan dengan jalan mereka yang mereka lalui,
mereka pulang kepada orang-orang Quraisy.
3. Utusan Quraisy kepada Rasulullah
Ketika
Rasulullah tengah beristirahat, beliau didatangi Budail bin Warqa’ Al-Khuzai
bersama beberapa orang dari Khuza’ah. Mereka berbicara dan menanyakan alasan
kedatangan beliau ke Makkah. Beliau menjelaskan kepada mereka bahwa beliau
datang tidak untuk perang, namun untuk mengunjungi Baitullah dan
mengagungkannya.
Mikraz
bin Hafsh bin Al-Akhyaf saudara Bani Amir bin Luai diuitus kepada Rasulullah.
Ketika beliau melihat kedatangannya, beliau bersabda, “Orang ini pengkhianat.”
Ketika Makraz bin Hafsh tiba di tempat beliau dan berbicara dengan beliau, maka
beliau bersabda kepadanya seperti yang beliau sabdakan kepada Budail bin Warqa’
dan teman-temannya.
Orang-orang
Quraisy mengutus Al-Hulais bin Alqamah atau bin Zabban kepada Rasulullah.
Ketika itu, Al-Hulais bin Alqamah adalah pemimpin orang-orang Ahabisy dan warga
Bani Al-Harits bin Abdu Manat bin Kinanah. Ketika Rasulullah melihat kedatangannya,
beliau bersabda, “Orang ini berasal dari kaum yang beribadah. Oleh karena itu,
tempatkan hewan sembelihan (onta) di depannya agar ia bisa melihatnya.” Ketika
al-Hulais bin ‘Alqamah melihat hewan sembelihan (onta) berdatangan kepadanya
dari samping lembah dengan memakai kalung sebagai tanda akan disembelih dan
bulu-bulunya telah rusak karena terlalu lama berada di tempat ia akan
disembelih, ia segera pulang kepada orang-orang Quraisy dan tidak jadi bertemu
dengan Rasulullah karena hormat kepada beliau. Ia ceritakan apa yang dilihatnya
kepada orang-orang Quraisy, kemudian orang-orang Quraisy berkata kepadanya, “Duduklah
engkau, karena engkau orang Arab dusun yang bodoh.”
Kemudian
orang-orang Quraisy mengutus Urwah bin Mas’ud Ats-Tsaqafi untuk pergi kepada
Rasulullah. Urwah bin Mas’ud Ats-Tsaqafi berangkat ke tempat Rasulullah. Ketika
ia tiba di tempat beliau, ia duduk di depan beliau, kemudian berkata, “Hai
Muhammad, engkau kumpulkan orang banyak kemudian membawa mereka kepada keluargamu
untuk membunuh mereka?”
Kemudian
Rasulullah menjelaskan kepada Urwah bin Mas’ud Ats-Tsaqafi seperti yang telah
beliau jelaskan kepada teman-teman Urwah bin Mas’ud Ats-Tsaqafi sebelum ini
bahwa beliau datang tidak untuk perang.
4. Utusan Rasulullah kepada orang-orang Quraisy
Rasulullah
memanggil Khirasy bin Umaiyyah Al-Khuzai dan mengutusnya untuk menemui
orang-orang Quraisy. Beliau menyerahkan unta beliau yang bernama Ats-Tsa’lab
kepada Khirasy bin Umaiyyah dan menyuruhnya menyampaikan pesan beliau kepada
tokoh-tokoh Quraisy. Ketika Khirasy bin Umaiyyah tiba di tempat orang-orang
Quraisy, mereka menyembelih unta beliau yang dikendarai Khirasy bin Umaiyyah
dan juga bermaksud membunuh Khirasy bin Umaiyyah namun dicegah orang-orang Ahabisy.
Mereka melepas Khirasy bin Umaiyyah hingga ia tiba kembali di tempat Rasulullah
saw.
Utsman
bin Affan berangkat ke Makkah dan bertemu Aban bin Sa’id bin Al-Ash ketika
memasuki Makkah atau hendak memasukinya. Aban bin Sa’id Al-Ash membawa Utsman
bin Affan di depannya dan melindunginya hingga ia menyampaikan surat
Rasulullah. Setelah itu, Utsman bin Affan menemui Abu Sufyan bin Harb dan
tokoh-tokoh Quraisy, untuk menyampaikan surat Rasulullah saw. kepada mereka.
Mereka berkata kepada Utsman bin Affan setelah ia selesai menyampaikan pesan
Rasulullah kepada mereka, ‘Jika engkau hendak melakukan thawaf di Baitullah,
silakan’. Utsman bin Affan menjawab, ‘Aku tidak akan thawaf hingga Rasulullah yang
memulai thawaf.
Utsman
bin Affan ditahan orang-orang Quraisy di tempat mereka, namun informasi yang
sampai kepada Rasulullah saw. dan kaum muslimin ialah Utsman bin Affan dibunuh.
5.
Bai'at Ar-Ridwan
Ibnu Ishaq berkata,
Abdullah bin Abu Bakar berkata kepadaku, “Ketika Rasulullah saw. mendapat
informasi bahwa Utsman bin Affan r.a. dibunuh, beliau bersabda: “Kita tidak
pulang hingga mengalahkan kaum tersebut.” Beliau mengajak kaum muslimin
berbaiat, kemudian berlangsunglah Baiat Ar-Ridhwan di bawah pohon. Kaum
muslimin berkata, “Rasulullah membaiat kaum muslimin untuk mati.” Jabir bin
Abdullah berkata, “Rasulullah membaiat kita tidak untuk mati, namun untuk tidak
melarikan diri.”
Di antara kaum
muslimin yang hadir di peristiwa Baiat Ar-Ridhwan namun tidak ikut
barbaiat ialah Al-Jadd bin Qais saudara Bani Salamah. Jabir bin Abdullah
berkata, “Demi Allah, sepertinya aku lihat Al-Jadd bin Qais merapat ke perut
untanya dan bersembunyi di baliknya dari penglihatan manusia. Setelah itu, ia
datang kepada Rasulullah dan menjelaskan kepada beliau bahwa informasi
terbunuhnya Utsman bin Affan hanyalah berita bohong semata.”
6.
Perihal al-Hudnah (Perdamaian
Hudaibiyah)
Kemudian orang-orang
Quraisy mengutus Suhail bin Amr saudara Bani Amir bin Luai kepada Rasulullah saw.
Mereka berkata kepada Suhail bin Amr, “Temuilah Muhammad, berdamailah
dengannya, dan isi perda-maian ialah: Ia harus pergi dari tempat kita tahun
ini. Demi Allah, orang-orang Arab tidak boleh memperbincangkan kita bahwa ia
datang kepada kami dengan kekerasan.” Suhail bin Amr datang menemui Rasulullah saw.
Ketika beliau melihat kedatangan Suhail bin Amr, beliau bersabda,
“Orang-orang Quraisy menginginkan
perdamaian ketika mereka mengutus orang ini’. Ketika Suhail bin Amr tiba di
tempat Rasulullah saw.,
ia berbicara panjang lebar dengan beliau, tawar menawar pun terjadi dan akhirnya
perdamaian pun disepakati.”
Rasulullah memanggil
Ali bin Abi Thalib dan bersabda kepadanya, “Tulislah ‘Bismillahir Rahmaanir
Rahiim.” Suhail bin Amr berkata, “Aku tidak kenal kata-kata itu,
namun tulislah bismikallahumma (dengan nama-Mu, ya Allah).” Rasulullah bersabda
kepada Ali bin Abi Thalib, “Tulislah bismikallahumma.” Ali bin Abi
Thalib menulisnya. Rasulullah bersabda kepada Ali bin Abi Thalib, “Tulislah ini
perdamaian antara Rasulullah dengan Suhail bin Amr.” Suhail bin Amr
berkata, “Kalau aku melihatmu sebagai Rasulullah, aku tidak memerangimu, namun
tulislah namamu dan nama ayahmu.” Rasulullah bersabda kepada Ali bin Abi
Thalib, “Tulislah ini perdamaian antara Muhammad bin Abdullah dengan
Suhail bin Amr.” Keduanya berdamai untuk menghentikan perang selama sepuluh
tahun, masing-masing pihak memberikan keamanan selama jangka waktu tertentu,
masing-masing pihak menahan diri dari pihak lainnya, barangsiapa di antara
orang-orang Quiraisy datang kepada Muhammad tanpa izin pemiliknya maka ia
dikembalikan kepadanya, barangsiapa di antara pengikut Muhammad pergi kepada
orang-orang Quraisy maka ia tidak dikembalikan kepadanya, kita harus komitmen
dengan isi perdamaian, pencurian rahasia, dan pengkhianatan tidak diperbolehkan.
Barangsiapa ingin masuk ke dalam perjanjian Muhammad maka ia masuk ke dalamnya,
dan barangsiapa ingin masuk ke dalam perjanjian orang-orang Quraisy maka ia
masuk ke dalamnya. Orang-orang Khuza’ah berdiri dan berkata, “Kami masuk ke
dalam perjanjian Muhammad.” Orang-orang Bani Bakr juga berdiri dan
berkata, “Kami masuk ke dalam perjanjian orang-orang Quraisy.” Isi perdamaian lebih
lanjut, “Engkau (Muhammad) pulang dari tempat kami tahun ini dan
tidak boleh masuk ke Makkah pada tahun ini. Tahun depan, kami keluar Makkah,
kemudian engkau memasuki Makkah dengan sahabat-sahabatmu, engkau berada di sana
selama tiga hari dengan membawa senjata layaknya musafir yaitu pedang di
sarungnya dan tidak membawa senjata lainnya.
Ketika Rasulullah saw.
menulis teks perdamaian dengan Suhail bin Amr, tiba-tiba Abu Jandal bin Suhail
bin Amr datang kepada beliau dengan melompat dan memegang pedang. Sebenarnya
ketika para sahabat keluar dari Madinah dengan tujuan Makkah, mereka tidak
meragukan terjadinya penaklukkan Makkah, karena mimpi Rasulullah saw. Jadi,
wajar ketika mereka menyaksikan perdamaian, sikap mengalah, dan apa yang
dirasakan Rasulullah saw. Maka mereka sangat terpukul hingga
keragu-raguan nyaris masuk ke hati mereka. Ketika Suhail bin Amr melihat Abu
Jandal, ia berdiri, memukulnya, dan mencengkeram leher bajunya, kemudian
berkata, “Hai Muhammad, permasalahan di antara kita telah selesai sebelum orang
ini (Abu Jandal) datang kepadamu.” Rasulullah saw. bersabda, “Engkau berkata
benar.”
Suhail bin Amr
mencengkeram leher baju Abu Jandal dan menyeretnya untuk dibawa kepada
orang-orang Quraisy. Abu Jandal berteriak dengan suara terkerasnya, “Hai
seluruh kaum muslimin, apakah aku dibiarkan dibawa kepada kaum musyrikin
kemudian mereka menyiksaku karena agamaku?” Kaum muslimin semakin sedih dengan
kejadian yang dialami Abu Jandal.
Rasulullah bersabda, “Hai Abu Jandal,
bersabarlah dan berharaplah akan pahala di sisi Allah, karena sesungguhnya
Allah akan memberikan jalan keluar bagimu dan bagi orang-orang lemah sepertimu.
Sungguh, kita telah meneken perjanjian dengan kaum tersebut. Kita berikan
perjanjian kepada mereka sedang mereka memberikan janji Allah kepada kita, dan
kita tidak mengkhianati mereka.”
Setelah teks
perdamaian ditulis, perdamaian tersebut disaksikan sejumlah orang dari kaum
muslimin dan kaum musyrikin. Para saksi tersebut adalah Abu Bakar, Umar bin
Khaththab, Abdurrahman bin Auf, Abdullah bin Suhail bin Amr, Sa’ad bin Abu
Waqqash, Mahmud bin Maslamah, Mikraz bin Hafsh yang masih musyrik ketika itu,
dan Ali bin Abi Thalib yang menulis teks perdamaian tersebut.”
Setelah menyelesaikan
perdamaian, Rasulullah saw. berjalan ke arah hewan sembelihannya kemudian
menyembelihnya, duduk, dan mencukur rambutnya. Ketika kaum muslimin melihat
beliau menyembelih hewan sembelihan dan mencukur rambut, mereka pun menyembelih
hewan sembelihan (unta) dan mencukur rambut mereka.
Kemudian, Rasulullah saw.
pulang dari tempat tersebut. Ketika beliau berada di antara Makkah dan Madinah,
turunlah surat Al-Fath kepada beliau. Allah SWT., berfirman:
“Sesungguhnya Kami telah memberikan
kepadamu kemenangan yang nyata. Supaya Allah memberi ampunan kepadamu terhadap
dosamu yang telah lalu dan yang akan datang serta menyempurna-kan nikmatNya
kepadamu dan memimpin kamu ke jalan yang lurus.” (Al-Fath: 1-2)
Setelah itu, Allah
SWT., berfirman,
“Sesungguhnya Allah akan membuktikan kepada RasulNya tentang
kebenaran mimpinya dengan sebenarnya (yaitu) bahwa sesungguh-nya kalian pasti
akan memasuki Masjidil Haram, insya Allah dalam keadaan aman, dengan mencukur
rambut kepala dan menggunting-nya, sedang kalian tidak merasa takut. Maka Allah
mengetahui apa yang tidak kalian ketahui.” (Al-Fath: 27)
Yakni kebenaran mimpi
Rasulullah saw. bahwa beliau akan masuk ke dalam kota Makkah dalam keadaan aman
tanpa diliputi rasa takut, dengan mencukur rambut kepala mereka atau
mengguntingnya tanpa diliputi rasa takut. Sesungguhnya Allah mengetahui apa
yang tidak mereka ketahui.
Kemenangan yang dekat
yang dimaksud pada ayat di atas adalah Perdamaian Al-Hudaibiyah. Az-Zuhri
berkata lagi, “Sebelum penaklukan Makkah, tidak ada penaklukan yang lebih agung
daripada Perdamaian Al-Hudaibiyah. Perdamaian Al-Hudaibiyah dinamakan perang
karena kedua belah pihak bertemu di sana. Ketika gencatan senjata terjadi,
perang dihentikan, masing-masing pihak memberikan jaminan keamanan kepada pihak
lain, dan mereka bertemu, mereka mengadakan pembicaraan, perdebatan, dan tidak
ada seorang pun yang membicarakan Islam melainkan ia masuk ke dalamnya. Dalam
jangka waktu dua tahun tersebut, telah masuk Islam orang-orang yang jumlahnya
sama dengan jumlah orang-orang yang masuk Islam sebelumnya atau bahkan lebih
banyak.
PENUTUP
Tahun keenam Hijriyah merupakan tahun terjadinya peristiwa
yang terkenal yang menfitnah keluarga Rasulullah saw. Yaitu yang disebut Khabar
al-Ifki. Peristiwa-peristiwa besar yang terjadi pada masa ini yaitu Perang
Bani Lihyan, Perang Dzi Qard, Perang Bani al-Musthaliq, dan Perjanjian
Hudaibiyah.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Al-Mubarakfuriy, Shofiyurrahman, Perjalanan
Hidup Rasul yang Agung Muhammad saw. dari Kelahiran Hingga Detik-detik
Terakhir, (Jakarta: Darul Haq, 2012) Cet. XIV
Hasan, Hasan Ibrahim, Sejarah dan
Kebudayaan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2009) Cet. III
Ibnu Hisyam, Tahqiq As-Sirah an-Nabawiyah
li Ibni Hisyam, Ditahqiq oleh: Umar Abd as-Salam Tadmuriy,, (Beirut:
Dar al-Kitab al-Araby, 1990) Juz III
Ibnu Ishaq, As-Sirah an-Nabawiyah, Muhaqqiq:
Ahmad Farid al-Mazidiy, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2004) Juz II
Ibnu Katsir, Abu al-Fida’ Ismail, As-Sirah
an-Nabawiyah, Ditahqiq oleh: Musthafa Abdul Wahid, (Beirut: Dar
al-Ma’rifah, 1976), Juz III
[1] Shofiyurrahman al-Mubarakfuriy, Perjalanan Hidup Rasul yang Agung
Muhammad saw. dari Kelahiran Hingga Detik-detik Terakhir, (Jakarta: Darul
Haq, 2012) Cet. XIV, hal. 474
[2] Ibnu Hisyam, Tahqiq As-Sirah an-Nabawiyah li Ibni Hisyam,
Ditahqiq oleh: Umar Abd as-Salam Tadmuriy,, (Beirut: Dar al-Kitab
al-Araby, 1990) Juz III, hal. 225
[3] Ibnu Ishaq, As-Sirah an-Nabawiyah, Muhaqqiq: Ahmad Farid
al-Mazidiy, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2004) Juz II, hal. 435
[4] Ibnu Hisyam, as-Sirah an-Nabawiyah li Ibn Hisyam, (Beirut: Dar
Ibn Hazm, 2009) Cet. II, hal. 486. Lihat juga al-Baihaqi dalam Dalail
an-Nubuwah (4/186,187)
[6] Ibn Ishaq, Op. Cit. Hal. 439
[7] Ibnu Hisyam, Op. Cit. Hal. 490
[8] Ibnu Ishaq, Op. Cit. Hal. 440. Lihat juga al-Baihaqiy dalam ad-Dalail
(4/46,52,53)
[9] Ibnu Ishaq, Op.Cit. hal. 441
[10] Ibnu Hisyam. Op. Cit. Hal. 491
[11] Ibid
[12] Ibid
[13] Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah dan Kebudayaan Islam, (Jakarta:
Kalam Mulia, 2009) Cet. III, hal. 238
[14] Ibnu Ishaq, Ibid
0 komentar:
Post a Comment